Next
Kali pertama dirilis pada bulan Agustus lalu, animo masyarakat untuk menonton film ini pun cukup tinggi. Ini terlihat dari ramainya Perahu Kertas menjadi pembicaraan di social media, baik Twitter maupun Facebook.
Berkaca pada kesuksesan film Sang Penari yang terinspirasi oleh novel karya Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk, nggak salah jika penonton juga berharap mendapatkan sebuah karya yang sama kualitasnya. Suksesnya film Sang Penari pun membawa pengaruh hingga sampul buku karya Ahmad Tohari diubah dengan gambar salah satu scene dalam film. Namun, rupanya Perahu Kertas tidak berlayar semulus Sang Penari.
Pro dan kontra mewarnai kemunculan film ini. Ada yang puas namun ada juga yang kecewa dengan film yang dibagi menjadi dua bagian ini.
What's On Fimela
powered by
Next
Berbeda dengan Reta yang kecewa dengan film Perahu Kertas, Prita justru merasa puas setelah menonton film besutan Hanung Bramantyo ini. “Saya puas menonton film Perahu Kertas. Saya bisa mendapatkan esensi dari novel Dee di film hasil garapan Mas Hanung. Sebelum menonton, saya membaca novelnya terlebih dahulu itu sebabnya saya bisa bilang puas dengan hasil kerja Mas Hanung,†ujar Prita, 24.
Menanggapi beragam komentar yang masuk, Dee mencoba bersikap netral. “Saya sudah mengantisipasi keragaman feedback tersebut dan menganggap hal itu sangat wajar. Nggak lebih baik atau nggak lebih buruk, sih. Karena menurut saya opini seseorang sangat subjektif, apalagi terhadap film. Yang suka tidak bisa dijadikan patokan, yang tida ksuka pun tidak bisa dijadikan patokan,†ujar Dewi Lestari pada FIMELA.com.
Next
“Sepertinya hal ini yang perlu disadari oleh pembaca, bahwa skenario dan novel adalah dua format yang berbeda. Dalam novel ada keleluasaan struktur maupun jumlah halaman, dalam film kedua hal tersebut terbatas. Jadi, saya memang sengaja mengubah beberapa hal supaya struktur film tidak terganggu oleh novel. Apalagi dalam film, banyak aspek yang tidak perlu diperhitungkan seperti di buku, misalnya aspek sinematografi, teknis pengambilan gambar, bujet, kepentingan produser, segmen penonton yang dituju, dan sebagainya. Yang jelas, esensi cerita tidak mungkin diubah,” Dee menjelaskan.
Lagi-lagi, penilaian terhadap sebuah karya tentu akan berujung pada subjektivitas. Kita tidak bisa begitu saja membandingkan antara satu karya dengan karya lainnya karena pastinya intepretasi yang dihasilkan oleh setiap orang tentu akan berbeda-beda. Bahkan, antara Dee sebagai penulis dan Hanung sebagai sutradara pun mengalami perbedaan penafsiran.
Next
“Saya cukup puas, walaupun tentu banyak aspek yang bisa lebih maksimal seharusnya. Tapi, ya, itu, dalam film banyak sekali faktor yang bermain, terutama karena begitu banyaknya pihak yang terlibat untuk mewujudkan sebuah adegan, dari mulai kru, cast, sampai pascaproduksi yang melibatkan editor, penata musik, dan produser. Ada beberapa eksekusi adegan dan dialog yang intepretasinya berbeda dengan intepretasi saya saat menulis skenario. Juga detail-detail artistik yang intepretasinya berbeda dengan saya sebagai penulis buku. Justru di sinilah seorang kreator mendapat pembelajaran dan pendewasaan mental, saat dia menerima "ketidaksempurnaan" dalam karyanya menjadi bagian dari "kesempurnaan" karya tersebut. Jadi, biarkan saja apa adanya,†Dee berpendapat.
Penasaran akan seperti apa lagi kemasan lain dari novel-novel popular Dee? Kamu harus tunggu tranformasi lain novel Dee dari sutradara yang berbeda-beda.