Next
Bonbon: Berpura-pura sakit bisa curi hati mantan…
“Malu mengenangnya, tapi ini bisa jadi pelajaran untuk Fimelova. Dua hal, pertama, ketika satu-satunya jalan membuat orang yang kamu cintai bertahan di sampingmu adalah dengan membuatnya iba, kamu bisa berpura-pura sakit sementara waktu, misalnya, sampai iba-nya berubah jadi kebiasaan, syukur-syukur langsung cinta. Kedua, ini yang paling penting, rencanakan ‘kebohongan demi kebaikan’ itu sematang mungkin, atau kecerobohanmu itu yang justru langsung membuatnya pergi,” Bonbon, 25 tahun, staf keuangan.
Bonbon pernah mencoba cara yang menurutnya gila ke mantan pacarnya saat SMA. Mereka berpacaran selama 2 tahun, lalu putus tanpa alasan jelas. Nggak lama, si mantan itu dekat dengan perempuan lain yang juga dikenalnya. Ini membuat Bonbon putus asa, sampai muncul ide untuk pura-pura sakit. Bonbon melanjutkan kisahnya, “Tiap ketemu dia aku memasang tampang masam, lalu meminum vitamin yang kuakui sebagai obat di depannya, juga rajin update status, bilang badan nggak enak dan rutin terapi ini-itu. Dari sana dia jadi care lagi dan makin dekat denganku, walaupun di saat-saat tertentu dia menghilang tanpa kabar. Aku pikir ini gila. Aku seperti sedang main sinetron dan jadi tokoh antagonis yang menyebalkan. Aku sukses menjalankan misi, sampai suatu hari saat makan siang dengannya, aku membuka bungkus vitamin dan dengan bodoh membuangnya di piring bekas makanku. Dari situlah dia yang memang sudah penasaran banget dengan penyakitku mengambil dan membaca merek vitamin yang sangat jelas terpampang! Duerr, kelar, deh.”
Sejak itulah hubungan Bonbon dengan sang mantan merenggang. Setelah itu dia juga baru tahu kalau kebiasaan sang mantan menghilang, nggak lain adalah untuk bertemu pacar barunya, tapi nggak tega bilang jujur pada Bonbon. “Gila memang, tapi sampai sekarang aku masih menunggu dia kembali, lho. Biar dia tahu apa yang kulakukan dulu, kebodohanku itu, ya cuma karena satu alasan, cinta,” katanya penuh harap.
Next
Mesti: Harus pura-pura kaya untuk menggaet pria kaya…
Kisah ini, jujur, seringkali saya lihat di beberapa film televisi sampai sinetron, juga dalam novel-novel pop. Entah terinspirasi dari yang mana, Mesti, 27 tahun, senior crew sebuah coffee shop, menceritakan kisah lucunya saat kuliah. Bukan berasal dari keluarga mampu, Mesti sering malu dengan teman-teman di kampus yang rata-rata kaya dan modis. Untuk menggaet gebetannya ketika itu, ia pun kemudian berpura-pura kaya dengan mengubah penampilan. “Minder kalau teman-teman terutama dia tahu aku nggak kaya, sementara mereka sebaliknya. Ya sudah, aku mengikuti gaya hidup mereka. Kebetulan aku kerja part time di coffee shop tempatku bekerja sekarang, jadi lumayan bisa menanggung pengeluaranku, selain uang saku dari orangtua yang nggak seberapa,” Mesti memulai kisahnya.
Bagaimana kebohongannya itu berakhir? Mesti mengaku semua bisa ia tutupi sampai gebetannya akhirnya jadi pacar Mesti, “Di situlah aku sampai di puncak lelah. Aku berpura-pura kaya lewat gaya hidup. Tapi, aku kan, sama sekali nggak pernah bilang ke orang-orang kalau aku kaya. Mereka melihat aku mampu dari penampilan dan gaya hidupku. Aku tahu pacarku shock saat tahu rumahku cuma di perkampungan dan sangat sederhana, tapi beruntungnya aku, itu nggak jadi masalah buat dia. Toh, gaya hidupku yang lumayan tinggi sama sekali nggak membebani kedua orangtuaku. Setelah bekerja full time, aku jadi lebih menghargai uang. Dia memang orang kaya, tapi malah dia juga yang membuatku sadar nggak cuma materi yang bikin aku dihargai orang, tapi juga sikap dan otak. Daripada mati-matian terlihat supaya bisa diterima semua orang, lebih baik menabung supaya kaya beneran!”
Next
Brianti: Beri semua untuk yang tercinta…
Brianti, 25 tahun, administration officer, nggak berpura-pura seperti Bonbon dan Mesti untuk mendapatkan perhatian laki-laki. Dia memilih jujur dan bersikap apa adanya, tapi bukan berarti nggak ada strategi khusus yang dilakukan demi mempertahankan hubungan dengan sang pacar. “Aku berikan semua, dari materi, hati, sampai diriku utuh buat dia,” katanya membuka cerita, “Dulu nggak pernah terpikir akan berhubungan sejauh itu dengan laki-laki, sampai aku bertemu dengannya. Memang sih, track record-nya nggak bagus, tapi nggak tahu kenapa aku tetap mau menerimanya, bahkan sangat takut kehilangan dia. Jadi, aku mencoba mengikuti gaya hidup bebasnya, juga menyuplai kebutuhan sehari-harinya ketika dia kehabisan uang, padahal ketika itu aku masih kuliah sementara dia menganggur.”
Brianti mengatakan rasa cinta membuatnya nggak realistis lagi. “Ada satu hal yang membuatku sangat terpukul. Setelah pengorbananku itu, dia malah berselingkuh! Bisa bayangkan, kondisiku yang ketika itu tengah drop karena mengandung anaknya dibuat makin drop dengan kelakuannya? Karena stres aku keguguran, dan dia sama sekali nggak ada buatku. Sayang, sudah diperlakukan begitu, cinta masih cukup kuat jadi alasanku untuk tetap bertahan di sampingnya. Syukurlah, ketulusan itu akhirnya bikin dia luluh dan meninggalkan perempuan-perempuan yang dekat dengannya. Sekarang kami sudah berpacaran selama 4 tahun lebih. Masalah di masa lalu yang begitu buruk berhasil kami lewati, tapi bukan berarti selesai sampai di situ. Semoga masalah yang ada di depan nanti juga bisa kami lewati, walaupun itu menuntutku untuk berkorban lebih lagi buat dia. Aku rela, kok. The more you give, the more you get back.”
Well, itulah cinta. Abstrak, nggak terduga, nggak terbaca, nggak logis. Mungkin benar, pure love produces pure nonsense. What do you think, Fimelova?