Next
Banyak yang menyayangkan saya menjadi bintang sinetron
Sering saya mendengar kalau saya sangat disayangkan mencemplungkan diri sebagai bintang sinetron, padahal saya diharapkan untuk bisa lebih dari profesi itu. Bagi saya, itu bukan masalah, karena toh profesi ini tidak merugikan saya. Dengan menjabat titel ini, saya seperti mendapatkan full access untuk melakukan hal lain, seperti membuat bisnis baru, mencari modal, mendapatkan akses yang lebih mudah untuk mengenal orang, atau menyampaikan misi pribadi, contohnya partisipasi saya untuk memajukan Wikipedia Indonesia. Lagipula, saya nggak mutlak menganggap diri saya sebagai seorang artis sinetron, karena saya punya profesi lain yang dikerjakan secara paralel. Saya tidak seperti Nikita Willy yang bisa berbulan-bulan terlihat berakting di sebuah judul sinetron stripping. Saya selalu membatasi penampilan saya paling hanya 2-3 bulan, setelah itu menghilang dari layar kaca. Sebagian waktu saya nggak habis hanya di lokasi syuting kok, karena saya masih bisa melakukan banyak hal lain yang lebih serius dan berharga.
Lucunya, saya terkadang harus bisa memaklumi kalau status saya sebagai Christian Sugiono sebagai aktor sinetron lebih menarik untuk calon klien, ketimbang saya sebagai perwakilan dari malesbanget.com, perusahaan dan situs yang saya rintis bersama teman-teman. Saya juga harus bisa sabar menghadapi anggapan klien kalau saya artis sinetron yang cuma iseng membuat bisnis. Tapi, dengan semakin saya diremehkan seperti itu, malah membuat saya semakin terpacu untuk membuktikan diri kalau saya lebih dari sekadar artis sinetron. Saya aktor yang memiliki bekal pendidikan dan keahlian yang sebaiknya jangan diremehkan.
What's On Fimela
powered by
Next
Saya nggak suka terlalu diekspos
Selebriti dan wartawan adalah hubungan yang seharusnya saling menguntungkan, tapi seringnya saya nggak merasakan itu dari cara kerja sebagian besar infotainment di sini. Saya, sebagai figur publik, merasa dikejar seperti maling, sementara mereka mengejar saya seperti tukang kredit seolah saya berhutang pada mereka. Makanya, saya adalah figur yang sangat membatasi penampilan saya di infotainment dan hanya mau diliput ketika ada hasil kerja atau prestasi saya yang pantas untuk diberitakan. Overexposed itu bukan hal yang saya cari dari dunia hiburan ini. Berbagai rumor tentang hubungan saya dengan Titi semenjak kami berpacaran, adalah sasaran langganan untuk digosipkan, dan itu mengesalkan karena berkaitan dengan keluarga besar yang terkena imbasnya. Sangat kesal rasanya kalau hubungan kami diutak-atik dan didramatisasi, padahal sebenarnya kami baik-baik saja.
Infotainment juga yang menjadi alasan utama kami memilih menikah di Perth. Bukan karena ingin menikah diam-diam, tapi mencari ketenangan untuk hari sakral kami. Di tahun 2009 itu, menjelang pernikahan kami, saya melihat ada beberapa pihak yang berencana untuk memanfaatkan momen pribadi kami untuk sesuatu yang negatif demi keuntungan mereka. Hari yang seharusnya tenang dan bahagia untuk kami, menjadi bagian dari permainan politik media. Belum lagi pertanyaan soal agama dan isu privat lainnya, yang makin membuat saya menutup mulut terhadap infotainment untuk hal-hal pribadi.
