Dian Noeh Abubakar: Dari Wartawan Perang ke Public Relations

Fimela Editor diperbarui 26 Jul 2012, 07:59 WIB
2 dari 4 halaman

Next

Bahagia berhasil mendirikan perusahaan konsultan PR-nya sendiri…

I am so happy building my own PR firm,” ungkap Dian saat tim FIMELA.com menyambangi kantornya yang terletak di Menara Karya, Kuningan. Dian melanjutkan, “Visi saya benar-benar bisa diterjemahkan dan dilaksanakan sesuai kemauan saya. Karena saya ikut berinvestasi di sini, rasanya pun jadi lebih bermakna. Selain itu, saya ingin menyerap tenaga kerja, and I think it’s good, apalagi sekarang lulusan PR makin banyak, artinya industri PR berkembang dan saya mau PR lebih dikenal lagi.”

Itulah alasan mengapa Dian aktif di berbagai asosiasi dan banyak berbincang dengan para pebisnis mengenai PR yang sebenarnya dibutuhkan untuk mengembangkan brand perusahaan mereka. “Saya pun aktif di Badan Pengurus Pusat (BPP) Perhumas, mengajar di Prasetya Mulya, juga menjadi mentor di Jakarta Founder Institute,” ungkap Dian bangga. “Kalau kita bekerja dan pengalaman terus bertambah, harus ada sesuatu yang dibagikan ke orang lain supaya ketika nanti kita sudah tidak ada di dunia ini, masih ada peninggalan kita yang bisa orang pakai,” Dian mengungkapkan alasannya sambil kembali menceritakan kesibukannya mengampanyekan kewirausahaan lewat GEPI (Global Entrepreneurship Program Indonesia) dan Entrepreneur Festival.

“Kalau kita bekerja dan pengalaman terus bertambah, harus ada sesuatu yang dibagikan ke orang lain supaya ketika nanti kita sudah tidak ada di dunia ini, masih ada peninggalan kita yang bisa orang pakai.”

Kenapa semua yang Dian lakukan tak pernah jauh dari dunia komunikasi? Dian kembali menjelaskan, “Sederhana saja. Amerika, Eropa, Australia, mereka punya company yang memiliki brand masing-masing, sementara di Indonesia sudah ada, tapi masih kurang. Kalau Indonesia punya lebih banyak brand dan semuanya berkualitas, kita sebagai orang Indonesia tak hanya bisa menunjukkan bahwa ada bisnis di sini, tapi juga membuktikan bahwa kita pun mampu menjalankannya dengan baik.”

“Sejak berdiri sendiri, saya jadi lebih sibuk karena apa-apa ingin saya kerjakan. Saya juga merasa jadi lebih kreatif. Sebetulnya dari dulu sudah ingin berwirausaha, cuma mencari partner itu yang tak mudah, menunggu waktu yang tepat. Tahun ini usia saya 40 tahun dan anak sudah 11 tahun, makanya saya pikir inilah saatnya. Saya merasa sudah cukup modal. Bukan masalah keuangan melainkan spirit, juga pengetahuan dan jaringan. Beruntungnya sejauh ini saya didukung oleh banyak orang, dan dukungan itu adalah modal terbesar. Saya merasa terbantu sekali,” kata perempuan yang mengaku hobi makan dan beres-beres rumah ini.

Ditanya mengenai hambatan terbesarnya ketika memutuskan membangun perusahaannya sendiri, Dian mengaku sangat sulit mencari karyawan yang pas, “Semua industri komunikasi pasti mengalami hambatan yang sama, tapi tak apa karena saya yakin saya bisa menyediakan lapangan pekerjaan sekaligus tempat belajar, jadi semua bisa lebih berkembang di sini.”

3 dari 4 halaman

Next

Bercita-cita menjadi wartawan perang…

“Sebetulnya saya bercita-cita menjadi wartawan perang sejak SMP. Saya juga suka sekali film perang, mulai dari Platoon sampai Tour of Duty. Band of Brothers juga salah satu film favorit saya,” Dian mengingat-ingat, “Dalam film perang saya merasa banyak sekali unsur kemanusiaan yang bisa dipelajari. Jangan cuma melihat dari adegan kekerasannya. Saya suka film perang juga karena sewaktu kecil saya pernah dibelikan 12 buku biografi oleh ibu saya, Jenderal Hannibal, Thomas Alfa Edison, Henry Ford, Marco Polo, Robert Scott dan Roald Amundsen, Jacques Cousteau, dan lainnya yang masing-masing mengajarkan berbagai hal pada saya, dari petualangan, rintangan, eksplorasi, sampai logistik yang, salah satunya, mengajarkan pada saya bahwa kita tak boleh kekurangan suplai dan terlalu letih saat bekerja.”

