Transgender atau kalangan yang menempuh jalan untuk berubah jenis kelamin, memang bukan hal asing lagi. Mereka berbaur di antara tempat umum yang sehari-hari kita datangi atau berada di lingkungan kerja yang menjadi sumber mata pencaharian kita. Tapi, pernahkah kamu tahu apa yang ada di dalam hati mereka? Beruntung, FIMELA.com mendapatkan cerita hati ke hati dari Kesya Moedz Jenan, seorang fashion stylist kenamaan, yang mau berbagi cerita dan pengalamannya tentang menjadi seorang transgender.
Saya sudah tahu, tapi saya takut
Sejak kecil, saya tahu ada yang salah dengan saya. Saya lebih tertarik dengan teman-teman ayah daripada mengagumi perempuan. Saya melihat perempuan bukan sebagai lawan jenis, saya bagian dari mereka, hanya bentuk fisik saya yang terlahir sebagai laki-laki. Mulai dari SMA saya perlahan bergerak untuk berjuang menjadi perempuan. Satu kunci utama untuk menyempurnakan transformasi saya adalah dengan mengonsumsi hormon dan itu sebaiknya dikonsumsi sedari dini agar hasil yang diinginkan semakin sempurna, seperti yang dilakukan oleh para transgender di Thailand atau Brazil. Saya sendiri memulai konsumsi hormon di usia 24 tahun, setahun sebelum umur 25 yang dianggap menjadi batas akhir terapi hormon. Yang membuat saya begitu lama hingga akhirnya memutuskan mengonsumsi hormon adalah karena saya takut dengan berbagai efek samping terapi ini.
Singkat cerita, setelah terapi hormon, payudara saya mulai terbentuk, diikuti dengan kulit lebih halus, pori-pori mengecil, serta terbentuknya pinggul dan lekukan tubuh seperti layaknya perempuan. Yang terberat dari perubahan hormon ini adalah mood swing yang sangat parah, karena hal sekecil apapun bisa saya anggap serius dan membuat marah. Terkena macet saja bisa membuat saya berteriak histeris. Tiga bulan pertama mengonsumsi hormon terasa seperti neraka, tapi saya juga harus berusaha tetap ‘waras’ dan nggak mengikutkan perasaan karena saya punya pekerjaan dan lingkungan sekitar yang harus dijaga perasaannya. Hormon itu pun turut mengubah pola pikir saya menjadi lebih seperti perempuan pada umumnya, yang lebih berperasaan, punya jalan pikiran layaknya perempuan, nggak mudah terangsang secara seksual seperti laki-laki,dan menyukai penampilan serba cantik.
What's On Fimela
powered by
Next
Tanpa dukungan keluarga pun, saya tetap maju
Sampai sekarang, ayah saya masih mengingkari dengan transformasi saya, ibu pun awalnya sempat menyangkal, walaupun sekarang sudah sangat menerima dan jadi pihak yang sangat mendukung. Keluarga ayah yang sangat konservatif, ditambah dengan posisi beliau sebagai anak tertua dan saya adalah cucu pertama, menjadikan pilihan saya sebuah masalah yang serius, all eyes on me. Makanya, daripada saya menjadi beban terus menerus, sedari dulu saya bilang ke ibu kalau cepat atau lambat saya akan pindah ke luar negeri, jauh dari mereka, agar mereka bisa mereka bisa bahagia tanpa terganggu oleh saya. Sedikit banyak, itulah alasannya kenapa selama empat tahun terakhir ini setiap menjelang bulan Ramadhan, saya selalu pergi ke luar negeri sampai selesai Lebaran.
Alasannya karena ingin menghindari keluarga ayah. Pertemuan keluarga yang terakhir saya kunjungi adalah ulang tahun ayah tempo hari, dengan penampilan saya yang jauh lebih sempurna sebagai seorang perempuan. Pihak keluarga ayah yang masih denial dengan status saya, melihat saya dengan terkesima, mungkin seperti bertemu dengan alien. Saya tahu mereka masih membicarakan saya di belakang, tapi selama saya nggak bergantung hidup sepeser pun dari mereka, untuk apa dipusingkan soal itu?
Saya transgender, bukan homoseksual
Yang perlu ditekankan adalah, menjadi transgender sama sekali bukan menjadi gay atau homoseksual. Istilah yang lebih dekat untuk situasi ini adalah lahir di tubuh yang salah, dan itu sudah banyak diangkat oleh berbagai media di luar negeri, salah satunya Oprah. Sementara, laki-laki yang menjadi partner transgender, juga bukan gay. Partner saya yang sekarang ini, saat mendekati saya, nggak tahu kalau saya adalah seorang transgender. Dia menyukai saya sebagai sosok perempuan, dengan berbagai sifat dan hal feminin yang saya miliki. Mengenai alat kelamin, suatu hari saya akan operasi kelamin, tapi itu sampai saya menemukan partner untuk settle down.
Susahnya saya melakukan operasi tersebut bukan hanya karena operasi tersebut prosedurnya rumit dan berbiaya mahal, tapi juga menuntut saya untuk lebih bertanggung jawab dan berkomitmen dengan keputusan itu. Bila suatu saat nanti saya memiliki vagina, itu memang untuk kepuasan saya, tapi saya mempersembahkan itu hanya untuk satu orang, bukan untuk pasangan yang berganti-ganti. Untungnya, saya belum melakukan operasi itu sekarang, karena saya masih ingin menunggu teknologi perkembangan operasi tersebut, yang terakhir saya ketahui, kini bahkan sudah bisa orgasme dan sensitif layaknya vagina asli, bukan hanya menyerupai tapi nggak berfungsi sebagai alat kelamin.
Next
Saya bahagia dengan pilihan hidup saya
Kalau saya bisa memilih antara pilihan A atau B, dengan senang hati saya memilih di antara kedua itu, bukan memilih opsi C yang penuh tekanan dan lain daripada yang lain seperti ini. Kalau seseorang menyarankan saya untuk menerima diri saya apa adanya, saya tanya kembali, apa bisa mereka berperang dengan diri mereka sendiri setiap hari dan nggak bisa mengekspresikan apa yang mereka mau? Sudah banyak kasus bunuh diri karena masalah seperti itu dan saya nggak mau mati sia-sia. Proses ini memang amat sangat berat dari segala sisi, dari segi fisik, psikis, materi, hingga bertarung dengan diri sendiri. Sudah bagus saya nggak gila menjalani semua tekanan itu.
Tapi, saya percaya kalau everything happens for a reason dan kini bisa saya menjalaninya dengan senang hati, seperti rela setiap hari minum 12 jenis pil yang terdiri dari pil hormon, vitamin untuk rambut, kulit, kuku, dan lain-lain. Saya di tahap sangat bahagia karena bisa mencapai bentuk tubuh yang sangat saya idamkan seperti yang saya miliki sekarang. I’m having an orgasm with my own body. Saya melakukan ini untuk alasan yang benar, bukan untuk jual diri atau hal buruk lainnya. Tujuan saya tetap satu, ingin bahagia sebagai perempuan karena saya merasa terlahir sebagai perempuan.