Perkembangan teknologi sekarang membuat segala sesuatu menjadi mudah, termasuk berkomunikasi dengan orang lain. Tinggal klik, semua pemikiran kita tentang sesuatu bisa diakses seluruh orang. Makanya, kesempatan orang melakukan verbal bullying ataupun menjadi korban pasti semakin banyak. Komentar negatif, kontra, ejekan atau bahkan yang hateful sekalipun tidak bisa saya hindari. Pilihan menjadi public figure, berarti saya available untuk publik. Kalau saya selalu menganggap diri saya korban, pasti saya susah untuk moving forward. Karena saya memiliki sifat yang perasa, penting bagi saya selalu belajar untuk melihat suatu hal dari sisi positif. Anggap saja ini sudah bagian dari pekerjaan. Lama-lama saya terbiasa juga. Verbal bullying yang orang lain lakukan, saya anggap bagian dari mereka memperhatikan saya.
Saya jadi ingat, pengalaman menjadi korban verbal bullying justru saya alami saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Bahkan kejadian tersebut tidak terjadi dalam jangka waktu yang pendek, saya menjadi korban bully dari mulai kelas 3 sampai 6 SD. Menjadi bahan pembicaraan di belakang, bahkan langsung ditujukan ke saya justru adalah ‘teman’ sehari-hari. Bahkan saya masih mengingat ada seorang guru yang menghasut orang tua murid lain agar anaknya tidak berteman dengan saya. Kata mereka, “Marshanda bandel.” Sungguh saya tidak mengerti apa yang terjadi. Aneh ya? Namun, kejadian itu membuat saya berkaca kembali, ada alasan di balik tindakan mereka. Kepribadian introvert sudah melekat di diri saya dari kecil. Bersosialisasi bukanlah hal yang mudah. Ditambah lagi sisi sensitif dan kepekaan tinggi membuat saya tidak mudah bergaul. Saya meyakini, inilah yang menjadikan mereka terus mem-bully saya.
Dari situ saya belajar, it starts from ourselves. Secara nggak sadar, sayalah yang membiarkan itu terus terjadi. Ketika mendapatkan perlakuan bullying, saya cenderung merespon sensitif atau diam, sehingga seakan-akan membiarkan saja dan membuka kesempatan mereka terus menikmati mem-bully saya. Tapi saat itu saya tidak paham apa yang harus dilakukan. Makanya, bagi saya penting memahami verbal bullying. Kesadaran kita terhadap perilaku orang lain perlu ditingkatkan. Respon kita menentukan tindakan mereka selanjutnya. Dan khusus untuk orang tua, nggak bisa seratus persen menyerahkan tanggungjawab kepada orang di luar rumah. Menemani anak adalah obat untuk mencegah dan mengobati bullying yang paling ampuh. Pengalaman yang dulu menjadi bekal saya dalam membesarkan anak nanti.
Kebebasan berpendapat sudah menjadi hak kita, namun juga memiliki efek yang tidak bisa dihindari. Orang lain mengambil kesempatan untuk melakukan verbal bullying kalau kita selalu merasa inferior. Menurut saya, percaya diri dan open-minded adalah kunci menghadapinya. Demi pribadi yang lebih efektif, sekarang saya mengikuti banyak training untuk pengembangan diri. It helps a lot to discover yourself. Selain itu, kita semua juga harus mulai berhati-hati dalam berbicara. Buat apa sih kita ambil kesempatan untuk menyela atau ngomongin orang lain. Big people talk about ideas, average people talk about things, small people talk about other people. Mana yang kamu pilih? You better keep your mouth in peace and stop verbal bullying!
Empowered by: