Karier, Rumah Tangga, Kehidupan Sosial. Bisa Sukses dalam Satu Waktu?

Fimela Editor diperbarui 27 Jun 2012, 07:59 WIB
2 dari 3 halaman

Next

Memilih karier, berarti keluarga lepas dari prioritas utama. Memilih keluarga, berarti karier dinomorduakan. Dan ketika disuguhkan kembali dengan pertanyaan klasik, lebih memillih jadi ibu rumah tangga atau perempuan karier, ini kata mereka.

Nisa (27 tahun, ibu rumah tangga): “Ibu rumah tangga. Saat hamil sudah memikirkan cara atur waktu paling oke antara pekerjaan dan mengurus anak. Tapi, begitu anak saya lahir semua berubah. Cuti tiga bulan membuat saya terlanjur lengket dengan si kecil. Ya sudah, saya memutuskan berhenti mengajar. Anak saya jauh lebih membutuhkan saya. Melihat langsung pertumbuhan si kecil jauh lebih berharga dari apa pun.”

Laras (26 tahun, editor bahasa): “Perempuan karier. Sayang kalau mau dilepas. Lagipula, aku bekerja juga buat keluarga, kan. Cara menyiasatinya ya dengan pulang on time dan bawa kerjaan ke rumah supaya waktu dengan anak cukup panjang. Kebetulan aku menyewa apartemen di dekat kantor, jadi mudah menjangkaunya, nggak harus berjam-jam buang waktu di jalanan.”  

Sonya (33 tahun, ibu rumah tangga): “Suami mau saya fokus di rumah tangga, sehingga semua kebutuhan keluarga terurus dengan baik. Lagipula, pekerjaan saya sebelumnya nggak menghasilkan. Gaji habis begitu saja cuma untuk makan dan ongkos jalan ke kantor.”

Paula (25 tahun, frontliner): “Aku bingung memilih antara terus kerja atau di rumah. Orangtua dan mertua nggak mendukung saya mengorbankan pekerjaan karena pendidikan saya sia-sia, sementara suami mau saya fokus ke anak. Akhirnya saya tetap bekerja, toh kebutuhan rumah tangga banyak dan pendapatan suami terkadang masih kurang untuk membeli susu, sementara anak dititipkan bergantian ke mertua dan orangtua saya.”

3 dari 3 halaman

Next

Retno (24 tahun, ibu rumah tangga): “Sejak memutuskan menikah memang saya sudah punya rencana ke depannya jadi ibu rumah tangga. Malas terikat dan diatur orang lain. Anak yang baru berumur setahun juga sering sakit, jadi butuh perhatian lebih. Apalagi, pasangan saya bekerja di pelayaran dan baru pulang tiap 6 bulan sekali.”

Santi (28 tahun, sekretaris redaksi): “Aku sempat mau berhenti bekerja. Jujur, pendapatanku memang habis cuma untuk diri sendiri dan nggak membantu suami sama sekali. Tapi, kalau nanti aku nggak bekerja, pendapatan suami makin berkurang untuk memenuhi kebutuhanku, kan. Serba salah memang, sementara anak berkali-kali kelihatan sedih tiap mau kutinggal kerja. Ibu mana yang tega lihat anaknya begitu. Tapi ya mau bagaimana lagi, jalani sajalah.”

Psikolog Adriana S. Ginandjar juga membenarkan betapa sulitnya perempuan menjalankan peran multifungsi sebagai ibu rumah tangga, istri, anggota masyarakat, sekaligus perempuan karier dengan sukses, “Maksimal semua peran itu bisa dilakukan secara seimbang, tidak mungkin sukses semuanya.” Dari jawaban-jawaban tersebut kita juga bisa melihat, baik yang dengan senang hati maupun pasrah menjalani pilihannya, terlihat para perempuan terus berjuang  menyeimbangkan kehidupan dan mewujudkan impian mereka, walau tak semua.

Kalau pilihan jadi ibu rumah tangga diambil, perempuan bisa mewujudkan impian memiliki keluarga yang sempurna sesuai kriteria masing-masing. “Tapi, menjadi ibu rumah tangga bukan berarti sebatas mengurus rumah tangga serta memenuhi kebutuhan pasangan dan anak, perempuan jangan sampai kehilangan tempat untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri, artinya harus tetap kreatif dan menunjukkan kualitas dirinya, berperan sebagai pendidik andal sang anak dan pendamping cerdas sang suami. Pintar-pintar bersosialisasi juga, jangan cuma diam di rumah,” imbuh Tiara, 28 tahun, ibu rumah tangga yang mengaku akan kembali berkarier setelah anak mandiri. Atau, ada di antara kalian yang sukses mewujudkan semua impian di atas sekaligus? Share dan bagi rahasiamu di sini, Fimelova.