Posesif, Gejala Awal Verbal Bullying

Fimela Editor diperbarui 23 Okt 2012, 08:00 WIB
2 dari 3 halaman

Next

Tak dipungkiri, tiap orang punya potensi bersikap posesif pada pasangannya. Beberapa perempuan yang FIMELA.com temui pun berpendapat bahwa posesif menjadi alat pertahanan diri supaya seseorang yang ada di dekatnya tak memiliki kesempatan diusik maupun mengusik pihak ketiga. Konon, perasaan ingin memiliki pasangan secara berlebihan ini berdampak negatif pada kelanggengan hubungan, tapi justru banyak dilakukan dengan bermacam alasan. Bukti kalau ego lebih sering dimenangkan ketimbang logika, eh?

Pasangan yang posesif cenderung melancarkan “serangan” berupa perkataan yang menyakitkan hati. Bisa dalam bentuk interogasi berlebihan, ancaman, kemarahan, sampai amukan dengan kata-kata tajam dan kasar jika pasangan sudah (atau baru dicurigai) melanggar komitmen berdua.  Alhasil, korban ke-posesif-an akan merasakan ruang geraknya kian terbatas, perasaan nyaman yang berganti was-was, juga sakit hati karena tak lagi mendapat kepercayaan dari yang terdekat.

“Bukan cuma itu. Pacar juga menyalahkan, menganggap aku yang memang berniat tak jujur, padahal cuma jalan berdua dengan sahabat tanpa mengabarinya, misalnya. Ujung-ujungnya tuh yang tidak enak, dia selalu mengeluarkan kata-kata yang melecehkanku sebagai perempuan. Mengataiku genit, sengaja tebar pesona, dan lain-lain,” Noni (25 tahun, creative) bercerita, “Siapa yang betah diperlakukan begitu terus-menerus. Bicaranya lama-lama sama sekali tidak sopan. Anehlah, tidak logis. Sampai mengancam akan menghajar siapa pun yang nantinya dekat denganku juga.”

“Suami sering cemburu berlebihan. Kalau sudah marah, biasanya masalah-masalah di masa lalu diungkit kembali, membuatku makin terpojok dan seolah semua memang salahku. Kata-katanya menyakitkanlah pokoknya,” Deni (29 tahun, ibu rumah tangga) ikut bertutur.

What's On Fimela
3 dari 3 halaman

Next

Apakah ada di antara kalian, atau orang terdekat, yang mengalami hal serupa? Hati-hati, menuduh, mengancam, dan melecehkan, merupakan indikasi adanya verbal bullying karena perbuatan itu sangat berpotensi menyebabkan korban kehilangan kenyamanan. Pertanyaan-pertanyaan di mana, dengan siapa, sedang apa; menghubungi berkali-kali cuma untuk memastikan semua baik-baik saja; menganggap pasangan sebagai miliknya pribadi yang membuat tak bisa bergerak bebas; cemburu atas hal-hal sepele yang sebenarnya tak layak dipermasalahkan; bersikap bossy; juga menjadi pertanda kita menjadi pelaku maupun korban verbal bullying, karena perlakuan seperti itu cenderung membuat nyaman dan aman pelaku, sementara si korban menjadi resah dan tak tenang.

Sikap posesif, yang menurut psikolog Alexander Sriewijono yang sekaligus Direktur PT Daily Meaning bisa jadi disebabkan ketidakpercayaan diri atau ketakutan seseorang, pada dasarnya bisa dikendalikan. Cara pertama yang harus dilakukan adalah menyadarinya. Sadar bahwa pasangan atau diri sendiri kelewat posesif sangat membantu kedua belah pihak melakukan refleksi diri. Tahap selanjutnya, kata Ice, psikolog dari Universitas Islam Bandung, posesif bisa berkurang perlahan-lahan dengan komunikasi intens yang positif, artinya berkomunikasi untuk saling mengerti keadaan pasangan tanpa ada pikiran negatif atau yang bersifat menghakimi, karena bicara penuh curiga dan kesan menyalahkan, apalagi dengan imbuhan kata-kata kasar, tak akan menyelesaikan kesalahpahaman.

Intinya, kecemasan kita maupun pasangan terhadap hal-hal yang tak diinginkan bisa dihindari jika hubungan terus harmonis. Karena itu, ingat bahwa bicara positif tak cuma berlaku di lingkungan pergaulan dan kerja, tapi juga terhadap orang terdekat yang justru paling rentan kita sakiti. Setuju? Speak for peace, everyone. Gunakan perkataan hanya untuk menyampaikan pikiran positif!

Untuk lebih terinspirasi, ikuti seminar sehari bareng FIMELA.com, IWOW, yuk! Info & pendaftaran klik di sini

Empowered by: