Dan ketika saya menemuinya kemarin, ternyata dia membuktikan omongannya. Never say goodbye. Dia bahkan memutuskan bertunangan dengan si pacar. Padahal, hubungannya penuh masalah. Mulai dari perbedaan agama, nggak mendapat restu orangtua pacar, punya kebiasaan yang bertolak belakang, cara pandang yang sering bentrok, sampai tingkat jealous si pacar yang kelewat tinggi. “Baru baikan beberapa jam, bertengkar beberapa hari. Baikan beberapa hari, bertengkar beberapa minggu. But, I’m in love with him. Nggak pernah membayangkan tanpa dia. Lama-kelamaan aku bisa melihat sisi baiknya, dan itu makin membuatku suka. Di luar sikapnya yang kasar dan temperamen,” katanya.
Dalam hubungan sangat biasa terjadi ketidakcocokan dan halangan. Tapi, kalau persentase kenyamanan jauh di bawah kegelisahan? Teman saya menjawab, “Kalau yakin dengan pilihan, pasti ada jalan, kok. Lagian separah apa pun hubungan kami, aku yakin dia nggak mungkin menyakiti aku. Kalau dia nggak sayang aku, mana mungkin dia lebih memilihku ketimbang keluarganya.” Ya, karena nggak mendapat restu orangtua, si pacar rela mengalah, pindah agama dan meninggalkan keluarganya demi teman saya.
Ifa, 25 tahun, event organizer, bahkan sudah hampir 2 tahun dekat dengan laki-laki yang katanya sering sekali bicara kasar dan kotor ketika marah padanya, “Selama ini belum pernah bermain fisik, tapi tiap bertengkar, yang rata-rata karena pacar cemburu, pasti ada umpatan dan bentakan yang merendahkanku.” Saat ditanya kenapa terus bertahan sampai sekarang, dia bilang terlalu sayang mengorbankan hubungan mereka yang sudah terlanjur dekat dan sudah saling mengenal luar-dalam. Dia merasa terikat dengan si pacar.
Kalimat ini rasanya tepat menggambarkan hubungan mereka: they laughed, they cried, but they'll never say goodbye. Ada beragam makna di dalamnya, yang dalam kasus ini membuat mereka tetap bertahan di kondisi terburuk dalam hubungan mereka sekalipun. Pernah mendengar istilah sindrom Stockholm? Nah, bisa jadi itu yang mereka alami.
Psikolog Joseph M. Carver menuliskan dalam bukunya, The Mystery of Loving an Abuser, biasanya orang dengan sindrom Stockholm melihat kebaikan kecil pasangan sebagai tanda adanya harapan pasangan bisa berubah perlahan dan hubungan mereka bisa lebih baik lagi. Di samping sikap kasarnya, pasangan dipercaya nggak selalu punya sifat keras. Masih ada sisi lembut yang jadi alasan kuat mereka untuk tetap bertahan. “Mungkin dia takut banget kehilangan aku. Dan orang marah kan, omongannya suka lepas kontrol, wajarlah,” bela Ifa. Padahal, nggak menutup kemungkinan permakluman mereka atas sikap buruk pasangan, di samping masalah eksternal yang mengusik hubungan mereka, jadi pupuk yang mengembangkan perlakuan buruk itu jadi lebih parah lagi.
Rasa hormat adalah kunci dalam sebuah hubungan. Sikap si pacar yang nggak menunjukkan rasa hormat dan cenderung merendahkan harga diri bisa saja membuat pasangannya bersikap sama. Kalau sudah begitu, tentu hubungan makin nggak sehat. Ingat, seperti kata psikolog Arpita Anand dari Vintage Hospital, New Delhi, “Rasa kesal yang terpendam membuat amarah meledak.” Mau menunggu saat itu tiba, atau rela terus menahannya meledak demi satu janji, never say goodbye, sepenuhnya hak teman saya dan Ifa. Eits, nggak mustahil juga pasangan mereka benar-benar bisa berubah, kan. They wish. Kalau menurutmu, Fimelova?