Kelas Sosial, Wujud Sistem Kasta Masa Kini?

Fimela Editor diperbarui 18 Jun 2012, 11:59 WIB

Berbagai kasta yang kita kenal, Brahmana sampai Sudra, memang sepertinya nggak jauh berbeda dengan kelas sosial yang ada sekarang, bahkan berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Walaupun saat ini yang paling menonjol ditentukan oleh kondisi sosial dan ekonomi, kelas sosial tetap tak memiliki batasan jelas yang membedakan kelas satu dengan lainnya. Masing-masing menggunakan batasan lunak. Dalam hal konsumerisme, misalnya, kelas bawah dikatakan irasional saat berbelanja, cenderung berorientasi jangka pendek tanpa bisa berpikir untuk jangka panjang.

Kelas menengah akan memilih produk yang memang mencitrakan kelas, yang banyak menjadi rujukan di kalangan mereka. Selain itu, mereka juga sangat mungkin melirik produk-produk masyarakat kelas atas, tapi membeli yang sesuai dengan daya beli mereka. Sementara kelas atas sendiri mayoritas memilih produk dengan sangat selektif dan biasanya bermerek global, mencitrakan kelas mereka. Itu yang umum terjadi, tapi nggak jarang juga masyarakat kelas menengah irasional saat berbelanja, atau kelas atas membeli barang buatan lokal yang banyak dijual bebas dan murah. Ini yang disebut sebagai batas lunak, tak ada patokan yang pasti.

Realitasnya, kelas sosial jadi patokan orang bersikap. Yang kaya yang punya segalanya, sedangkan yang miskin makin dipersulit dengan birokrasi maupun bonus sikap sinis dari banyak pihak. Kelas sosial pun jadi tolok ukur bagaimana seseorang diperlakukan. Timbul kesenjangan di tiap kelas yang akhirnya menumbuhkan stereotipe tertentu, seperti orang miskin akan selamanya ada di bawah, atau orang kaya seumur hidup berhak hidup makmur dalam kemewahan. Diskriminatif.

"Tiap masa punya batasan atau patokan kelas dan terus berkembang seiring dengan kebutuhan dan kemajuan teknologi, wujud modern sistem kasta masa lampau."

Tapi, di luar sisi negatif itu, lewat pembagian kelas tersirat inilah berbagai persoalan, mulai dari politik sampai yang berhubungan dengan perekonomian, dapat dianalisis. Ibarat menilik pasar, subjek dan objek dalam perpolitikan maupun perekonomian adalah masyarakat, karena itulah untuk menyasar secara tepat, siapa pun harus tahu kelas terbesar yang mendominasi beserta karakteristiknya untuk menentukan strategi kampanye maupun marketing.

Mungkinkah jurang pemisah itu ditiadakan, mengingat banyak hal yang solusinya diperoleh dari pemisahan kelas dalam masyarakat? Tidak. Selama masih ada masyarakat, kelas sosial senantiasa hidup di dalamnya dan jadi label penanda. Seseorang dinilai bukan dari perbuatan atau prestasinya semata, tapi juga di posisi ekonomi mana dia berada, itulah “hukum alam” yang harus dihadapi saat ini.

Dari sekian banyak penggolongan, dari masa ke masa terus muncul penggolongan baru yang merupakan inovasi dari yang sudah ada sebelumnya, seperti penggolongan Marx dengan patokan alat produksi, Max Weber yang melengkapinya dengan ekonomi dan prestise, atau Lloyd Warner yang memakai ukuran pekerjaan dan kesejahteraan. Dan yang terbaru adalah penelitian yang dilakukan Litbang Kompas, menggabungkan teori Goldthorpe dan Biro Sensus Amerika Serikat. Ukuran pengelompokannya berdasarkan pekerjaan, pendidikan, pengeluaran pribadi per bulan, dan  pengeluaran keluarga untuk membayar listrik per bulannya. Kelas seseorang nantinya ditentukan oleh skor akhir, skor rata-rata dari pembobotan atas pengeluaran, pendidikan, dan okupasi, apakah masuk dalam kelas atas, menengah atas, menengah, bawah, dan sangat bawah.

Dari situlah kita bisa melihat jelas bahwa tiap masa punya batasan atau patokan kelas dan terus berkembang seiring dengan kebutuhan dan kemajuan teknologi, wujud modern sistem kasta masa lampau. Artinya, budaya penggolongan masyarakat berdasarkan kelas terus ada dari masa ke masa dan tak pernah benar-benar hilang karena setuju atau tidak, kelas sosial sudah menjadi budaya, sudah mendarah-daging dan bahkan kini diakui jadi cara efektif menyelesaikan masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik masyarakat. Walaupun efek negatif, seperti diskriminasi kelas, terus membayanginya. Tinggal bagaimana kita memanfaatkannya untuk hal positif, bukan menjadikannya patokan atau ukuran untuk memandang dan memperlakukan orang lain. Kita dan semua orang tetaplah anggota masyarakat yang berhak mendapatkan perlakuan sama.