Next
Laki-laki dikenal bisa lebih leluasa memandang seksualitas. Tanpa cinta, kebanyakan merasa bebas melakukan hubungan intim. Laki-laki juga menjadikan seks sebagai alasan untuk menambah keintiman hubungan, sehingga umur sama sekali tak menjadi penghalang bagi mereka untuk tetap aktif berhubungan seksual dengan pasangan, selama mereka mampu. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, yaitu kepuasan, laki-laki cenderung terkesan “egois”, misalnya dengan lebih memilih tidur terlelap, sementara perempuan yang menjadikan seks sebagai salah satu cara mengungkapkan perasaan lebih suka tenggelam dalam kemesraan panjang sebelum dan seusai bercinta.
Begitu banyak penelitian yang sepakat dengan beberapa hal di atas. Secara umum, mungkin hal itu benar, tapi tak ada salahnya mencoba mencari tahu langsung dari para perempuan. Inilah pengakuan 4 Fimelova: Eureka Febrisyah (28 tahun, marketing consultant), Wanda Mulya (26 tahun, penerjemah), Leli Ardilla (24 tahun, volunteer), dan Sisillia Ayu (26 tahun, ibu rumah tangga).
What's On Fimela
powered by
Next
Seks itu sakral.
Eureka Febrisyah: “Ya. Seks adalah simbol keintiman yang mengikat pasangan seumur hidup, jadi pantasnya dilakukan hanya dengan satu orang setelah resmi menikah.”
Wanda Mulya: “Pengertian sakral buatku sendiri luas, ya. Aku bisa menganggapnya sakral ketika berhubungan dengan orang yang kusayangi, tapi jadi aktivitas biasa ketika berhubungan dengan orang lain. Intinya, selama aku menikmatinya, sakral atau tidak, tak jadi soal.”
Leli Ardilla: “Seks sakral selama dilakukan atas dasar cinta. Perasaan sayang muncul dengan sendirinya, begitu juga dengan keinginan untuk melakukan hubungan intim, memberikan apa yang kita punya untuk orang yang kita sayangi. Aku kira, itu terjadi secara alamiah.”
Sisillia Ayu: “Ya, karena aku melakukannya dengan pasangan yang kuyakini akan jadi pendampingku. Dan terbukti, kami makin intim dan terikat satu sama lain hingga menikah.”
Next
Hubungan intim melibatkan perasaan.
Eureka Febrisyah: “Jelas. Mungkin pendidikan yang ditanamkan orangtua begitu dalam. Bukannya tak ada kesempatan ke arah sana, hanya saja aku memang tidak ingin melakukannya sembarangan. Harus dengan cinta dan kesepakatan pasangan seumur hidup.”
Wanda Mulya: “Nggak selalu. Ketika melakukannya dengan pasanganku, perasaan ikut bermain di sana. Tapi, ketika baru bertemu dengan seseorang dan berakhir di ranjang, biasanya ketertarikan, dan tentu saja napsu, yang ikut andil.”
Leli Ardilla: “Awalnya begitu. Aku dan pasangan melakukan hubungan intim karena perasaan cinta yang menurutku ketika itu begitu menggebu. Tapi, lama-kelamaan tanpa alasan jelas kami melakukannya, jadi seperti sebuah kebiasaan. Kalau tak berhubungan intim saat bertemu, kami merasa ada yang kurang.”
Sisillia Ayu: “Harus dong. Hubungan intim dilakukan dengan persetujuan bersama. Walaupun mungkin salah satu dari kami sedang netral, tak terlalu bergairah, tapi ketika pasangan meminta ya dengan ikhlas harus melayani. Pengorbanan karena rasa sayang.”
Perempuan adalah objek dalam aktivitas seksual.
Eureka Febrisyah: “Sepengetahuanku memang begitu. Tapi, tak salah juga kalau perempuan punya peran yang sama dengan laki-laki saat di ranjang. Masih termasuk dalam taraf pengabdian pada suami, asalkan tak berlebihan atau si perempuan jadi hypersex. Kalau sudah maniak jatuhnya memenangkan napsu, bukan perasaan lagi.”
Wanda Mulya: “Objek sekaligus subjek. Objek sebagai pemuas pasangan dan subjek yang berusaha mencari kepuasan sendiri. Bagaimanapun pasangan nggak bisa tahu pasti bagaimana cara memuaskan kita, jadi kita yang harus aktif, paling nggak, ya, memberikan sinyal atau kode-kode tertentu.”
Leli Ardilla: “Tergantung gairah. Ada kalanya aku sangat ingin berhubungan intim. Pada situasi itu aku akan lebih dominan ketimbang partner seks, sementara ketika sedang tak ingin melakukannya, tapi pasangan meminta, ya aku akan lebih pasif, bahkan cenderung pasrah.”
Sisillia Ayu: “Selama ini aku memang menjadi objek karena suami lebih aktif dan inisiatif. Aku memang lebih suka dimanja dan diperlakukan istimewa, sementara suami mudah terangsang cuma dengan melihatku menikmati permainannya.”
Terbukti, nyatanya tak semua perempuan menjadikan seks satu paket dengan cinta, alias seks sebagai pemenuhan hasrat semata. Tapi, di balik aktivitas seksual yang intens dengan pasangan resmi maupun tidak, mereka tetap percaya seks dan cinta memiliki korelasi. Ya, walaupun seringkali korelasi itu dikaburkan oleh kepentingan personal lainnya.