Next
“Pintu Harmonikaâ€, judul film yang kini sedang digarap oleh Luna Maya, Sigi Wimala, dan Ilya Sigma menjadi bukti kesekian kalinya bahwa perempuan pun mampu idealis dan dibanggakan lewat karya. Mengusung keistimewaan sebagai film dengan tiga genre dalam satu judul dan digarap oleh tim yang sebagian besar bergender perempuan, film yang ide ceritanya datang dari novelis Clara Ng ini, dibuat dengan menyisipkan pesan bahwa setiap perempuan hebat apabila mereka mau.
Ketika perempuan buat film, akan lebih make believe
Luna: “Pintu Harmonika†adalah film drama keluarga yang dikemas dalam genre yang berbeda-beda, yaitu drama, komedi, dan thriller. Setiap genre punya sub judul berbeda-beda, yaitu Otot (komedi), Skors (drama), dan Piano (thriller). Walau berbeda genre, jalan cerita film berlangsung dalam satu lokasi yang sama, yaitu ruko, tapi segi ceritanya nggak terkait sebab-akibat. Kami memilih tema cerita ini karena masalah keluarga erat kaitannya dengan perempuan. Tapi, bukan hanya membuat film bersama-sama seperti layaknya omnibus biasa, kami memutuskan untuk mengombinasikan genre yang berbeda dalam satu film.
Sigi: Umumnya, orang-orang begitu mendengar sebuah film bergenre drama, berpikir kalau itu sebuah tontonan yang berat dan dramatis. Tapi, yang kami lakukan di sini adalah film ini sama sekali nggak menggurui, justru ingin menghibur. Untuk bisa menghibur, kami berpikiran bahwa less is more sehingga tipe konfliknya bukan sesuatu yang kecil dibesar-besarkan. Kami mengangkatnya dengan sudut pandang bagaimana kalau masalah itu terjadi di kehidupan nyata. Seperti di bagian saya, kalau ada konflik antara ibu dan anak, kejadian dan cara menghadapinya ya seperti itu in real life. Penonton jadi familiar dengan konflik yang kami angkat ke dalam film ini dan nggak ada gap antara filmmakers dan audiens.
Anggi: Ya, kami menyuguhkan rasa berbeda dalam sebuah tontonan dan diharapkan bisa dirasakan hingga ke bangku penonton.
Luna: Soal selera, kami nggak bisa mematok seberapa banyak orang mau menonton atau suka dengan film tertentu. Film ini bukan untuk mengajarkan yang benar dan salah kepada orang tua atau anak. Tapi karena membuat film ini dengan totalitas tinggi, kami berharap pesan yang ingin disampaikan itu bisa sangat mengena di hati penonton. Selling point dalam film ini bisa juga dari pemilikan lokasi ruko. Sejauh yang saya tahu, jarang film Indonesia yang mengangkat kehidupan rumah tangga di ruko. Nilai filosofinya pun nanti bisa ditangkap kenapa memilih setting ruko.
Next
Tiga perempuan dalam satu tempat, (tak) selalu ada drama
Luna: Justru kami saling mendukung dan membantu. Mulai dari draft cerita, kami saling membaca porsi cerita kami masing-masing dan memberikan komentar dimana yang kurang dan mana yang bagus, karena masukan seperti itu semakin membuat cerita film ini solid. Kami melakukan ini karena bukan ingin berkompetisi. Kalau melihat film omnibus yang lain, sedikit terasa ada kompetisi dari segi cerita atau tim yang satu dengan yang lain. Sementara, dalam pengerjaan film ini seluruh tim adalah orang yang sama untuk ketiga bagian cerita, sehingga nggak ada satu bagian yang menonjol daripada bagian yang lain. Film ini harus menjadi satu kesatuan walaupun gaya penceritaan dan kisahnya berbeda. Kalau film garapan saya jelek, film mereka juga ikut jelek, begitu pun sebaliknya. Ketika menonton film ini, kami ingin penonton bisa menemukan kelebihan masing-masing bagian cerita, nggak ada yang timpang.
Sigi: Karakter kami yang berbeda satu sama lain itulah yang membuat ide membuat tiga genre dalam satu film itu bisa berjalan. Itu juga bisa terlihat dari kepribadian asli kami. Kepribadian riang Anggi yang bisa menengahi masa-masa intens di antara kru film yang lain, membuat genre bagiannya pas di drama komedi. Sementara, kalau Luna orangnya very persistent, tahu apa yang dia mau, dan gigih mempertahankan pendapatnya, sehingga memang pas mendapatkan porsi genre drama yang ada muatan konflik antara anak dan bapak dengan ego masing-masing.
Anggi: Kalau Sigi memang lebih pas yang sisi “gelap”nya, karena kepribadian dia yang pemikir, misterius, dan kecenderungan kesukaannya pada film dan musik yang dark. Genre thriller memang paling pas untuknya dan kita semua juga sudah tahu kalau dia akan memilih jenis ini saat film ini terbagi ke dalam tiga genre.
Next
Kami semua perempuan perfeksionis!
Luna: Kami ingin film ini sesempurna mungkin. Mulai dari editing sampai irama cerita sejak awal hingga akhir film, inginnya bisa “membangunkan” rasa penonton. Untuk segi scoring, kami ingin memberikan waktu kepada music director untuk bisa memberikan sentuhan musik yang terbaik supaya film ini lebih bisa menyentuh. Kami juga ingin teliti dalam pemberian grading warna. Dari segi waktu rilis filmnya pun kami memilih Desember karena itu sempurna. Ada libur Natal, Tahun Baru, dan Hari Ibu juga. Kami nggak mau diburu-buru dalam proses membuatnya karena ingin hasilnya sesempurna mungkin. Ini adalah debut pertama kami bertiga membuat film dan merasa bertanggung jawab kepada penonton supaya bagaimana mereka bisa menikmati hasil karya kami. Pokoknya, semua hal kami ingin semuanya bagus.
Sigi: Keperfeksionisan kami karena untuk mendapatkan kesempatan menyutradarai seperti ini susah. Kami terhitung sutradara baru dan bisa dikasih kesempatan sebesar ini sangat langka. Debut pertama juga menjadi momen yang krusial karena hasil kerja kami akan dinilai oleh banyak orang. Makanya, dari awal mengiyakan sampai sekarang, kami benar-benar menikmati tahapnya supaya bisa betul-betul mencapai hasil terbaik.
Anggi: Waktu produksi yang panjang ini juga menjadi kesempatan untuk promo dan membangun awareness publik terhadap film ini. Kami punya lebih banyak waktu untuk membuat orang-orang penasaran.
Luna: Walaupun sebenarnya deg-degan juga karena kita semua biasanya datang ke premier film orang lain yang entah banyak atau sedikit, pasti ada berkomentar dan menilai. Itu pasti juga akan terjadi pada kami nanti dan harus menyiapkan mental dari sekarang.