Hannah Al Rashid: "Saya Tipe Perempuan Berbeda"

Fimela Editor diperbarui 24 Mei 2012, 04:00 WIB
2 dari 4 halaman

Next

Sudah lama saya berkonflik dengan diri saya sendiri

Saya lahir dan besar di London dengan darah keturunan Makassar dari Papa dan Prancis dari Mama. Bisa dibilang, saya hanya setengah Indonesia, namun sejak kecil saya sudah ingin sekali menjadi orang Indonesia dan itu tertanam di kepala dan hati saya. Itu sebabnya saya ambil jurusan Sastra Indonesia saat kuliah di London, saya ikuti setiap kegiatan masyarakat Indonesia di sana, termasuk buat festival film Indonesia di sana, semua itu karena saya cinta dengan Indonesia. Tapi, begitu saya tinggal di negara yang saya inginkan selama ini, saya diremehkan karena saya bule.

Di situ saya cukup drop, karena tanpa mengalami hal seperti ini di Indonesia, saya punya konflik internal yang sudah saya rasakan cukup lama tentang menjadi seseorang dengan darah campuran dan nggak tahu dimana tempat yang bisa menerima saya dan bisa saya anggap “rumah”. Makanya, kini saya lebih suka menganggap saya sebagai child of all nations, anak semua bangsa, berkiblat dari buku Pramoedya Ananta Toer sebagai penulis kesukaan saya yang menjadi media untuk saya lebih mencintai Indonesia. Terlepas dari apa paspor saya, saya merasa adalah orang Indonesia, walaupun sering sakit hati juga karena di negara yang penduduknya sangat beragam seperti ini, perlakuan imigrasi di sini malah berlaku seperti ingin mengatakan: “You’re either Indonesian or you’re not”.

Banyak hal absurd di sini

Agustus tahun ini saya genap 4 tahun tinggal di Indonesia. Selama perjalanan itu, saya menemukan banyak hal yang nggak bisa diterima dengan akal sehat saya. Seperti sebuah produksi syuting yang bisa terhenti karena ada satu pemeran utama yang bisa dengan seenaknya datang kapan saja ia mau tanpa mau tahu keadaan. Padahal dia siapa? Kalau Johnny Depp berlaku seperti itu, mungkin bisa sedikit dimaklumi. Juga, ketidakprofesionalan beberapa pihak untuk masalah gaji. Kalau nggak kita sendiri yang proaktif meminta gaji setelah melaksanakan kewajiban syuting, maka bisa saja nggak dibayar. Sama halnya dengan tindakan korupsi yang merupakan perbuatan dengan niat untuk mencuri. Menurut saya itu sangat absurd.

Satu hal lagi yang saya rasakan di sini adalah inferiority complex yang seperti Abang Joko Anwar pernah bilang, memang benar terjadi di sini. Keistimewaan seringkali diberikan untuk orang asing, sedangkan kalangan pribumi dinomorduakan. Kalau saya berniat jahat, bisa saja saya mempergunakan ke-bule-an saya untuk mendapatkan keuntungan, seperti bisa masuk ke sebuah tempat tanpa antri. Saking banyaknya hal yang membuat saya kaget, drop, atau sebal, saya bisa bilang kalau ingin menampar orang, pindahlah ke Indonesia hahaha... Walaupun, saya nggak menyesal juga pindah ke sini karena saya lebih memahami diri saya di sini dan dapat banyak pengalaman berharga.

3 dari 4 halaman

Next

 

Saya nggak suka dipuji cantik

Saya sadar benar kalau saya bekerja di industri hiburan ini karena penampilan fisik saya, bukan karena bakat atau hal lain. Saya justru orang bodoh kalau berpikir saya bisa mendapat pekerjaan di dunia hiburan karena saya berotak pintar. Saya tahu saya dinilai dari wajah indo saya, dan saya tahu benar kriteria indo itu yang laku secara komersil. Berdasarkan itulah, saya selalu pilih pekerjaan yang nggak hanya mengandalkan muka indo saya, tapi juga bisa menampilkan kepribadian dan intelektual saya. Paling tidak itu yang selalu saya usahakan karena nggak menutup mata saya tetap punya kebutuhan finansial.

Memang saya terkesan ribet, tapi itulah yang saya banggakan. Saya lebih bangga dibilang bawel karena selalu mengajak berdebat untuk semua hal, daripada dipuji cantik. Sebelum bermain di “Modus Anomali", saya sudah pernah ditawari untuk main di film horor-hororan yang harus tampil seksi dan berbikini. Hanya karena saya berpenampilan seperti ini, saya nggak mau dari sisi kreatif hanya dinilai sebagai “pemanis”. Kalau misalnya saya mengambil pekerjaan seperti itu, berarti saya setuju dengan stereotipe yang diberikan orang lain untuk saya.

Dan, bukan hanya sekadar mirip dengan Wulan Guritno...

Ya, saya cukup sering dikatakan mirip dengan Wulan Guritno dan memang dekat dengannya. Pernah ada satu kejadian lucu, eyang Mbak Wulan memanggil saya karena mengira saya adalah Wulan, yang memang kami cukup mirip hahaha... Tapi terlepas dengan kedekatan kami, saya mengagumi dia sebagai salah satu sosok perempuan yang bisa berkembang di dunia hiburan ini sebagai aktris, produser, tapi bisa tetap mempertahankan semangat family minded-nya. She’s lovely dan baik banget, saya bisa bercerita banyak dengannya.

4 dari 4 halaman

Next

 

Saya dan institusi bernama pernikahan

Bisa dibilang saya nggak percaya dengan institusi bernama pernikahan, tapi ini menjadi konflik untuk diri saya sendiri karena saya orang Islam dimana dalam agama saya pernikahan adalah ibadah. Di satu sisi saya beropini A, tapi di sisi lain saya harus mengamalkan ajaran agama yang saya anut walaupun jiwa saya sedikit bohemian.

Itu sebabnya, kalau saya menikah nanti, saya lakukan itu karena didasari oleh alasan yang benar. Saya melihat sendiri teman atau orangtua teman saya yang bisa membesarkan anak-anak mereka tanpa harus menikah, jadi tandanya bukan pernikahan yang jadi landasan penting, dong. Menurut perspektif saya, kita harus menikah bukan karena tekanan sosial atas umur 30 yang dianggap sebagai batas akhir melajang. Bedanya usia 29, 30, atau 31 tahun apa sih? Diberikan jodoh di usia 40 tahun tetap sebuah berkah untuk saya, pernikahan bukan menjadi target berdasarkan angka.

Bisa jadi, sebelum usia 40 tahun bertemu jodoh, saya diberikan berkah karier yang bagus atau bisa traveling ke banyak tempat. Nggak ada bedanya menurut saya. Makanya, hal ironis yang saya lihat di sini adalah lebih baik memilih menuruti apa kata orang tua daripada menikah dengan seseorang yang benar-benar kita cintai. Itu sungguh absurd menurut saya. Dengan banyaknya tekanan atau tabu sosial, saya malah sempat berpikir harus pindah ke tribal country agar saya bisa merasa hidup sehidup-hidupnya. Sekarang, saya sudah mulai dapat pertanyaan “kapan nikah?” dari teman, yang anehnya dulu dia juga sempat tinggal di luar negeri dan punya pemikiran seperti saya tapi langsung berubah dangkal cara berpikirnya setelah pindah ke sini. Untunglah keluarga ayah saya yang asli Makassar nggak berlaku seperti itu karena mereka tahu saya “berbeda” hahaha...