Tempe, Terjajah di Negeri Sendiri

Fimela Editor diperbarui 06 Agu 2012, 07:59 WIB
2 dari 3 halaman

Next

Menteri Pertanian Suswono mengakui produksi kedelai negeri sendiri hanya mampu memenuhi 40% kebutuhan masyarakat, sementara 60% sisanya sepenuhnya mengandalkan produk impor. Karena itu, ketika Amerika sebagai negara penghasil kedelai yang cukup besar di dunia mengalami kekeringan dan ada pembelian besar-besaran oleh China, harga kedelai pun ikut melonjak. Dalam waktu 2 bulan, harga kedelai dari yang semula 6 ribu menjadi 8 ribu rupiah. Perajin kewalahan menghadapi kenaikan harga produksi sementara konsumen mereka sebagian besar berasal dari kelas menengah ke bawah.

Sayang, kebutuhan masyarakat yang begitu tinggi terhadap kedelai sebagai bahan utama pemroduksian tempe, tahu, juga kecap, tak diimbangi dengan kesadaran untuk menanam dan memanen kedelai sendiri. Semua beralasan. Masyarakat di Grobogan, Jawa Tengah, misalnya, hingga kini lebih tertarik menanam jagung ketimbang kedelai di musim ketiga karena kedelai membutuhkan perawatan intensif dan konsumsi air yang cukup banyak, sementara jagung jauh lebih simpel dan mudah perawatannya. Tentunya, yang paling utama, menghasilkan keuntungan lebih banyak ketimbang kedelai. Harga kedelai yang seringkali hanya 5 ribu rupiah per kilogram membuatnya kian tak menarik dibandingkan jagung atau padi, yang menjanjikan keuntungan lebih besar. Jadi, kalau produksi kedelai lokal ingin lebih digalakkan lagi, mesti ada kebijakan harga dasar pembelian kedelai sehingga ada jaminan keuntungan yang pasti. “Konsumen menghendaki harga kedelai murah, petani yang jadi korban. Itu yang membuat swasembada sulit diwujudkan,” jelas Winarno Tohir, Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA).

Masalah sulitnya mendapatkan benih dan berbagai hama penyakit yang mengancam juga jadi poin tersendiri yang membuat para petani enggan menanam kedelai. Padahal kualitas kedelai lokal, kalau serius digarap tentu tak kalah atau bahkan lebih baik ketimbang kualitas kedelai impor. Hasil penelitian Jonathan Agranoff, pengamat tempe dari Inggris, mengungkapkan walapun bentuk kedelai lokal lebih kecil dan tak rata dibandingkan kedelai impor, rasanya jauh lebih enak. Kedelai impor yang masuk ke Indonesia juga tak jarang merupakan stok lama yang tak laku lagi dijual, atau seharusnya sudah dijadikan pakan ternak di negara lain. Namun, karena pasar Indonesia besar mengingat masyarakat, khususnya di Jawa, menjadikan tahu dan tempe makanan pokok, stok kedelai dengan kualitas rendah itu mengalir lancar ke negara kita.

What's On Fimela
3 dari 3 halaman

Next

 

Sebagai salah satu solusi, pemerintah menurunkan bea masuk impor kedelai dari 5 jadi 0 persen sampai akhir tahun. Harga kedelai turun 500 rupiah, tapi justru membuat petani makin tak berminat menanam kedelai sendiri karena kedelai impor dengan kualitas lebih baik dan harga terjangkau mudah didapat. Buah simalakama. Pemerintah kehilangan penerimaan pajak sebesar 350 miliar rupiah akibat penurunan bea masuk tersebut, tapi tak menyelesaikan masalah mendasar. Karenanya, Winarno sempat mengusulkan pemerintah untuk mengubah alokasi dari subsidi bea cukai menjadi dana dukungan budidaya kedelai. Maksudnya agar petani kedelai merasa mendapat perlakuan sama seperti petani beras yang sejak dulu pun mendapat subsidi dari pemerintah, misalnya dengan pemberian bibit unggul. Toh, Ketua Pusat Koperasi Tahu dan Tempe Indonesia (Puskopti) Jakarta Selatan, Sutaryo, mengungkapkan penurunan harga kedelai yang cuma sebesar 500 rupiah tak berpengaruh banyak pada  perekonomian masyarakat. Petani masih berharap harga kedelai bisa kembali ke angka 6.000 sampai 6.500 rupiah.

Kalau terus berkutat di sana tanpa niat dan usaha nyata menggerakkan masyarakat mencintai produk lokal, berusaha meningkatkan kuantitas dan kualitas produk dalam negeri, dilema kedelai seterusnya akan jadi permasalahan rutin. Permasalahan bangsa pengonsumsi, bukan pemroduksi, adalah ketergantungan penuh pada produk orang lain karena tak bisa menghasilkan sendiri apa yang dibutuhkan itu. Sayang, masyarakat faktanya tetap lebih mempercayai produk impor ketimbang produk sendiri lantaran terlihat lebih meyakinkan dan murah pastinya. Tempe dan tahu akhirnya jadi korban, terjajah di negeri sendiri akibat bahan baku utamanya tak bisa dikuasai bangsa kita. Sama seperti produk lokal lain yang juga terjajah di negeri sendiri cuma karena kepercayaan diri masyarakat masih terkubur dalam dan belum ada niatan untuk bangkit.