Perempuan, Makin Mapan Makin Tak Butuh Pasangan?

Fimela Editor diperbarui 02 Jul 2012, 07:59 WIB

“Aku mengenal pasanganku di saat dia sudah punya segalanya. Karier oke, pendapatan lebih dari cukup, pergaulan luas. Sempurna. Kadang aku merasa tanpa aku pun nggak aka nada yang kurang dalam hidupnya, apalagi dia jarang banget meminta bantuanku, walaupun sekadar jemput dia ke kantor. Apa semua perempuan sukses seperti itu, nggak mau bergantung sama orang lain?” tanya Ramdan (35 tahun, senior account executive) penasaran.

Apa iya perempuan mapan sama sekali nggak membutuhkan sosok pendamping? Rika (29 tahun, manajer operasional) buka suara, “Semuanya memang sudah aku capai, tapi yang namanya pendamping itu hal yang nggak bisa diukur dengan prestasi. Aku bisa gapai semua mimpiku dengan usaha mati-matian, tapi jodoh pemberian Tuhan, nggak akan bisa kudapatkan kalau Tuhan belum izinkan. Sesukses apa pun, ya aku tetap butuh pendamping yang bisa melengkapi hidupku.”

Vivi Yip, mantan eksekutif balai lelang Sotheby's yang mendirikan vivi yip art room sejak tahun 2008, pun mengatakan, sesukses apa pun, perempuan tetap butuh pendamping dan karenanya juga harus belajar menempatkan diri. Ia bahkan mengaku prihatin karena feminisme seringkali disalahartikan oleh kaum perempuan. “Kadang perempuan yang bekerja merasa bossy, ‘nih aku juga punya duit, punya penghasilan.’ Itu emansipasi yang kelebihan. Aku setuju dengan kesetaraan gender, tapi tetap harus tahu posisi perempuan di mana, laki-laki di mana. Perempuan nggak akan bisa jadi laki-laki, laki-laki pun nggak akan bisa jadi perempuan. We need each other to complete,” ungkapnya.

Ya, perempuan terkadang membutuhkan pengakuan atas pencapaiannya, terutama yang sukses dalam karier dan finansial. Itu yang membuat mereka getol mempertahankan pendapat dan prinsip hidup. Mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup, bahkan menjalankan peran dalam rumah tangga dengan baik, ini membuat—bagi yang sudah berpendamping—pasangan mereka merasa nggak berguna dan terintimidasi, apalagi ketika perempuan nggak suka terlalu diperhatikan. Dan faktanya, di zaman emansipasi ini perempuan independen makin banyak bermunculan.

“Mungkin perempuan sekarang memang jauh lebih mandiri, tapi itu hanya sikap yang memang terbentuk karena kemajuan dan tuntutan zaman yang nggak musimnya lagi buat perempuan untuk bermanja-manja, terlalu bergantung pada orang lain. Kalau mengikuti naluri, mereka tetap membutuhkan pendamping karena pada dasarnya, setahuku, perempuan nggak bisa hidup sendiri. Sejak zaman dulu perempuan bahkan sudah dibentuk selalu berkelompok. Sementara laki-laki berburu, perempuan bertugas menjaga anak dan tempat tinggal, juga berkumpul untuk bersosialisasi. Kalaupun masih banyak perempuan urban melajang atau sering gagal ketika menjalin hubungan, bukan karena mereka nggak butuh pendamping, mungkin belum jodohnya, I think,” Imay (24 tahun, editor bahasa) berpendapat.

Irma Rahayu dari Emotion Healing Therapy pun menutup pembicaraan ringan ini sembari mengungkapkan, sesukses apa pun karier mereka, perempuan yang berpasangan akan jauh lebih bahagia. “Perasaan diakui dan diinginkan pasangan itu luar biasa, perempuan akan mendapatkan apa yang disebut dengan kesejahteraan emosi,” terangnya. Contoh sederhana, jatuh cinta membuat hidup seseorang terasa lebih bermakna dan bergairah, demikian juga dengan hidup berpasangan, saling berbagi suka dan duka, walaupun mungkin dengan cara perempuan urban yang jauh lebih mandiri dan terkesan nggak butuh orang lain. Rahasia terungkap sudah, so laki-laki nggak perlu lagi berkecil hati, kan. Setuju?