Next
Lulus dari Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi UI dengan gelar cumlaude mendekatkan Leon pada pekerjaan impiannya. Setelah bersaing dengan 69 lulusan terbaik UI, ITB, dan UGM, Leon berhasil jadi satu-satunya yang diterima bekerja di McKinsey, perusahaan konsultan manajemen kelas dunia yang terkemuka. Setahun bekerja, ia bahkan langsung dipromosikan sebagai business analyst. Tapi, justru itu yang membuat Leon merasa jenuh. “Setelah 15 bulan bekerja, saya ingin break sebentar, kebetulan terjadi gempa di Padang tahun 2009. Saya ingin membantu di sana. Sejak kuliah saya memang sudah tahu suatu hari akan menolong orang lain, tapi saya ingin lebih dulu fokus mengembangkan diri, jaringan, dan kondisi keuangan sampai benar-benar siap. Saya pikir, di usia 40 tahun, saya baru akan memulainya,” tutur Leon.
Dikeluarkan dari perusahaan impian…
Situasi di Padang-lah yang akhirnya membuat Leon berubah pikiran. “Di sana saya mengalami kondisi yang berbeda 180° dengan saat saya bekerja. Tapi, di sana saya justru merasa lebih bahagia dan puas. Kalau kebahagiaan identik dengan uang, saya malah kehilangan gaji karena cuti tanpa dibayar selama 2 minggu. Menariknya, saya baru sadar bahwa saya lebih bersemangat bekerja di sini. Mungkin memang itu passion saya. Ada hal lain yang saya kejar selain uang,” lanjut Leon. Leon kembali bekerja di McKinsey selama setahun, walaupun mulai berpikir untuk keluar dan mendirikan Non-Governmental Organization (NGO), “Ada beberapa alasan yang membuat saya tidak langsung keluar, yang paling utama adalah saya tidak berani. Saya bukan berasal dari keluarga berkecukupan. Saya hidup dan menikah dengan penghasilan saya sendiri, jadi khawatir dong, kalau saya tiba-tiba tidak punya penghasilan. Kedua, perusahaan itu adalah perusahaan impian saya.”
Leon tetap tak berani memutuskan keluar, sampai akhirnya justru ia yang dikeluarkan dari perusahaan. Ia kembali bercerita, “Saya sudah tak bersemangat di sana, sehingga kinerja saya menurun. Di McKinsey selalu ada evaluasi kerja tiap 6 bulan, dan kalau 2 kali evaluasi hasilnya tidak bagus, kita harus keluar. Waktu itu evaluasi kerja pertama saya tidak bagus, lalu evaluasi kedua membaik. Tapi, saya sempat mengatakan pada mentor bahwa saya sudah tak bersemangat dengan pekerjaan saya, dan ternyata itu mempengaruhi penilaian. Mereka meminta saya mengejar apa yang saya mau, jadi saya pun dikeluarkan. Saya tidak malu mengakuinya, karena kalau pada waktu itu saya tidak dikeluarkan, mungkin saya tidak akan ada di jalan ini.”
What's On Fimela
powered by
Next
Memilih bisnis sosial…
Setelah yakin akan menekuni jalan barunya, Leon sempat bingung memilih akan mendirikan institusi seperti apa, model LSM biasa atau dengan cara lain, sampai akhirnya ia membaca buku karangan Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian, dan menemukan bahwa untuk membantu orang lain, tidak cuma bisa lewat LSM, tapi ada istilah baru bernama bisnis sosial. “Bisnis sosial ini adalah suatu institusi yang tujuan utamanya bukan keuntungan, tapi mengatasi isu sosial tertentu yang menjalin relasinya bukan dengan cara memberi seperti kebanyakan LSM, melainkan dengan cara bisnis. Wah, saya seperti jatuh cinta pada pandangan pertama. Di satu sisi saya ingin melakukan kegiatan sosial, di sisi lain saya juga suka berbisnis. Dan yang paling sesuai dengan kebutuhan dan modal yang saya punya adalah lembaga keuangan mikro. Karenanya saya mendirikan KKI,” Leon memaparkan.
