Cerita Masa Lalu dalam Hubungan Cinta Baru

Fimela Editor diperbarui 12 Sep 2012, 07:59 WIB
2 dari 3 halaman

Next

Komunikasi dan keterbukaan adalah dua faktor utama untuk menjaga kelanggengan sebuah hubungan. Tapi, dua hal itu bukan berarti tak memiliki batas. Komunikasi yang kelewat intens dan terlalu terbuka pada pasangan terbukti justru memicu konflik baru. Norton, perusahaan penyedia jasa keamanan komputer dan internet, sendiri mengungkapkan makin banyaknya pasangan yang saling berbagi password email dan akun jejaring sosial, sehingga potensi pertengkaran akibat isi email dan jejaring sosial makin besar.

Bukan cuma meributkan komunikasi pasangan dengan teman-teman di jejaring sosial atau rekan kerja, lho, tapi juga tentang hubungan di masa lalu yang kemesraannya masih bisa dilacak lewat email atau direct message. Olga (28 tahun, pengajar daycare) mengakuinya, “Aku suka sebal tiap lihat email pacar dan mantannya dulu dan kadang kebawa, jadi membanding-bandingkannya dengan hubunganku dan dia sekarang.”

Begitu juga dengan Ninu (26 tahun, merchant officer) yang mengatakan ia dan tunangan saling terbuka, termasuk menceritakan semua masa lalu mereka. Tapi, rupanya itu belum cukup bagi Ninu. “Kami memang berkomitmen lebih baik tahu dari pengakuan pasangan sendiri, walaupun menyakitkan, daripada suatu saat nanti harus tahu dari orang lain. Tapi ya, biasa perempuan kan, suka penasaran. Pengakuan dari mulut kurang meyakinkan, jadinya sempat mencoba melacak dari jejaring sosial,” ungkapnya.

3 dari 3 halaman

Next

Hetty Anggraini, pengajar psikologi Universitas Muhammadiyah Lampung, sendiri mengingatkan agar media sosial tak menjadikan pasangan saling curiga, karena hanya akan menguras emosi dan pikiran. Kita bakal menemukan “banyak hal yang tak kita sukai” karena bukti-bukti nyata masa lalu terekam sempurna di sana, dan mengetahui terlalu dalam cuma akan membuat tak tenang, sementara kalaupun kita tidak suka, toh itu sudah terjadi dan hanya jadi bagian dari masa lalu pasangan. Ajeng Raviando, psikolog dari PT Daya Insani yang merupakan konsultan psikologi dan hipnoterapi, juga mengatakan bahwa memantau dan menginvestigasi pasangan secara berlebihan hanya akan berujung pada perpisahan, walaupun dengan alasan terlalu sayang atau sangat takut kehilangan dia. “Hubungan menjadi tak sehat, tak heran kalau kemudian pasangan ingin melepaskan diri,” ungkap Ajeng. Pada tingkat tertentu, pelaku tindakan yang berlebihan itu bahkan membutuhkan terapi khusus untuk menghilangkan kebiasaannya yang mulai “mengganggu”.

Begitulah Fimelova, ibarat berdagang, sepenuhnya jadi keputusan kita untuk memberitahukan kualitas barang dagangan, termasuk ketika ada yang kurang sempurna, pada customers. Tapi, kita tak bisa memberitahukan besar modal atau keuntungan kita, dan mereka pun tak akan menanyakannya, walaupun mungkin penasaran. Hal itu pun berlaku dalam sebuah hubungan. Kepahitan dan masa lalu yang tak sempurna bisa saling dibagikan dengan pasangan ketika keduanya siap berkomitmen lebih jauh lagi. Tapi, tiap orang juga punya hak menyimpan ketika belum siap atau memang tak ingin mengungkap rahasia pribadi. Tak perlu “mengorek” terlalu dalam masa lalu yang sebenarnya tak memberi keuntungan apa pun pada hubungan baru. Percaya saja, walaupun ada istilah first (or second, third, bla, bla…) love never die, nyatanya cuma kenangan yang masih tinggal diam dalam otak. Sementara cinta, ya cuma untuk pasangan sejati!