Next
Anggota Komisi VIII DPR, Abdul Hakim, sendiri mengakui masih akan ada penyempurnaan draf RUU KKG dari berbagai segi karena yang beredar sekarang sangat mentah dan masih jauh dari harapan. Ia ingin agar draf ini nggak bertentangan dengan UU lain dan norma yang berlaku dalam masyarakat, seperti hak pengasuhan anak, norma perkawinan, dan hak waris.
Pertentangan RUU KKG memang bukan hal baru, bahkan berbagai pihak ramai memprotes dan mengharapkan pembatalan RUU ini sejak kebocorannya ke publik. Forum Umat Islam (FUI) Jombang, misalnya, mereka juga berdalih RUU itu bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya dalam pasal yang menyatakan hubungan antara laki-laki dan perempuan ditentukan oleh nilai-nilai sosial budaya, padahal menurut perwakilan FUI Siswanto, dalam Islam hubungan tersebut ditentukan oleh syariat yang mengaturnya. Kesetaraan dan keadilan dalam Islam bukanlah persamaan antara laki-laki dan perempuan. Gambaran kemajuan dan peran perempuan dalam RUU KKG sangat berlebihan sehingga memaksa keterlibatan perempuan dalam ruang publik, baik di lembaga pemerintahan maupun non-pemerintahan, padahal kondisi tersebut justru merendahkan makna perempuan sebagai ibu dan pendidik anak-anak di rumah.
Menariknya, nggak cuma laki-laki yang menolak RUU KKG ini. Banyak perempuan dari berbagai kalangan, mengatasnamakan organisasi tertentu, yang juga menentang kesetaraan gender, salah satunya karena RUU KKG ini membuka peluang melencengnya dari peran utama seorang perempuan sebagai istri dan ibu yang harus bertanggung jawab terhadap keluarga.
Pakar Gender Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) yang sekaligus dosen IPB, Dr. Ir. Euis Sunarti, menjelaskan bahwa RUU KKG ini harus mempertimbangkan juga dari sisi keluarga, "Walaupun masalah pemberdayaan perempuan penting, jangan sampai mengabaikan bagaimana membangun keutuhan keluarga berdasarkan nilai-nilai agama.” Bagi Euis, draf RUU KKG bisa jadi bertentangan dengan UU No.52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Karenanya MIUMI dengan tegas menolak draf RUU KKG, bukan sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan, tapi karena RUU ini akan berbenturan dengan UU lain dan atas pertimbangan dari sudut hukum dan falsafahnya serta dampak terhadap keluarga.
What's On Fimela
powered by
Next
Dr. Arofah Windiani, S.H., M.Hum., wakil MIUMI yang juga Wakil Dekan I Univesitas Muhammadiyah Jakarta, ini pun ragu apakah dengan RUU KKG martabat perempuan bisa jadi lebih baik, karena menurutnya RUU ini bertentangan dengan nilai Pancasila dan ditunggangi kepentingan relativisme, liberalisme, dan westernisasi.
Draf RUU KKG juga dinilai bertentangan dengan syariat Islam, seperti dalam materi tentang hak dalam perkawinan. Di sana dituliskan kalau tiap orang berhak menikah dan bebas memilih suami atau istri. Artinya, pernikahan sesama jenis sangat mungkin terjadi karena nggak disebutkan dengan tegas pasangannya harus berlainan jenis. “Ini jelas melanggar syariat Islam, karena itu harus ada penambahan kata ‘yang berlainan jenis’," terang Tatik Rahayu, Wakil Ketua Forum Komunikasi Majelis Taklim Lampung.
Tapi, di balik pertentangan selalu ada pihak yang pro, salah satunya Dewi Motik Pramono, juru bicara Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Ia menjelaskan tentang gagasan kesetaraan gender yang sudah ada sejak masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, “Laki-laki dan perempuan duduk setara memperjuangkan kemerdekaan, jadi tidak ada alasan untuk menolak RUU KKG.”
Perempuan, sebagai pihak yang sedang diperjuangkan lewat RUU KKG, memang berhak memberikan pendapatnya tentang perlu atau tidaknya disejajarkan haknya dengan laki-laki, tergantung pandangan, persepsi, kepercayaan, maupun kepentingan pribadi atau kelompok. Di antara berbagai polemik, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Chairunnisa sendiri sampai saat ini masih menunggu masukan dari beberapa ormas. Dan mengenai polemik yang berkembang itu, Ketua Panitia Pekerja (Panja) RUU KKG Ida Fauziah mencoba mengklarifikasi isu legalisasi hal-hal yang dilarang agama dan terus berusaha menyamakan persepsi dan pandangan dalam pembentukan draf RUU ini. Lagi-lagi, siapapun berhak menyampaikan aspirasinya. Siapa yang menolak dan setuju? Kamu?