Next
AOL Living dan Woman’s Day pernah membuat survei yang hasilnya cukup mengejutkan. 50% lebih dari 35 ribu perempuan merasa menikah bukan dengan orang yang tepat dan menyesalinya. Ketertarikan mereka pada pasangan memudar seiring dengan makin bertambahnya usia pernikahan. Bahkan, sebagian besar juga mengaku sempat berpikir untuk meninggalkan pasangan. Mengartikan bahwa pernikahan memang tak selalu penuh dengan kebahagiaan dan dipenuhi dengan bermacam permakluman, konsekuensi dari dua kepribadian yang disatukan dalam sebuah janji sakral.
“Usia pernikahanku baru setahun, tapi rasanya nggak akan bertahan lebih lama lagi. Aku menyesal terlalu cepat menikah dan kehilangan banyak hak sebelum waktunya. Sekarang mana bisa aku menghabiskan waktu dengan keluargaku sendiri, apalagi berkumpul dengan teman-teman. Suami protektif banget. Aku jadi seperti di penjara,”Citra (24 tahun, freelancer) mencurahkan isi hati.
Olan (27 tahun, graphic designer) juga mengaku pernah menyesal terburu-buru menikah. “Aku seperti terbuai romansa cinta. Ketika berpacaran sebenarnya sudah merasa banyak ketidakcocokan di antara kami, tapi aku pikir itu cuma butuh penyesuaian dan dengan sendirinya mengalir alami ketika sudah menikah. Eh, perbedaan demi perbedaan malah terus muncul. Selain mencoba lebih mengerti dan nggak egois, nggak ada lagi yang bisa aku lakukan karena sebisa mungkin pernikahan tetap harus dipertahankan.”
What's On Fimela
powered by
Next
Melihat fakta banyak perempuan yang tak bahagia dalam pernikahannya, psikolog Israele Euaggelion dari Psychological Assesement Centre LOVE angkat bicara bahwa tiap keputusan memiliki konsekuensinya, dan kita harus menerima setiap konsekuensi dari keputusan, atau yang kita sebut sebagai kesalahan, di masa lalu.“Tiap hal yang terjadi adalah proses pembelajaran untuk mencapai hasil yang lebih baik untuk keluarga, proses saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Jadi, jangan terburu-buru menyesalinya dan merasa tak ada jalan lain selain perpisahan,” saran Israele.
Merasa telah berjuang cukup berat menyesuaikan diri dengan status barunya sebagai seorang istri, Cindy (31 tahun, guru) pun berbagi pengalamannya, “Lima tahun pertama menikah penuh penyesalan karena aku seperti kehilangan duniaku. Banyak hal baru yang harus aku urus selain kebutuhanku sendiri, dan itu melelahkan. Tapi, lama-lama makin terbiasa dan sudah lebih bisa menempatkan diri. Apalagi, setelah punya anak fokusku jadi cuma untuk keluarga.” Bagi Cindy, naluri sebagai seorang istri dan ibu pasti akan muncul di saat yang tepat, tanpa disadari oleh setiap perempuan. Tambahnya, “Nanti, ada masanya lagi di mana kita akan bersyukur bisa membangun keluarga sendiri.”
Mari menempatkan pernikahan sebagai proses alami yang akan dialami oleh hampir semua orang. Karena ini bagian dari perjalanan hidup, maka tak pernah ada kata salah atau terjebak atau terpaksa atau nekat atau kata negatif lainnya. Seperti yang Israele ungkapkan, tiap hal yang terjadi adalah proses pembelajaran untuk mencapai hasil yang lebih baik, terutama dalam kehidupan rumah tanggamu—sekarang atau nanti. Pasangan diberikan kepada kita bukan sebagai petaka atau musibah, melainkan teman belajar bersama. Dan dalam proses belajar, tiap pasangan tentu punya soal sukar, kesulitan, dan ujian yang berbeda. Ketimbang menyesal, kenapa tak coba memecahkan tiap soal dan “naik kelas”?