Next
Jakarta
Bicara tentang batik, memang selalu menarik. Tiap motif yang kaya makna dan bernilai seni tinggi membuat batik selalu menjadi karya eksotis yang tak lekang dimakan zaman. Jultin H. Kartasasmita, penggiat batik sekaligus Ketua Yayasan Batik Indonesia (YBI) pun berhasil merangkum keeksotisan batik dalam sebuah buku yang baru saja diluncurkan Sabtu lalu (24/11). Dunia Batik Seorang Jultin berisi ulasan batik Jawa Barat, terutama batik koleksi Jultin sendiri yang dikumpulkannya sejak 20-an tahun lalu.
Berangkat dari kepedulian Justin pada kurangnya referensi mengenai batik di Provinsi Jawa Barat, Jultin memberanikan diri melengkapinya dengan membuat sumber referensi itu sendiri. Walaupun hanya fokus pada batik asal Jawa Barat, beberapa potong batik yang diproduksi di Jawa Tengah dengan �citarasa� Sunda dan beberapa karya Iwan Tirta yang khusus dirancang untuk para klien yang menghendaki langgam Batik Sunda, ikut ditampilkan dalam Dunia Batik Seorang Jultin.
Dan, sesuai dengan judulnya, batik-batik yang ditampilkan dalam buku susunan E.A. Natanegara dan Judi Knight Achjadi ini pun memiliki cerita masing-masing yang karib dengan kehidupan istri politikus Ginandjar Kartasasmita itu. Jultin optimistis bukunya akan mendorong penulis buku lain untuk mengungkap kekayaan batik tanah air dengan kekhasan tiap daerahnya.
Beberapa kain batik dalam Dunia Batik Soerang Jultin pernah dikenakan Jultin untuk dipadukan dengan kebaya Sunda, beberapa merupakan kreasi baru, dan beberapa lainnya kain khas Sunda favorit Jultin yang bahkan belum pernah ia kenakan. Justin juga tak lupa menyertakan kain batik dengan motif yang membangkitkan memori masa kanaknya pada kain batik sang ibu. Makin tertarik melihat sendiri motif batik koleksi Jultin? Tengok dan nikmati ragamnya dalam Dunia Batik Seorang Jultin, kenali lebih dekat batik yang makin mendunia ini!
Next
Melihat Jakarta lewat karya seni dan wacana publik
Seni dan budaya selalu berubah mengikuti zaman. Ia dinamis, seperti persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang juga terus berkembang. Karenanya, karya seni, salah satunya lukisan, bisa menjadi saksi sejarah. Tak melulu dari rangkuman kisah yang panjang dan detail, lewat lukisan pun kita bisa melihat bagaimana keadaan satu zaman dan merefleksikannya dengan keadaan pada masa kini.
Pada pertengahan tahun 70-an, misalnya, Taman Ismail Marzuki (TIM) saat itu menjadi ruang diskusi sentral Jakarta untuk mewacanakan masa transisi Orde Lama ke Orde Baru dengan segala macam persoalan yang menjadi isu seksi. Di TIM pulalah Srihadi Soedarsono, maestro seni lukis Indonesia, memamerkan karya-karyanya yang merupakan tanggapan kritisnya pada masa itu, bertajuk �Pameran Karya Lukis Srihadi Sudarsono�, yang justru salah satu karya bertajuk �Jakarta Big Village� mendapat protes keras dari Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Ali Sadikin tak terima dengan penilaian Srihadi terhadap Jakarta, sehingga ia pun merusak karya Srihadi. Peristiwa itu hanya contoh kecil konflik antara ide seniman dan aparat negara. Dinamika bernegara yang wajar terjadi, tapi tak membuat surut kreativitas dan sikap kritis seniman.
Itulah mengapa Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) memvisualisasi kembali riwayat seni rupa Jakarta, kesenian dan kebudayaan yang terbawa arus zaman, juga perilaku hidup masyarakat. Fenomena bagaimana seniman membaca kota dan persoalan modernisme yang hadir di Indonesia melalui ekspansi produk dan budaya dari luar negeri yang mulai marak sejak tahun 70-an itu dihidupkan kembali lewat pameran ini. Lewat semua arsip dan dokumentasi antara tahun 1974 sampai dengan 1987 yang memang dimiliki sendiri oleh Dewan Kesenian Jakarta, berupa karya lukis tentang kota, dokumentasi foto, rekaman suara/video, hingga berbagai wacana. Semua menjadi satu dalam Pameran �Big Village/Dusun Besar� hingga 30 November 2012 di Galeri Cipta III TIM, dengan kurator Hafiz Rancajale.
Next
Interaksi dua dunia, seni dan bisnis, dalam karya Sunaryo Soetono
Teks: Dey Ainiswari
Dengan tujuan menjembatani komunitas bisnis nasional dan seni yang dinamis lewat dialog, Ciptadana Art Program tahun kedua kembali diadakan. Tahun ini, Ciptadana menghadirkan salah satu seniman inspiratif Indonesia, Sunaryo Soetono, dengan karya patung dan mixed-media lainnya.
Lewat karyanya, Sunaryo mengajak para seniman produktif mengeksplorasi gaya dengan menekankan tanggung jawab sosial, integritas sipil, filantropi, perlindungan lingkungan, dan identitas masing-masing. Keberhasilannya adalah panutan. Inilah alasan utama Ciptadana memilih Sunaryo sebagai featured artist tahun ini. Bukan hanya sebagai seorang seniman, inspirasinya pun mampu menjangkau komunitas bisnis. Adanya interaksi antara seni dan bisnis tersebut mampu memperkaya sisi rohani, sosial, budaya, dan material kedua belah pihak.
Sunaryo sendiri telah berkiprah di dunia seni selama hampir 40 tahun. Ia muncul tahun 1975 sebagai anggota pendiri DECENTA, sebuah gerakan seminal art yang mendesak seniman Indonesia untuk mencari inspirasi dari budaya dan tradisi bangsa sendiri. Karyanya terkenal tegas dan tidak malu-malu. Ia kerap bereksperimen lewat banyak media dan gaya serta melibatkan berbagai unsur material yang ada di sekitar, termasuk kertas alumunium, bambu, kaca�yang kadang merepresentasikan simbol ketegangan dan konflik yang potensial. He�s known as a fearless artist!
Pameran tunggal Sunaryo, yang juga figur di balik berdirinya Selasar Sunaryo Art Space, ini bertajuk �Seamless Points � One Vision, Many Perspectives�. Secara personal, Sunaryo memperkenalkan kepada kami his latest and most beloved works di acara gourmet dinner 22 November 2012 lalu di Plaza Asia, Jakarta, dibuka langsung oleh kritikus seni Bruce Carpenter.