KKI sendiri fokus pada tiga program utama. Pertama, membantu anggota agar penghasilan mereka meningkat dengan cara memberi pinjaman modal. Tapi, KKI sadar itu saja belum cukup. Penghasilan meningkat belum tentu membuat keluarga para anggotanya sejahtera. Karena itulah, para anggota juga disarankan untuk menabung. “Kami membuat produk tabungan yang gratis, anggota tidak akan terkena potongan biaya apa pun, administrasi bulanan juga tidak ada. Tapi, kami melihat semangat menabung para anggota masih rendah. Ternyata ini bukan soal menyediakan fasilitas, kami juga perlu mengubah mindset mereka dengan pembinaan. Kami pun melakukan ‘doktrinasi’ agar para anggota mau menabung dan memberikan materi agar mereka lebih paham,” cerita Leon.
Agar tepat sasaran, KKI melihat kondisi rumah calon anggota, mempertimbangkan penghasilan yang maksimal 2 USD, dan bagaimana cara mereka mengatur pengeluaran sebelum memutuskan menerima calon anggota jadi anggota koperasi. “Faktanya, tak semua orang yang tergolong tak mampu itu mau maju, dan itu akhirnya kami jadikan sebagai salah satu syarat pendaftaran. Semua calon anggota harus mau maju kalau berminat masuk ke KKI,” jelas Leon.
Next
Risiko dan tantangan terbesar…
Bagaimana dengan risiko terbesar bisnis ini, yaitu kala uang pinjaman tak dikembalikan oleh anggota? Jelas Leon, “Sekarang kami menerapkan sistem tanggung renteng. Peminjaman tidak dilakukan perorangan, tapi perkelompok, minimal 15 orang dan maksimal 25 orang, sehingga ketika ada 1 orang tak membayar utang, maka ke-14 anggota dalam kelompok itulah yang akan menanggung utangnya. Sistem ini sudah berjalan sekitar 9 bulan. Sementara dalam hal tantangan, KKI di tahun pertama mengalami masalah finansial. Tapi, setelah 1 tahun berjalan, makin banyak orang percaya dan bersedia menjadi donatur. Di tahun kedua tantangan baru muncul, yaitu masalah perekrutan pekerja. Gaji dan bonus yang sudah di atas UMR tetap tak membuat banyak orang tertarik bergabung dengan KKI karena pekerjaan semacam ini memiliki banyak tantangan. Leon mengutarakan, “Mereka yang langsung terjun ke lapangan untuk menerima pembayaran utang dan tabungan memiliki faktor stres dan tekanan yang tinggi.”
Sudah sampai sejauh sekarang, mimpi KKI yang paling sederhana saat ini adalah bisa memiliki minimal 2.000 anggota. Sejak berdiri pada Januari 2011, KKI sendiri sudah memiliki 841 total anggota dengan jumlah anggota aktif sebanyak 587 orang. Sementara itu, mimpi terbesar adalah menolong jutaan orang di seluruh Indonesia, tidak hanya di Cilincing, Jakarta Utara, tempat kantor KKI berdiri sekarang. “Bukan masalah angka, tapi yang terpenting bisa menjadi sekolah bagi orang lain untuk belajar sejahtera, sesuai moto KKI sendiri, ‘sekolah kesejahteraan’. Kita tak bisa menyejahterakan orang lain, mereka harus berjuang sendiri untuk sejahtera, dan kitalah yang mengajari dan memberikan alat menuju ke sana.”
Di luar KKI, adakah kesibukan Leon yang lain? Ternyata, sejak awal tahun 2012 Leon memiliki pekerjaan kedua sebagai trainer. Cukup sederhana. Ia hanya menawarkan 2 modul. Pertama, bagaimana cara menuangkan ide ke materi presentasi dalam bentuk Microsoft Power Point, dan modul kedua tentang bagaimana cara mempresentasikannya. Sejauh ini, Leon mengaku selalu saja ada proyek yang hasilnya cukup untuk menghidupi dirinya dan sang istri, juga membuat saya masih mampu bertahan di KKI. “Memang, kadang terasa berat sekali dan butuh banyak doa untuk menjalaninya. Dan ketika memilih jalan seperti ini, sebenarnya bukan hanya kita yang berkorban. Keluarga kita juga ikut berkorban. Saya bersyukur istri bisa menerima ‘kegilaan’ saya. Dia hanya berpesan agar jangan sampai nantinya anak kami kelaparan atau tidak bisa bersekolah di tempat yang bagus. Boleh saja mengejar impian, tapi keluarga harus tetap tercukupi. Dan saya sangat setuju dengannya. Satu hal lagi, ketika kita dipercaya punya talenta atau rezeki berlebih, kita harus ingat di dalamnya ada bagian orang lain, karenanya jangan menutup mata,” Leon menutup pembicaraan dengan tim FIMELA.com.