Menikah atau Mati: Tradisi Perjodohan Masih Mengintai Perempuan

Fimela Editor diperbarui 13 Jul 2012, 09:00 WIB
2 dari 3 halaman

Next

Sabatina beruntung masih bisa hidup hingga di usianya yang ke-30 tahun ini. Itu sesuatu yang harus sangat disyukurinya, karena ia mengalami masa remaja yang jauh dari normal. Di usia 15 tahun, saat itu ia sekeluarga tinggal di kota Linz, Austria, masa dimana kecantikannya sebagai seorang gadis berketurunan Pakistan mulai terlhat, ia harus diam saja menerima perlakuan diskriminatif dari orang tuanya bahwa mengenakan t-shirt dan jeans atau bereksplorasi dengan make up sama halnya seperti pelacur. Itu berlaku juga dengan keinginannya untuk mengikuti ekstrakurikuler kelas berenang dan akting, yang sama saja dianggap sebagai kegiatan hina.

Suasana makin memburuk saat ibunya menemukan buku hariannya dan mengamuk saat mengetahui bahwa Sabatina pernah mencium seorang anak laki-laki yang ditaksirnya di sebuah taman saat pulang sekolah. Ibunya mencekik leher Sabatina, menendang, membenturkannya ke dinding, dan menyebutnya pelacur. Siksaan berikut yang harus dihadapinya adalah: harus mau dijodohkan karena saat ibunya seusianya, juga sudah bersiap menghadapi perjodohan.

Di sinilah perjuangan Sabatina yang sebenarnya dimulai. Ia bukan terlahir sebagai perempuan Pakistan biasa, yang dengan mudah dibungkam saat mulai remaja dan dijodohkan. Ia bertahan pada pendiriannya yang sampai mati tak akan mau dijodohkan, walaupun harus dihajar berkali-kali secara fisik dan verbal, seperti saat ibunya menemukan sebuah t-shirt miliknya yang dianggap terlalu ketat lalu menghukumnya dengan lemparan sepatu ke wajah. Sifat teguh Sabatina dianggap sebagai pembangkangan yang membuat malu keluarganya di hadapan sesama keturunan Pakistan lainnya yang tinggal di Austria, sehingga semakin membuat orangtuanya, ibunya terutama, melakukan cara sekejam mungkin agar perjodohan itu bisa terealisasi.

Bagaimana tidak kejam, kalau ia pernah dipukuli di hadapan banyak mata keluarganya saat berkunjung ke salah satu rumah sanak saudaranya di Pakistan, karena ia dianggap sebagai pelacur akibat diejek dan disoraki sekumpulan laki-laki, padahal baju yang dikenakannya sopan? Setelah ibunya selesai memukulinya, berganti ibunya menyakiti dirinya sendiri sambil berteriak bahwa ia telah melahirkan seorang pelacur.

What's On Fimela
3 dari 3 halaman

Next

 

Langkah berikutnya yang orangtua Sabatina lancarkan adalah memasukkannya ke sebuah sekolah Islam yang kurang lebih seperti pondok pesantren, dimana disana ia hanya diajari tentang Al-Quran, beribadah, serta mendengarkan ceramah dari ustadzah yang nggak akan segan mencambuknya di depan 30 orang murid bila berani berbicara atau berpendapat, padahal interaksi tanya jawab antarmurid dan guru seharusnya terjadi dalam sebuah kelas. Tiga bulan berada di sekolah tersebut, Sabatina dikeluarkan karena mogok makan. Ia dikembalikan lagi ke orangtuanya. Di situlah ia sudah merencanakan sesuatu, yaitu mengiyakan perjodohan yang selama ini dipaksakan orangtuanya, padahal sebenarnya ia hanya ingin mencari celah agar bisa melarikan diri.

Sebelum ia melarikan diri, orangtuanya sebenarnya sudah mencium gelagat tersembunyi darinya, dan mengancam dengan kalimat yang lugas dan jelas bahwa nama baik keluarga jauh lebih penting daripada apapun, baik demi hidup orangtuanya apalagi hidup Sabatina. Selama melarikan diri dari rumah, ia menumpang tinggal di sebuah penampungan, bekerja menjadi pelayan kafe, sambil harus terus siap menerima serangan tiba-tiba dari orangtuanya yang sering mendadak datang menemukannya di tempat kerja dan memaksanya untuk menikah. Usianya saat itu sudah 18 tahun dan baginya orantuanya seperti sepasang setan yang menghantui hidupnya.

Dengan bantuan beberapa temannya, Sabatina akhirnya berhasil melarikan diri ke Vienna dan memulai hidup baru di sana. Ia mengganti nama, berpindah agama ke Katolik, lalu menerbitkan buku berjudul “My Fight for Faith and Freedom” pada Mei 2010 lalu. Terbitnya buku itu sempat berbuntut pada tuntutan orang tuanya atas pencemaran nama baik dan dimenangkan oleh Sabatina. Langkah selanjutnya adalah mendirikan sebuah yayasan yang dinamai “Sabatina”, seperti namanya, untuk memberikan perlindungan bagi perempuan lain yang terkekang dengan sistem perjodohan orang tua mereka. Adanya yayasan itu bukan sesuatu yang dibuat-buat, karena berdasarkan data dari Persatuan Bangsa-Bangsa bahwa 5000 perempuan di seluruh dunia setiap tahunnya, mati “sia-sia” karena dibunuh atas dasar tidak sopan atau membangkang orang tuanya.

Hingga kini, hidup Sabatina yang dihabiskannya di belahan Benua Eropa, masih belum bisa dibilang tenang, karena ia masih saja mencapat ancaman pembunuhan dari ayahnya, sehingga harus menggunakan nomor telepon temporer bila akan melayani permintan wawancara dari media dan selalu didampingi oleh awak kepolisian kemana pun dia pergi. Ia juga nggak memiliki tempat tinggal sendiri, harus selalu berpindah-pindah ke rumah temannya yang satu dan lainnya agar keberadaannya tak terlacak. Baginya, inilah harga yang harus dibayar bila ingin memperjuangkan kebebasan dan menjunjung tinggi keyakinan yang ia percaya.