Next
Titi Kamal itu…
Menjadi sosok perempuan paling sentral dalam hidup saya. Ayah dan ibu saya bercerai saat saya kelas 6 SD hingga membuat saya jarang bertemu dengan ibu dan jarang bergaul dengan ayah karena beliau sibuk bekerja. Saya punya kakak perempuan yang berbeda usia dua tahun dari saya, tapi di masa pertumbuhan saya dulu dia sedang asyik bermain dengan teman-temannya. Alhasil, saya pun jadi lebih banyak bergaul dengan teman-teman saya sesama laki-laki dan membuat saya buta tentang perempuan. Perempuan adalah makhluk yang paling “jauh” untuk saya dan susah dijamah karena saya nggak tahu apa-apa tentang mereka. Hidup saya terkena sentuhan perempuan baru saat saya kenal dan berpacaran dengan Titi. Baru saya bisa tahu bagaimana itu empati dengan orang lain atau nilai-nilai kemanusiaan lain yang biasanya diajarkan oleh sosok ibu. Makanya kalau ditanya bagaimana sosok perempuan di hidup saya, itu bisa dideskripsikan oleh istri saya, karena dialah satu-satunya sosok perempuan yang saya kenal betul.
Titi memang yang terbaik untuk saya, makanya saya menikahi dia. Titi bisa mengimbangi saya yang istilahnya “boys will be boys”. Pengertiannya terhadap saya juga luar biasa, salah satunya keengganan saya untuk memakain cincin kawin seperti normalnya laki-laki menikah. Untuk hal yang satu itu, saya memang kurang nyaman untuk mengenakannya karena harus bolak-balik menggunakan dan melepas itu untuk keperluan syuting, dan itu berisiko hilang. Sempat dia curiga apa ini trik saya agar selalu kelihatan lajang di hadapan orang lain, tapi toh wajah saya sudah dikenal dimana-mana dan hampir semua orang tahu kalau saya milik Titi tanpa diikat oleh cincin sekalipun. Inilah yang membuat saya cocok dengannya. Dan, ketika saya sudah mendapatkan yang pas, saya nggak akan mau lagi ganti-ganti. Hal itu berlaku juga untuk penggunaan device komunikasi atau sepatu. Satu-satunya hal yang harus terus “bergerak” dan berganti-ganti adalah kesukaan saya pergi ke tempat-tempat baru dan bertemu orang baru. Perihal yang “menempel” pada saya, biasanya awet. Mudah-mudahan begitu pula untuk pasangan hidup.
Next
Sedang di fase menunggu anak
Usia saya 31 tahun sekarang dan itu membuat saya bisa bilang kalau saya sedang berada di fase menunggu anak. Semua fase sudah saya lewati, mulai dari senang-senangnya anak muda hingga senangnya punya istri, dan kini saat yang tepat untuk bersiap menjadi ayah. Sebagai pemula, saya banyak bertanya pada teman-teman bagaimana rasanya memiliki anak dan kebanyakan dijawab kalau tahap pusingnya hanya di 2 tahun pertama, selanjutnya semuanya lancar. Tapi, entah kenapa, hingga kini saya merasa kalau saya seperti terhenti di usia 23 tahun, hingga membuat saya lupa kalau sebenarnya saya sudah berkepala tiga. Titi sering mengingatkan kalau saya bukan pemuda usia 20 tahunan lagi, dan jujur saya pun sering terkejut sendiri kalau saya sudah bergerak secepat itu.
“Terjebaknya” saya di usia 23 tahun, bisa jadi karena saya banyak menghabiskan hidup saya dengan Titi. Kami selalu bersama selama kurang lebih 12 tahun belakangan ini, hingga seolah waktu berhenti. Di satu sisi, saya masih merasa kalau saya adalah laki-laki 23 tahun, tapi di sisi lain ada tanggung jawab yang harus saya penuhi sebagai laki-laki dewasa, sehingga terkadang membuat saya merasa aneh dengan diri saya sendiri. Rasanya, usia 24 hingga sekarang ini seperti hilang dan terlewati begitu saja oleh saya. Walau begitu, ada satu hal yang nggak luput dari perhatian saya, yaitu saya melihat sosok Titi tidak pernah berubah, masih sama seperti ketika pertama bertemu dan berpacaran. Sama halnya dengan Titi kepada saya.