Setelah pulang ke Indonesia dari studinya di SBS Internship Program di Melbourne, Australia, tepat saat Reformasi, Dian justru menemukan bahwa PR akan menjadi industri yang lumayan menjanjikan jika ia bisa memanfaatkannya dengan baik. Ia pun kemudian mengubah impiannya dari wartawan perang ke Ogilvy Public Relations Worldwide, sebagai seorang PR. Toh, menurutnya,  menulis bisa dia lakukan kapan dan di mana saja, tak perlu harus menjadi wartawan. “Saya pikir di sana saya bisa belajar sambil mengembangkan jaringan. Kalau budaya berubah, politik juga lebih demokratis, ini kesempatan besar bagi PR untuk berkembang,” tegasnya.

Membagi waktu antara pekerjaan, anak, dan kehidupan pribadi…

Dian mengaku sangat beruntung memiliki seorang anak laki-laki yang sangat mandiri dan pintar. Walaupun begitu, tak jarang pula sang anak memprotes kesibukannya. Karena itulah ia sengaja meluangkan waktu tiap Jumat malam atau weekend untuk menonton bersama sang anak. “Anak saya juga suka masak, sementara saya hobi makan. Jadi, kalau libur, dia suka masak makanan untuk saya,” ujar Dian sambil sesekali mengucap syukur.

Sementara itu, untuk menyenangkan diri sendiri, Dian memilih rutin berenang tiap pagi sebelum bekerja dan membaca buku apa saja malam harinya. Perempuan yang tak hobi ke salon ini juga paling suka berkumpul dengan teman-temannya saat weekend. “Dengan duduk berjam-jam membicarakan hal yang tidak penting sambil ngopi sudah membuat saya sangat bahagia. Bukan untuk mencari inspirasi lho, inspirasi justru biasanya saya dapatkan saat berenang.”

4 dari 4 halaman

Next

 

Dari buku biografi sampai baju terusan…

Obrolan berlanjut ke hobi. Ditanya tentang yang satu ini, tak terduga Dian makin semangat bercerita, “Saya suka membaca buku biografi, seperti biografi Hillary Clinton, Nelson Mandela, dan Margaret Thatcher. Saya suka dengan ketiga tokoh ini karena mereka orang-orang yang keukeh pada pendirian dan tak pernah berhenti berjuang dengan bekal keyakinan mereka itu. Cut Nyak Dien juga begitu. Intinya, ketika kita mempercayai dan suka pada sesuatu, kita harus mempertahankannya.” Selain buku biografi, Dian rupanya penggila karya-karya Mochtar Lubis dan Umar Kayam. Lanjut Dian, "Karya Mochtar Lubis yang Harimau! Harimau! itu saya suka sekali, sama Senja di Jakarta. Kalau Umar Kayam yang Para Priyayi. Saya juga suka karya Sindhunata, Anak Bajang Menggiring Angin. Komentarnya tentang sepakbola sangat bagus. Sepakbola itu seperti kehidupan. Kita tidak bisa hidup sendirian, harus saling menolong. San dalam hidup ada aturannya, kita pun harus bermain secara fair di sini.”

"Sepakbola itu seperti kehidupan. Kita tidak bisa hidup sendirian, harus saling menolong. Dan dalam hidup juga ada aturannya, kita harus bermain secara fair di sini.”

Penyuka lagu-lagu yang diputar Brava Radio dan penikmat konser yang tak pernah absen menyaksikan Java Jazz, Adam Levine, NKOTBSB, sampai Kahitna ini pun mengaku suka memakai terusan karena baginya paling mudah dan nyaman dipakai, “Tidak harus ribet memikirkan atasan dan bawahannya. Baju saya pun warnanya cuma hitam, putih, biru tua, cokelat muda, merah, sama batik karena harus punya, itupun juga merah warnanya. Putih kan, bersih dan gampang dipadukan, hitam supaya terlihat langsing, warna gelap juga menimbulkan kesan serius dan powerfull, kalau merah pada dasarnya saya suka dan cocok untuk kulit Asia. Tapi, yang paling saya suka warna cokelat muda karena warna kayu itu sederhana, artinya kuat, tapi tidak boleh sombong. Kemudian, untuk sepatu, saya suka yang simpel dan tidak ribet, tidak fanatik dengan brand tertentu, tapi saya suka pada sesuatu yang mendukung personaliti saya. Saya bahkan punya geng High Heels Warrior, pokoknya kita tidak boleh menggunakan flat shoes karena hidup itu ibarat sepatu. Life shall never be flat." 

"Saya juga suka berbelanja ketika di luar negeri sambil kerja dan size-nya juga pas. Baju Valentino, Armani, Chanel, model baju-baju yang dipakai Kate Middleton saya suka sekali. Dan saya tidak hobi memakai aksesori, karena itulah saya sering dibilang membosankan. Walaupun tak fashionable, saya suka sekali dengan jam tangan, lho. Terus terang, saya pengagum Vacheron Constantin, Jaeger Le-Coultre, Piaget, IWC, dan Panerai. Semuanya jam tangan mekanik yang dibuat dengan dedikasi, karenanya hasilnya sempurna,” tutup Dian, lagi-lagi sambil menyelipkan filosofi dalam paparannya.