Keharmonisan Rumah Tangga VS Bentuk Tubuh

Fimela Editor diperbarui 24 Agu 2012, 07:59 WIB
2 dari 3 halaman

Next

Tim FIMELA.com pun bertanya pada beberapa perempuan tentang hubungan pernikahan mereka, dari yang baru hingga sudah belasan tahun menikah. Beragam reaksi didapat. Poin kedua, pernikahan akan langgeng dan bahagia ketika istri menjaga penampilan dengan baik, memang masuk akal. Sisi positifnya, ketika perempuan bisa merawat dirinya dengan baik, mereka pun berpeluang sukses mengurusi keluarga, termasuk memenuhi kebutuhan suami yang menginginkan pasangannya tetap menarik baginya.

“Sebelum menikah aku hobi banget merawat tubuh, dari perawatan sendiri sampai rutin ke salon. Setelah menikah semua berubah, banyak waktu tersita untuk pekerjaan, suami, dan anak. Tiba-tiba kagetlah melihat kulit kering, flek hitam di wajah, lemak di beberapa bagian tubuh. Malu sendiri sama suami. Dia nggak pernah protes sih, tapi setelah aku merawat tubuh lagi, suami baru bilang kalau dia lebih senang melihat aku sekarang, makin cantik dan fresh, jadi nggak membosankan,” Christine, 35 tahun, entrepreneur, menanggapi.

“Ibu saya justru yang sering berpesan agar saya tetap rajin berdandan walau sudah berumah tangga. Bukan untuk menarik perhatian orang seperti saat lajang dulu, melainkan agar suami tetap menghargai saya. Ibarat ‘sesuatu’ milik seseorang yang terus terjaga kualitas, juga kemasannya, pasti akan membuat pemiliknya makin suka. Dan tidak menutup kemungkinan orang lain yang melihat juga ikut mengagumi ‘sesuatu’ itu. Ada kebanggaan atau gengsi tersendiri bagi pasangan,” timpal Norma, 28 tahun, ibu rumah tangga.

Lalu, kami pun mundur selangkah ke poin pertama, tentang kelanggengan pernikahan istri yang lebih langsing ketimbang suami. Ke mana cinta yang katanya apa adanya itu?

Rosi, 32 tahun, supervisor, angkat bicara, “Siap membangun rumah tangga artinya siap juga menerima segalanya dari pasangan, termasuk perubahan bentuk tubuh yang sudah sangat umum terjadi. Wajar kalau masing-masing makin terlihat makmur. Jadi, nggak ada masalah dengan bentuk tubuh. Aku menerima pasanganku yang naik 15 kg setelah 5 tahun menikah denganku, dia pun juga menerimaku yang makin lebar setelah dua kali melahirkan. Ini bagian dari proses dan kami menikmatinya. Tetap langgeng, tuh.”

3 dari 3 halaman

Next

“Mungkin maksudnya perempuan dengan berat badan yang makin naik setelah menikah jadi nggak secekatan dulu, nggak semenarik dulu, bukan semata persoalan fisik. Soalnya suamiku pun pernah protes dengan berat badanku. Memang nggak naik banyak, tapi perut membuncit dan paha yang makin lebar berpengaruh di ranjang. Kata suami, aku jadi kurang lincah. Itu masukan positif dan jadi semangat untuk diet. Ambil untungnya saja, toh demi kebaikan bersama,” Nungky, 29 tahun, lawyer, berusaha mengambil sisi positifnya.

“Nah, masalahnya fisik seseorang berubah bukan hanya setelah menikah. Banyak sekali pasangan yang sejak sebelum menikah hingga memutuskan menikah dan hidup bersama sudah bertubuh gemuk. Apa artinya, pernikahan itu nggak akan langgeng?” kritik Rosi.

Andrea Meltzer, salah satu peneliti sekaligus kandidat doktor University of Tennessee menjelaskan sedikit mengenai penemuannya dan tim bahwa sebagian besar laki-laki lebih bahagia bersama perempuan yang lebih langsing ketimbang dirinya sendiri. Ini bukan hal baru. Logikanya, laki-laki selalu ingin mendapatkan yang terbaik, termasuk soal pendamping. Tapi, bukan berarti kan, perempuan gemuk bukan yang terbaik. Mungkin, patokan kesempurnaan atau perempuan cantik yang langsing, berambut panjang, berkaki jenjang, dan sebagainya itu masih melekat dalam cara pandang mereka.

Andrea kembali mengungkapkan bahwa sebagian besar perempuan pun demikian, akan merasa lebih puas ketika memiliki tubuh lebih kurus ketimbang pasangannya. Hal ini, lagi-lagi, berkaitan dengan psikologis perempuan sebagai sosok yang selalu ingin tampil sempurna dan cantik, juga selalu merasa diinginkan oleh pasangan. Dengan tampil menarik, pasangan akan aman di sisinya. Penelitian 24 tahun yang dilakukan oleh Max Planck Institute for Human Development, Berlin, Jerman, pun mengungkapkan demikian. Perempuan bahkan dikatakan lebih bahagia ketika bisa memiliki tubuh ideal ketimbang ketika bertemu dengan laki-laki impian. Sejalan dengan penelitian Max Planck Institute for Human Development, dalam buku How to be a Happy Human karangan psikolog Pam Spurr dijelaskan juga kalau berat badan mempengaruhi semangat perempuan sekaligus membuat mereka sengsara karena stigma yang ada, bahwa penderita obesitas cenderung malas dan nggak diinginkan.

Selama kita hidup dalam masyarakat yang masih mempermasalahkan ukuran, bentuk, tubuh, dan penampilan yang menarik, mungkin kita harus setuju dengan hasil penelitian Andrea dan tim kalau pernikahan bisa dipengaruhi bentuk tubuh perempuan. Kecuali, perlahan kita mau mengubah cara pandang, melupakan bentuk tubuh sebagai penentu kebahagiaan dalam hubungan percintaan, juga dalam konteks apa pun. Tiap pasangan punya cara dan berhak memilih untuk bahagia, lepas dari faktor fisik. Setuju yang mana, Fimelova?