Next
Perkenalkan, nama saya Inca, 26 tahun, bekerja di sebuah advertising agency. Saya termasuk perempuan yang memperhatikan betul penampilan dan sangat peduli dengan komentar orang lain atas penampilan saya. Jujur saja, penampilan yang cantik menurut saya adalah yang bertubuh langsing dan semampai. Apalagi saat saya mau menikah setahun yang lalu, saya ingin terlihat bagus mengenakan gaun pengantin dimana saya sedang menjadi pusat perhatian orang banyak. Saya juga ingin foto pernikahan saya enak dipandang yang akan menjadi kenangan seumur hidup untuk momen sakral saya.
Bersamaan dengan itu, bobot saya memang sedang sangat naik saat itu. Alarm tubuh saya yang mulai “menyala” di bobot 58-59, sudah melampaui batas sebenarnya, karena saya sudah menginjak angka 68 saat itu. Maka, saat lamaran telah sukses dilaksanakan, misi pribadi saya dimulai: yaitu mendapatkan kembali bentuk tubuh saya saat SMP dulu. Artinya, saya minimal harus menghilangkan 20 kilogram supaya angka timbangan bergerak ke angka 48. Saya mulai berolahraga keras yang dibagi ke dalam dua tahap, yaitu satu setengah bulan pertama lari di atas treadmill setiap hari dua kali, pagi dan sore, lalu di satu setengah bulan berikutnya berlatih gym setiap hari minimal 4 jam. Pola makan saya yang suka mencoba-coba berbagai jenis makanan, juga langsung drastis berhenti dan diganti dengan sayur-sayuran rebus dan nasi merah, serta roti gandum.
Proses “gerilya” untuk langsing itu tentu berat dijalani, makanya saya punya cara sendiri untuk selalu memotivasi diri agar nggak melemah atau bahkan menyerah di tengah jalan. Saya selalu melihat foto saya di saat gemuk yang membuat saya selalu risih dan gelisah setiap melihatnya, karena sangat nggak cantik di mata saya. Saya juga memasang foto selebriti yang bentuk tubuh mereka menjadi role model untuk saya, seperti Nicole Scherzinger dan Agnes Monica di wallpaper komputer dan handphone. Efeknya, saya selalu diingatkan untuk bisa menyerupai bentuk tubuh langsing mereka dan akan merasa malu bila gagal mencapainya. Namun, bukan tantangan dari luar saja yang membuat “perjuangan” ini terasa berat. Saat itu saya sempat tepar karena muntah dan diare selama tiga hari, badan pun gemetaran seolah tubuh ini payah untuk menopang diri sendiri. Namun, itu sama sekali nggak menciutkan semangat saya untuk terus lanjut berdiet dan berolahraga keras.
Next
Singkat cerita, saya memang nggak mencapai target awal untuk berbobot 48 kilogram, karena sampai pertengahan Februari 2011 dimana pernikahan saya dilangsungkan, saya “hanya” mencapai bobot 51 kilogram. Namun sebenarnya hasilnya sudah sangat kentara terlihat, mulai dari bentuk wajah yang jauh lebih tirus, lingkar dada, pinggang, dan lengan yang sangat menciut, serta ukuran sepatu saya yang mengecil satu ukuran karena semakin kurusnya seluruh bagian tubuh saya. Hasil yang saya inginkan pun tercapai, dengan tatapan kagum dari para teman dan undangan yang hadir ke resepsi pernikahan saya dan tampilan saya yang mengagumkan di foto pernikahan.
Setelah menikah, saya sempat terlena untuk berhenti berdiet karena sempat kehilangan ritme yang cocok untuk berdiet dan masih beradaptasi dengan kehidupan berumah tangga yang benar-benar baru untuk saya. Maka secara perlahan, selama 5 bulan pascapernikahan, berat saya pelan-pelan melonjak lagi ke angka 64 kilogram, dan kembali mengingatkan saya untuk mulai lagi berdiet dan berolahraga. Namun, berbeda dengan proses penurunan berat badan sebelum menikah dulu, sekarang saya sudah lebih tertata dan nggak terbakar emosi, sehingga menggunakan akal dan pola yang sehat untuk melangsingkan diri.
Sekarang sistem diet saya, selama tiga minggu pertama detoks dengan hanya makan buah-buahan, lalu di minggu keempat sampai sekarang, saya mulai makan ikan, sayur-sayuran rebus atau tumis tanpa garam, tahu/tempe rebus/goreng tanpa garam, dan buah. Yang saya hentikan konsumsinya adalah nasi putih, nasi merah, dan mie. Pola diet seperti ini saya dapatkan dari rekan kerja saya yang bisa sukses menghilangkan banyak bobot tubuhnya. Dan memang benar, dengan pola makan seperti ini, berat badan saya bisa tetap stabil walaupun jadwal olahraga nggak teratur karena urusan pekerjaan seringkali membuat saya pulang malam. Saya juga nggak merasa kelaparan seperti biasanya berdiet karena bisa tetap mencicipi jajanan seperti siomay, namun hanya menyantap siomay dan tahu. Kini, saya sudah nggak lagi menjadi perempuan dengan berat badan berlebih dan lebih percaya diri. Walaupun target berat badan belum tercapai –dan masih terus saya usahakan- saya sudah cukup puas dengan penampilan saya sekarang.