Hati-Hati, Korban Kritik Menyakitkan Seringkali Orang Terdekat

Fimela Editor diperbarui 27 Nov 2012, 07:59 WIB
2 dari 4 halaman

Next

Orang terdekat, adalah orang yang paling rentan kita sakiti. Itu fakta. Dan sebagai perempuan yang cenderung “banyak bicara”, salah satu kebiasaan kita yang membuat orang terdekat sering terluka adalah kritikan. Ini salah, itu salah. Hampir semua yang dilakukan pacar atau sahabat, misalnya, tak sempurna di mata kita, karena tak sesuai dengan cara kita berpikir.

Beberapa waktu lalu, teman saya sempat mendapat protes dari pasangannya. Katanya, sifatnya terlalu kaku. Apa yang teman saya pikirkan, itu yang menurutnya paling tepat. Karena itulah, sang pacar mengaku mulai jenuh mendapat kritikan tiap waktu. “Pacarku bilang, tiap orang punya caranya masing-masing untuk menentukan sikap maupun menyelesaikan masalah. Dia memintaku melihat dari sisi lain, tak melulu saklek dengan pendirian sendiri,” cerita teman saya, “Memang beberapa kali pacar ketahuan berbohong, katanya malas mendengar ‘ceramah’ panjang-lebarku begitu yang dia lakukan salah di mataku. Sebal, tapi mungkin memang aku berlebihan.”

Kebebasan bicara saat ini membuat budaya kritik jelas kian populer. Tak salah, tak ada pula yang melarang kita mengungkapkan pandangan terhadap sebuah tindakan. Tapi, yang terjadi seringkali lepas kontrol, alias kritikan yang disampaikan justru menggunakan embel-embel ejekan satire sampai hujatan, yang terkadang paling sering kita lontarkan kepada orang yang dekat dengan kita, karena tak ada lagi rasa sungkan di sana. Lama-kelamaan, cara bicara seperti itu pun jadi kebiasaan. Padahal, kita tak bisa memaksakan siapa pun berpandangan sama seperti kita, apalagi pendapat kita belum tentu tepat dan pas dipakai di segala situasi.

3 dari 4 halaman

Next

Walaupun dilakukan dengan tujuan positif, kritikan yang asal keluar tanpa memperhatikan perkataan dan perasaan si lawan bicara akan dampak negatif. Artinya, makin banyak kritikan, makin besar kemungkinan menyakiti hati atau menyinggung orang lain. Hasilnya tentu bukan kebaikan, malah menimbulkan pemberontakan sebagai reaksi atas kejenuhan dianggap tak pernah tepat di mata pengkritik, seperti yang pacar teman saya lakukan. Pemberontakan bisa dalam berbagai cara, salah satunya memilih berbohong ketimbang kritikan-kritikan tajam lainnya keluar dari teman saya.

Dalam How to Win Friends and Influence People, Dale Carnegie sendiri mengungkapkan manusia bukanlah makhluk logika, melainkan makhluk penuh emosi dan prasangka. Karena itu, sampaikan kritik dengan bijak agar tak meninggalkan luka, apalagi kebencian. Berikan kritik yang membangun, bukan yang meninggalkan luka. B.F. Skinner, seorang psikolog asal Amerika, pernah membahas kritikan yang menimbulkan kebencian, bukan perubahan. Baginya, kritikan tak bersifat memperbaiki.

Namun, era terus berubah, dan saat ini kita mengenal istilah “kritik yang membangun”. Orang sudah mulai terbuka menerima masukan dan melakukan perubahan dari sana. Walaupun begitu, rupanya keterbukaan masyarakat sekarang terhadap kritikan tak serta-merta mematahkan pandangan B.F. Skinner sepenuhnya. Kenyataannya, kritik masih saja sering meninggalkan luka, ketimbang keinginan untuk memperbaiki. Itu semua, tak lain terjadi akibat kesalahan penangkapan, komunikasi dua arah yang tak berjalan dengan baik. Bagaimana kesalahan persepsi itu bisa terjadi? Apalagi kalau bukan karena si pengkritik tak menyampaikan masukan dengan cara yang tepat.

4 dari 4 halaman

Next

Kritikan yang disampaikan dengan keliru, misalnya terkesan merendahkan, atau mengandung kata kasar sampai disampaikan dengan nada tinggi, bisa mempengaruhi kondisi psikologis seseorang. Dia bisa jadi berubah menjadi tak percaya diri. Ketidakpercayaan dirinya tersebut, menurut psikolog sekaligus pakar parenting Elly Risman Musa dari Yayasan Kita dan Buah Hati, terjadi akibat seseorang itu merasa tak nyaman dengan diri sendiri dan penilaian orang lain terhadap dirinya. Ia tak memiliki kesempatan berpikir positif, saking banyaknya kritikan yang diterima, sehingga akhirnya, melabeli dirinya sendiri negatif.

“Bila yang dilempar hanya kritikan, perbandingan dengan orang lain, cacian, label, kurang perhatian, dan semua yang negatif, ibarat tabungan yang terus didebit, jiwa akan mengerut,” ungkap Elly. Artinya, tiap kritikan berpengaruh terhadap kondisi psikologis orang lain. Kritikan membuat orang berpikir negatif tentang dirinya sendiri, membuatnya tak nyaman. Semua yang kita katakan, yang meremehkan, melecehkan, menyalahkan, sampai mengejek, sengaja maupun tidak, yang mengakibatkan orang atau pihak lain tak merasa nyaman, masuk dalam kategori verbal bullying.

Kritik baik untuk memacu siapa pun mengaktualisasikan dirinya dengan lebih maksimal, tapi seringkali erat dengan verbal bullying akibat penyampaian yang keliru. Padahal, kritikan, walaupun “menelanjangi” kekurangan, bisa disampaikan dengan tetap bersikap menghargai orang yang dikritik. Caranya, ya berbicaralah menggunakan bahasa dan sikap yang baik, juga tak terkesan menyalahkan, ketika ingin mengkritik. Ini berlaku kepada siapa pun, orang terdekat, maupun orang lain di sekeliling kita. Toh, semua dilakukan untuk perubahan yang mengarah kepada kebaikan, kan. So, better speak for peace, stop verbal bullying. Berusahalah untuk selalu berpikir positif, dan sampaikan pesan positif dengan cara yang positif pula.

Empowered by: