Setia dengan Si Dia, Karena Cinta atau Ada Maksud Tersembunyi?

Fimela Editor diperbarui 05 Nov 2012, 11:59 WIB
2 dari 3 halaman

Next

Bicara kesetiaan, tiap orang punya batasan berbeda tentangnya. Artinya, untuk banyak orang kesetiaan punya banyak makna…dan banyak motivasi di belakangnya. Benarkah? Saya pernah membaca sebuah artikel yang berkesimpulan bahwa kita, manusia, memiliki kesetiaan yang tak stabil, artinya mudah berubah sesuai situasi dan kondisi. Bila keadaan menguntungkan, maka kita akan dengan senang hati menjadi setia. Sebaliknya, saat kondisi tak menguntungkan, kesetiaan pun dengan mudah dimusnahkan. Masuk akal. Mungkin hal itu juga yang menyebabkan perselingkuhan, ketidakjujuran, sampai pengingkaran janji jadi “makanan” sehari-hari yang kita lakukan dan kita terima dari orang lain.

Kita sering tak menyadari, banyak hal yang kita lakukan tak sejalan dengan komitmen kita sebelumnya—dalam segala hal—dari komitmen terhadap karier sampai pasangan. Seorang teman suatu hari mendatangi saya dan bercerita tentang hubungannya dan pasangan yang merenggang. Katanya, di awal hubungan kesetiaan sangat diutamakan. Tak cuma jujur dalam tiap hal,  tapi sehari-hari mereka saling tahu secara detail apa yang mereka lakukan, padahal tak selalu bersama. Sayangnya keterbukaan itu makin pudar. Konflik yang sering terjadi membuat komunikasi menjadi tak intens, sampai suatu kali pasangannya ketahuan berselingkuh. Saya pun langsung teringat kesimpulan artikel itu. Kesetiaan bukan atas dasar ketulusan, melainkan penuh motivasi. Bila keadaan menguntungkan, kita akan setia. Dan bila kondisi berbalik, kesetiaan tak penting lagi dipertahankan. Ada maksud tersembunyi di sana.

Saya mulai mempercayainya, sampai di hari lainnya saya menemukan cerita yang memberikan pandangan lain tentang kesetiaan. Tepatnya pertengahan Oktober lalu, sepasang suami-istri di Amerika Serikat, Norma dan Gordon Yeager, mengalami kecelakaan fatal yang menyebabkan keduanya meninggal pada hari yang sama. Mengharukan, kesetiaan keduanya terbukti sampai maut pun seolah enggan memisahkan mereka. Bagaimana tidak, pasangan yang sudah menikah selama 72 tahun itu tak melepas pegangan tangan sejak dilarikan ke ruang ICU sampai akhirnya keduanya meninggal. Oleh anak-anak mereka, jasad Norma-Gordon pun dimasukkan ke satu peti agar tetap bisa berpegangan tangan. Dan setelah dikremasi, abu keduanya pun dijadikan satu sebagai simbol cinta abadi.

3 dari 3 halaman

Next

Dua kasus berbeda, menghasilkan pandangan yang berbeda pula. Lalu, mana kesetiaan yang paling tepat? Jawabannya, kita sendiri yang bisa menentukan. Tiap cerita menghasilkan kesimpulan berbeda. Kalau kamu menjadikan kesetiaan sebagai sesuatu yang fleksibel, berarti kamu pun bisa dengan mudah menganggapnya penting sekaligus tidak, tergantung di mana posisimu berada. Kesetiaan bisa jadi terus ada selama ada feedback yang kamu terima. Ibarat bisnis, kamu akan terus mengukur untung-ruginya dan menjadikan panduan untuk menanamkan modal kesetiaan. Artinya, tak ada keabadian, juga ketulusan di sana.

Lain jika kamu menjadikan kesetiaan sebagai dasar untuk melakukan apa pun dalam hidup, termasuk saat menjalin hubungan dengan seseorang. Tak perlu lagi memandang untung-rugi, atau bagaimana hubunganmu berjalan, semua permasalahan akan diselesaikan dengan satu hal, kejujuran. Karena begitu kesetiaan tak dijadikan sebagai dasar komitmen, perselingkuhan sangat mungkin terjadi. O,ya, kalau kamu pikir selingkuh identik dengan serong, salah. Perbuatan menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri dan tidak berterus terang sudah termasuk dalam kategori perselingkuhan, lho, karena ada ketidakjujuran di sana.

Tetap dan teguh hati dalam janji maupun pendirian, itulah kesetiaan yang sebenarnya. Kesetiaan yang, seharusnya, bagi tiap orang dijadikan dasar dalam tiap perkara, bukan sebagai bisnis yang penuh motivasi dan kepentingan. Sebelum menyesal, bukannya lebih baik punya pendirian teguh dan komitmen pada pasangan? Jangan dikira, perselingkuhan yang kita, atau siapa pun lakukan, tak akan melahirkan penyesalan. Tiap orang yang menyadari kesalahannya berselingkuh, bagaimanapun kepribadiannya, akan sampai di titik penyesalan, bahkan kebencian terhadap diri sendiri. Itulah yang diungkapkan Charles J. Orlando dalam bukunya, The Problem with Women...Is Men.

Bukan hanya korban yang akan terluka, pelaku pun bisa merasa gagal dan terpuruk karena telah mengkhianati pasangannya. Siapa sih, yang mau dilukai atau merasa terluka akibat melukai orang terdekat?