Pilih Mana: Film Dokumenter atau Film Komersil?

Fimela Editor diperbarui 03 Okt 2012, 10:29 WIB
2 dari 4 halaman

Next

Saat ini film dokumenter semakin menunjukkan geliatnya di dunia perfilman. Berbagai ajang lomba film dokumenter dan festival pemutaran film dokumenter pun semakin rutin diadakan. Beragam film dokumenter, baik dari kalangan profesional maupun amatir, bisa mengikuti festival film dokumenter yang sudah mulai banyak bermunculan.

Bagi Chairunnisa, seorang sutradara muda yang ada di balik layar film Purnama Di Pesisir, membuat film dokumenter merupakan keasyikan tersendiri karena cukup banyak tantangan yang harus dihadapi. “Jujur, sebenarnya saya lebih suka menggarap film dokumenter. Karena saat menggarap film dokumenter kita memunyai tantangan tersendiri, yakni ketika kita dihadapkan pada sumber daya yang seadanya dan kita harus berpikir bagaimana cara mengemasnya menjadi sesuatu yang menarik,” ujar perempuan yang biasa disapa Ilun pada FIMELA.com

3 dari 4 halaman

Next

Minggu lalu, sebuah festival film dokumenter terbesar diselenggarakan di Erasmus Huis. Selama satu minggu penuh sekitar 17 film dokumenter dari berbagai negara bisa dinikmati para pecinta film. Cukup banyak pecinta film yang berbondong-bondong ke Erasmus Huis untuk menyaksikan festival ini. tapi, bagaimana bila orang-orang yang hanya biasa menonton film komersil disuguhkan film dokumenter?

“Saya nggak pernah nonton film dokumenter. Kali pertama menonton film dokumenter waktu di sekolah memutar film The Conductor. Hm, jujur awalnya sih saya nggak mengerti. Tapi, lama-kelamaan setelah mengikuti film, saya bisa mengerti keseluruhan isi dan cukup menikmati film. Mungkin itu juga karena filmnya nggak terlalu serius kali ya. Saya nggak tahu bagaimana jadinya kalau waktu itu yang diputar adalah film dokumenter yang bermuatan sejarah. Tapi, tetap saja jika dihadapkan pada dua pilihan, film dokumenter atau film komersil. Tapi, boleh sih buat nonton film dokumenter lagi nantinya,” ujar Karina, 17 tahun.

4 dari 4 halaman

Next

Berbeda dengan Karina yang masih bisa menikmati film dokumenter yang ia saksikan di sekolah, Intan mengaku sama sekali tidak bisa menikmati dan mengerti film dokumenter. “Selama 18 tahun, baru satu kali saya menonton film dokumenter. Dan sepertinya, saya agak berpikir beberapa kali jika harus menonton film dokumenter lagi. Waktu itu di sekolah diputar sebuah film dokumenter yang bercerita tentang peristiwa reformasi, saya lupa judulnya. Dan saya sama sekali tidak menikmati sepanjang film diputar. Saya mengerti isi film, tapi tidak menikmati pertunjukkan film. Entah karena filmnya berupa film sejarah atau memang saya tidak ada ketertarikan dengan film dokumenter atau mungkin juga karena itu adalah kali pertama saya menyaksikan film dokumenter. Yang pasti saya akan lebih memilih untuk menonton tayangan komersil karena tetap ada sesuatu yang beda di dalamnya. Entah itu apa, saya nggak bisa menjelaskannya karena saya bukan orang dari dunia film,” Intan, 18 tahun, bercerita.

Subjektif memang jika kita sudah berbicara tentang selera. Diterima atau nggaknya satu film di pasar tentu tergantung selera masyarakat secara dominan. Pro kontra pastinya nggak bisa lepas dari semua peristiwa yang terjadi. Ada yang suka dan ada yang tidak suka, bagaimana pun kondisinya, terbukti bahwa cukup banyak masyarakat Indonesia yang tertarik dengan film dokumenter terlihat dari semakin maraknya ragam film ini.