Next
Bagaimana tidak, jumlah perokok jelas akan terus bertambah karena perokok pemula pun terus bermunculan. Bukan hanya mengancam kesehatan dan meningkatkan risiko kematian akibat penyakit tidak menular, seperti kanker paru-paru, serangan jantung koroner, hipertensi, dan stroke, jumlah perokok di luar batas kewajaran itu mengancam perekonomian masyarakat, bahkan ikut menjajah keuangan masyarakat tak mampu. Bayangkan, 6 dari 10 rumah tangga termiskin masih rela menyisihkan uang mereka untuk membeli rokok.
Fakta memprihatinkan tak berhenti di situ. Menurut penjelasan peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Abdillah Ahsan, jumlah perokok laki-laki dari tahun 1995 sampai 2007 meningkat hampir dua kali lipat dari 33,8 juta menjadi 60,4 juta. Sementara jumlah perempuan perokok meningkat hingga empat kali lipat dari 1,1 juta menjadi 4,8 juta! Kalau saat ini persentase perokok makin tinggi, artinya makin banyak perempuan Indonesia yang menjadikan rokok sebagai “belahan jiwa”. Mengapa hal ini bisa terjadi? Abdillah yakin salah satu penyebabnya adalah harga rokok yang masih sangat terjangkau, sehingga siapa pun mampu membelinya. Selain itu, gencarnya iklan, promosi, dan sponsorship rokok pada beragam acara jauh mengalahkan “kampanye” antirokok yang cenderung tak terdengar gaungnya. Dilematis. Sulit menyaingi promosi rokok, sementara dari promosi itulah banyak perokok baru bermunculan.
What's On Fimela
powered by
Next
Para Fimelova yang diwawancarai secara acak oleh tim FIMELA.com mengaku merokok jadi pilihan karena dipercaya mampu merilekskan, mengendurkan saraf mereka yang tegang. “Kalau lagi buntu, biasanya setelah mengisap satu atau dua batang rokok bisa melahirkan inspirasi,” aku Nita (24 tahun, volunteer). Sementara Karin (24 tahun, reporter) mengatakan rokok baginya memudahkan jalan untuk masuk dan kenal dengan orang-orang di lingkungan pekerjaannya, “Aku kan, perempuan. Kadang kalau liputan atau sedang nongkrong lumayan nggak dianggap. Eh, begitu aku mengeluarkan merek rokok yang cukup ‘berat’, mereka akan langsung menyapa. Ya dimulai dengan menanyakan kenapa aku memilih rokok itu, padahal aku perempuan berambut panjang yang dari luar kelihatannya manja.”
Nikotin menimbulkan ketergantungan, walaupun ketergantungan itu sendiri tak melulu akibat nikotin, bisa jadi hanya secara psikologis seseorang jadi bergantung pada rokok. Nah, Nita mungkin sudah sampai di tahap ketergantungan secara fisiologis karena tanpa rokok Nita merasa ada yang kurang dalam kesehariannya. Sedangkan Karin lebih karena alasan sosial, sehingga secara psikologis ia menjadi bergantung pada rokok. Kalau kamu sendiri yang juga perokok aktif, bergantung pada rokok lebih karena alasan fisiologis atau psikologis, Fimelova?
Next
Nita dan Karin pun mengaku pertama kali tertarik pada rokok karena rasa penasaran mereka. “Awalnya lihat dari iklan, lalu teman-teman menawarkan. Ya sudah coba-coba, dan sekarang tidak bisa lepas lagi,” ungkap Nita. Karin pun demikian, “Pertama ya karena di mana-mana ketemu rokok. Dari iklan, acara-acara musik, sampai teman sendiri mengajariku. Kalau dihitung-hitung, sampai sekarang sudah 9 tahun aku merokok dan belum ada rencana untuk berhenti.” Mengenai dampak dari merokok, Nita mengaku sedikit tahu namun belum peduli. “Kalau efeknya terasa, aku pasti akan mulai berpikir ulang untuk mulai mengurangi kebiasaanku. Tapi, saat ini rokok membantu meringankan stres dan sangat mendukung kelancaran kerjaku,” jelas Nita mantap.
Tulisan ini sekadar wacana, karena semua kembali lagi pada diri kita masing-masing. Ibarat hak asasi, mau menjadi perokok aktif atau memutuskan menjauhi rokok sepenuhnya jadi keputusan pribadi, tinggal bagaimana kita menyikapi dampak yang ditimbulkan dari pilihan kita tersebut. So, kamu mau menjadi salah satu penyumbang angka jumlah perokok perempuan Indonesia, mengabaikan dampak negatif jangka panjang karena terlanjur tergiur pada manfaat nyatanya saat ini, atau pilih menyebarkan fakta ini pada kerabat perokok untuk memperingatkan mereka, sepenuhnya hakmu. Memang tak mudah mengubah kebiasaan hidup, tapi relakah kesehatan dan keuanganmu digunakan untuk menebus kenikmatan sebatang rokok?