Next
Afganistan tak lagi suram
Saya pergi ke Afganistan atas nama Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB) dan Colombo Plan dalam sebuah progam kerjasama antara pemerintah Indonesia, Afganistan, dan Amerika Serikat. Di sana saya bertugas memberikan pelatihan tentang capacity building di Biro Humas Kementrian Narkotika Afganistan. Suasana di sana, khususnya di Kabul, kota yang saya kunjungi, berbeda banget dari yang saya sangka. Saya kira keadaan di sana akan sangat chaos, tapi ternyata tidak seburuk itu. Kami mendapat perlakuan yang terhitung masih baik dan nyaman sejak baru mendarat. Inilah tandanya law and order sudah berjalan di negara ini. Terlihat dari adanya angkutan umum yang bisa dipercaya untuk mencapai satu tujuan, convenience store ada dimana-mana, dan ada restoran bermerek dagang yang menyerempet seperti franchise negara Barat, KFC atau Kabul Fried Chicken.
Jangan mengira Afganistan adalah negara yang terbelakang dan selalu suram. Karena, yang sedang menjadi tren di sana adalah banyaknya wedding hall. Tradisi merayakan pesta pernikahan secara besar-besaran ala tradisi Timur Tengah hidup lagi. Ini memang sudah menjadi budaya yang melekat di sana, makanya untuk menikahi seorang perempuan pasti berbiaya mahal. Memang ini ada sisi negatifnya, yaitu laki-laki seperti “membeli” perempuan sehingga merasa memiliki dan bisa melakukan apa saja pada istrinya. Tapi, sisi positifnya adalah industri wedding organizer hidup lagi, sehinggap perputaran bisnis properti dan jasa hidup.
Keterkejutan saya belum selesai. Perasaan seperti berada di negara antah berantah yang saya rasakan saat berada di sana, seperti ditambah dengan banyaknya salon kecantikan, mudah ditemukan dimana-mana. Ini seperti bukan di Afganistan yang katanya perempuan adalah kaum minoritas dan negara konflik. Saya memang nggak melihat antrian di salon-salon tersebut. Tapi, saya asumsikan kalau ada banyak salon dibuat di sana, pasti permintaan akan tempat tersebut juga tinggi. Perkembangan membahagiakan ini dikabarkan oleh warga setempat baru berjalan lima tahun terakhir ini.
What's On Fimela
powered by
Next
Perempuan Afganistan sudah move on dari keterpurukan
Berbicara tentang Afganistan, nggak bisa melepaskan pembahasan tentang kondisi perempuan di sana. Masih ada hal-hal tabu yang berjalan di sana, seperti tabu untuk perempuan difoto atau berfoto. Kalau foto secara bersama-sama mereka nggak masalah, tapi kalau mereka khusus yang difoto, mereka menolak. Ini saya ketahui saat saya tertarik untuk mengabadikan dua peserta perempuan di pelatihan yang saya berikan di sana. Dari 83 peserta lainnya yang semuanya laki-laki, mereka terlihat berbeda namun outstanding. Untuk masalah berpakaian, mereka masih harus mengenakan jilbab, tapi bukan jubah atau burqa yang semuanya tertutup.
Soal pendidikan, mereka juga sudah lebih modern, bahkan ada beberapa yang bisa berbahasa Rusia atau Inggris, dimana itu berarti perempuan sudah mulai berpendidikan, walaupun jenis yang seperti ini masih termasuk makhluk langka. Sudah terlihat juga beberapa perempuan yang berbaju kerja, walaupun terbilang masih sangat sedikit dan belum bervariasinya bidang pekerjaan yang bisa mereka jalani. Kebanyakan dari mereka bekerja di sektor publik atau pegawai negeri, jarang sekali ada perempuan yang bekerja di sektor swasta. Jarang pula saya temui penjaga atau pemilik toko berjenis kelamin perempuan. Tapi tetaplah ini perkembangan yang membahagiakan, karena pada masa Taliban masih berkuasa di tahun 1996-2003, perempuan sama sekali tidak boleh keluar rumah, dilarang sekolah dan bekerja dan harus diam-diam untuk belajar.
Mulai adanya perempuan cerdas, berkarier, dan berpendidikan seperti itu di Afganistan, sungguh sebuah berita bahagia. Perempuan di negara konflik selalu menjadi indikator kesejahteraan sebuah negara. Kalau perempuan di suatu negara berhasil disejahterakan, maka pada saat bersamaan sebenarnya sudah berhasil menyejahterakan anak-anaknya. Itu juga turut membuktikan bahwa para laki-laki yang mendominasi di negara tersebut, telah bekerja dengan baik karena berhasil melindungi dan menyejahterakan perempuan. Itulah yang menjadi parameter awam melihat maju atau mundurnya sebuah negara.
Prestasi ini bukan hasil final, karena tentu masih banyak yang harus dibenahi dan diperjuangkan. Di Afganistan, membangun kepercayaan diri para perempuannya untuk bangkit sangat susah, karena kepercayaan diri mereka sudah hancur. Mereka hanya bisa berpikir bahwa satu-satunya jalan untuk mendapatkan uang adalah mengemis, padahal dengan menjadi seperti itu, mereka sudah sangat menjatuhkan harga diri. Makanya, ketika saya membicarakan capacity building, misi saya beserta teman-teman lain pergi ke negara konfilk dan memberikan pelatihan untuk membangun kapasitas diri, tak bisa terlepas dari masalah capacity building perempuan. Salah satu pekerjaan terberat yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin negara yang ingin menstabilkan sebuah negara adalah memperbaiki sistem law and order dan menunjukkan bahwa investasi terbaik untuk kesejahteraan hidup semua warganya adalah ketertiban hukum. Karena, begitu sistem itu diaplikasikan dan berjalan, maka pertumbuhan akan berjalan dengan sendirinya. Inilah perkembangan yang terjadi di Afganistan, dimana hukum dan ketertiban hukum sudahberjalan. Itu terasa mulai dari kami mendarat, walaupun mereka masih sangat canggung untuk melakukannya karena itu hal yang baru untuk mereka.
Yang disayangkan adalah intelijen Afganistan masih buruk sekali, sehingga masih saja sering terjadi kekerasan di Kabul, ibukota negara mereka sendiri. Bukan hanya bom, tapi disertai dengan penyerangan. Mereka butuh bantuan kita semua untuk bisa memperbaiki hak-hak dasar manusia dan advokasi untuk melindungi kaum perempuan. Karena saya yakin, Afganistan bisa bangkit dan membaik.