Next
Percaya nggak, kalau cinta kadang terasa nggak masuk akal? Ini yang dialami Ika Marthiasiwi dan Gaib Prabasiwi, juga Irena Distara dan Firman Gandis. Berteman dekat sejak kecil dengan Gaib, Ika yang belasan kali berpacaran nggak pernah menyangka sahabat kecilnya itulah yang beberapa hari lagi akan jadi suaminya. Sementara Irena dan Firman iseng dijodohkan sejak kecil, tapi tetap menjalin hubungan dengan orang lain sampai suatu hari Firman benar-benar datang melamar Irena.
Cerita dimulai sejak dalam kandungan…
“Waktu itu ibuku mau melahirkan tapi nggak ada mobil, maklum zaman dulu. Kebetulan ibu Gaib punya mobil dan pas waktu itu mau ke dokter buat periksa kandungan, jadi ibuku ditebengin. Semua nggak terencana, akhirnya ibuku naik mobil bersebelahan dengan ibunya Gaib. Eh, si sopir nyeletuk, ‘Wah, sama-sama hamil besar. Ini sepertinya besok sepantaran.’ Kontan ibuku dan ibu Gaib ketawa. Nggak berhenti di situ, si sopir masih terus tanya kira-kira perempuan atau laki-laki. Tapi, zaman dulu mana bisa tahu jenis kelamin bayi dalam kandungan. Dan si sopir lanjut bilang, ‘kalau perempuan dan laki-laki bisa berjodoh!’”
“Aku lahir lebih dulu ketimbang Gaib, dan kebetulan ibunya nggak sempat menengokku dan ibu karena juga sedang hamil besar. Sementara bapak-bapak mana perhatian sama nama bayi, zaman segitu kalau berkumpul ending-nya main kartu! Setelah Gaib lahir dengan nama belakang yang sama denganku, masih belum ada yang menyadarinya sampai aku dan Gaib tumbuh besar. Sampai kami pacaran beberapa tahun barulah tiba-tiba sadar ada kesamaan di nama kami. Saat kami berdua bertunangan juga banyak yang kaget karena dikira orangtua kami sudah janjian kasih nama, padahal nggak ada yang disengaja.”
“Kami menjalani hari-hari seperti biasa. Aku dan Gaib sih, pernah satu kelas waktu di TK. Tapi, jelas belum ada rasa apa-apa. Lagipula keluargaku dan Gaib ‘beda kasta’. Keluargaku cuma petani, sementara keluarga Gaib orang berada, jadi sepertinya nggak mungkin. Setelah lulus TK aku pindah ke daerah lain, jadi selama duduk di SD aku nggak pernah ketemu Gaib lagi, dan baru ketemu saat SMP. Sejak itu kami terus sama-sama dan jadi akrab. Nggak cuma ke sekolah, ke mana-mana kami juga barengan. Anehnya ketika itu nggak timbul perasaan apa-apa."
"Kuliah kami berpisah lagi, aku di Jogja dan Gaib di Bintaro. Itu yang membuat kami sama-sama merasa kehilangan, jadi suka komunikasi lewat telepon. Dari situlah perasaan suka timbul dan kami memutuskan jadian, tepat saat April Mop tahun 2007! Jadi, jadian betulan atau nggak ketika itu, kami juga bingung!” kenang Ika sambil tertawa, “Ya sudah, begitu dijalani kami merasa cocok dan akhirnya baru mengaku ke orangtua masing-masing kalau kami pacaran. Dan semua baru sadar kesamaan nama ‘Siwi’ di belakang nama kami, padahal nama itu sangat jarang dipakai orang. Jadilah bahan guyonan sejak itu, kalau mau anaknya berjodoh, namanya dibuat sama aja!” tutup Ika.
What's On Fimela
powered by
Next
Perjodohan iseng sewaktu kecil…
“Aku dan Firman berkenalan saat SD. Kebetulan karena sama-sama manja, kami sering ditunggu mama-mama kami. Sejak itulah mamaku dan mama Firman akrab. Nggak tahu kenapa mamanya sering bilang ke mamaku untuk menjodohkan kami berdua. Mamaku menanggapinya santai, tapi dari sana hubungan keluarga kami makin akrab, bisa dibilang sudah seperti saudara. Keluarga besarku bahkan mengenal keluarga besarnya, dan nggak jarang tiap ada masalah mamanya cerita ke mamaku. Pokoknya sudah klop.”
“SMP kami berpisah, masuk ke sekolah impian masing-masing. Waktu kecil kan, masih malu-malu tuh. Jadi, karena di sekolah pun isu perjodohan kami sudah tersebar dan jadi bahan ejekan, kami sengaja menjaga jarak. Jaga jarak khusus di sekolah maksudnya, di luar sekolah kami tetap akrab dan sama-sama nyaman berdua. Sempat nggak berkomunikasi sekitar 2 tahun setelah lulus SD, eh dia tiba-tiba datang ke rumah dan cerita panjang-lebar sedang naksir teman sekolahnya. Aku pun begitu. Sejak itu dia jadi sering datang ke rumah, cerita tentang si A, B, C yang jadi pacarnya, dan itu terus berlanjut sampai kami kuliah. Tiap ada masalah dengan si pacar, dia rajin mendatangiku.”
“Semua terasa beda saat kami sama-sama jomblo. Memang sih, saat dia punya pacar dan kami pergi hang out bareng, terasa banget sikapnya ke aku beda. Dia bisa lebih ramah dan sayang ke aku dibandingkan ke pacarnya. Aneh, kan? Mamanya yang nggak suka dengan pacar-pacar Firman juga sering meminta bantuanku untuk menasihati Firman. Ha-ha-ha,” Irena puas mengingat masa-masa itu, “Nah, ketika Firman dan aku jomblo kami jadi lebih sering pergi bareng. Dia super-perhatian seperti orang pacaran dan rencana pernikahan juga sering kami bahas. Walaupun begitu, aku selalu menganggap omongannya sekadar lelucon. Orangtua dan adiknya bahkan ikut-ikutan membujukku mau menerima Firman dan langsung melamar kalau aku mau, ini juga bercanda. Gila aku pikir, belum pernah sekalipun aku menganggap omongan Firman dan keluarganya itu serius!”
“Dasarnya berawal dari iseng, semua jadi seperti main-main. Aku meninggalkan Firman dan Jogja sekitar 4 tahun lalu, hijrah ke Bandung. Sebelum berpisah, dia bilang nggak akan ke Bandung karena suatu saat akan melamar seseorang di Jogja. Aku cuma bisa bersyukur dia akhirnya nemuin orang yang tepat, walau aku nggak tahu siapa yang dia maksud. Eh, siapa sangka, tiba-tiba Firman dan keluarganya datang ke rumah saat libur panjang tahun lalu, dan benar-benar melamarku! Sama sekali nggak terduga, bahkan tanpa proses pacaran! Sahabat-sahabatku bilang, kadang hal-hal gila dan nggak masuk akal itu justru jadi bukti kekuatan cinta. Memang, ketika dilamar, tiba-tiba pandanganku tentangnya berubah. Dari iseng-iseng aku menemukan sosok yang tepat, sosok yang paling bisa membuatku nyaman walaupun sekadar melihatnya tersenyum menatapku,” dengan haru Irena menutup ceritanya.
Love is the closest thing there is to magic, setuju Fimelova?