Pulang Kampung, Matah Ati Solo Digelar Merakyat Di Ruang Terbuka

Fimela Editor diperbarui 18 Sep 2012, 10:09 WIB
2 dari 6 halaman

Next

Nggak heran jika masyarakat perkotaan, khususnya Jakarta, identik dengan khidupan yang serba modern dan jauh dari sentuhan budaya lokal dan tradisional. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa semakin lama kebudayaan lokal pun semakin tergerus kebudayaan asing yang masuk dan semakin sedikitnya orang-orang yang memang tertarik kepada budaya lokal dan tradisional.

Namun, rupanya fakta berbicara lain saat sebuah sendratari yang diangkat berdasarkan kisah nyata dari Jawa Tengah, Matah Ati dibawa ke atas pentas. Sebuah pertunjukan yang sangat kental dengan budaya lokal Jawa ini mampu menyedot perhatian dari berbagai kalangan. Sendratari Matah Ati sebelumnya pernah tampil di salah satu teater besar di Singapura, Esplanade. Antusiasme penonton, baik dari Indonesia dan Singapura, dalam menyabut pementasan ini pun cukup besar.

3 dari 6 halaman

Next

Seolah ingin mengulang kesuksesan seperti yang mereka dapatkan di Singapura, Jay Subiakto selaku penata artistik pun kembali menggelar pementasan Matah Ati di Jakarta. Ya, kesuksesan berulang. Selang beberapa bulan setelah mendulang sukses di Jakarta, pada awal bulan September ini, Jay Subiakto dan kru menggelar pementasan Matah Ati di tanah asalnya, Solo.

Lagi-lagi Matah Ati berhasil memikat masyarakat untuk menikmatinya. Rasanya tidak sedikit orang yang rela beranjak dari Jakarta dan bergerak ke Solo hanya untuk menikmati pertunjukkan yang seluruh dialognya menggunakan Bahasa Jawa. Pada tanggal 8—10 September, kota Solo tidak ubahnya seperti Jakarta, pasalnya ke manapun kita beranjak pasti akan menemukan orang Jakarta.

4 dari 6 halaman

Next

Jika melihat fenomena pertunjukkan Matah Ati yang baru saja digelar, sepertinya kita patut bangga karena ternyata masyarakat Indonesia sudah mau mulai mencintai dan membuka hati untuk mengapresiasi kesenian yang berbau lokal. Patut diakui memang bahwa sendratari yang berdurasi sekitar 2 jam ini merupakan perpaduan antara kebudayaan lokal Jawa dengan sentuhan modern dari sisi tata panggung dan juga permainan cahaya.

5 dari 6 halaman

Next

Sekitar lebih dari 250 penari lokal meramaikan pementasan Matah Ati kali ini. Pementasannya yang berlangsung di Pamedan Pura Mangkunegaran juga menjadi daya pikat tersendiri bagi para penonton. Halaman Keraton Mangkunegaraan di sulap menjadi panggung raksasa yang dilengkapi dengan pencahayaan dan wall mapping membuat pertunjukkan yang baru berlangsung selama 3 hari ini terasa sangat hidup. Kemasan menarik seperti inilah yang menjadi daya tarik bagi wisatawan lokal untuk mau menikmati sendratari yang mungkin tidak mereka pahami sama sekali bahasa pengantarnya. Mulai dari masyarakat lokal, luar kota, hingga orang asing pun ikut menikmati pertunjukkan sendratari yang disutradarai oleh Atilah Soeryadjaya. Paquita Wijaya, Arie Dagienkz, Lala Timothy, Novita Angie, hingga Izabel Jahja dengan sengaja terbang menuju Solo untuk menyaksikan Matah Ati. Dan yang menarik juga adalah dalam pertunjukkan kali ini, pihak panitia menyediakan tiket gratis untuk penduduk lokal.

6 dari 6 halaman

Next

Cara mengemas dan cara menyampaikan budaya lokallah yang harus menjadi perhatian para seniman agar masyarakat tertarik dan mau mengenal kembali kebudayaan mereka. Mengalkuturasi kebudayaan lokal dengan teknologi modern bukan berarti kita harus menggerus habis kelokalan dan menyesuaikannya dengan selera masyarakat saat ini. Buktinya, Bedhaya dalam Matah Ati masih terasa kesakralannya dan tetap terasa Bedhaya seutuhnya walaupun dipentaskan dalam pertunjukkan yang lebih bersifat modern. So, untuk mulai menarik kembali minat anak-anak muda pada kesenian lokal, rasanya nggak ada salahnya jika para penggiat seni dan kebudayaan lokal mulai menciptakan pementasan-pementasan yang memadukan unsur lokal dan modern dalam satu kemasan.