Sidrotun Naim: Dokter Udang dengan Prestasi Internasional

Fimela Editor diperbarui 23 Mei 2012, 07:59 WIB
2 dari 5 halaman

Next

Jatuh cinta pada udang karena 5 alasan

Sewaktu kecil, Naim mengaku nggak pernah mencicipi udang. Karena besar di daratan, tepatnya kota Solo, bukan di pesisir, dan berasal dari keluarga sederhana, kesempatan Naim untuk makan udang baru terlaksana saat umurnya 22 tahun. “Supermarket berpendingin juga belum ada pada saat itu, di pasar tradisional pun sulit ditemui. Setelah besar jadinya terobsesi,” Naim memulai ceritanya.

Alasan kedua, saat kuliah Naim makin paham kalau seafood adalah makanan sehat. Kalau orang pakai istilah otak udang atau otak dengkul, itu salah besar menurut Naim. Orang yang makan udang justru memiliki otak cerdas. Budidaya udang juga merupakan mata pencaharian pokok di hampir seluruh pesisir di Indonesia, dan udang adalah makanan laut paling populer di dunia sekaligus paling rewel, rawan terserang penyakit.

"Seperti panggilan hati. Penambak tak tahu harus berbuat apa, sementara saya punya kesempatan mempelajarinya di pusat penelitian penyakit udang di Arizona."

Mengelilingi beberapa kota di Indonesia sudah jadi pekerjaannya sebagai peneliti, salah satunya Aceh. Saat itu, WWF Indonesia membutuhkan konsultan program kelautan, dan Naim pun terbang ke Aceh tanpa tahu apa yang akan dikerjakannya. Sampai di sana, ia baru paham jika salah satu pekerjaan yang akan ditanganinya adalah rekonstruksi dan rehabilitas tambak udang pascatsunami. “Itulah pertama kalinya saya lihat dan terjun langsung ke tambak udang,” ungkap Naim.

Awal berkecimpung di dunia udang pun biasa saja, Naim tak merasa penelitiannya ketika itu akan membawa perubahan dalam hidupnya. Barulah, setelah ia mengetahui bahwa hambatan terbesar budidaya udang adalah penyakit. Kalau udang sudah terkena penyakit, penambak tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah merugi. Naim melanjutkan ceritanya, “Saat itulah saya tak bisa mangkir lagi. Itu seperti panggilan hati. Penambak tak tahu harus berbuat apa, sementara saya punya kesempatan mempelajarinya di pusat penelitian penyakit udang di Arizona. Di sinilah peran sains, menjawab masalah sosial-ekonomi. Tanpa tradisi penelitian yang kuat, kita cuma bisa jadi bangsa pengguna, bukan pencipta teknologi.”

Profesi peneliti itu seperti bermain, sama sekali tak membosankan…

Pandangan publik tentang profesi peneliti yang membosankan, berisiko, dan kurang diminati karena minim pendapatannya, bagi Naim justru sebaliknya. “Jadi peneliti itu nggak ada suka-dukanya, yang ada cuma suka dan suka. Saya merasa seperti sedang bermain, mirip seperti anak-anak. Yang dimainkan saja yang berbeda-beda. Dengan menjadi peneliti, Naim banyak belajar bahwa peradaban suatu bangsa ditentukan oleh kualitas riset, baik yang dilakukan di perguruan tinggi maupun lembaga riset. Berkaca pada beberapa negara mapan dan yang baru mapan, seperti Brazil, Rusia, India, dan China (BRIC) yang memberikan investasi besar untuk riset sehingga sumber daya yang dimiliki sehingga bisa dikembangkan sendiri. “Negara yang sudah mapan saja masih giat membangun negerinya lewat riset, apalagi Indonesia, wajib hukumnya,” Naim menambahkan.

Menurutnya, peneliti tak perlu gaji yang terlalu tinggi, asalkan laboratoriumnya terjamin, segala kebutuhan terpenuhi, itu sudah cukup. Peneliti punya kebanggaan tersendiri lewat publikasi ilmiah dan paten, dan keduanya tak akan mungkin berhasil tanpa ada penelitian yang memadai. Naim berujar, “Semua riset yang saya kerjakan di Amerika akan punya aplikasi di Indonesia. Ini yang saya kejar, riset yang aplikatif. Ini salah satu menariknya dunia sains, tiap hari ada hal baru untuk diteliti. Karena ketika sains menawarkan solusi, biasanya akan timbul masalah baru. Cuma pegadaian saja yang punya semboyan gagah berani, menyelesaikan masalah tanpa masalah, ha-ha-ha.”

What's On Fimela
3 dari 5 halaman

Next

Ketimbang televisi, buku dan radio lebih memancing imajinasi

Kecintaan Naim pada ilmu pengetahuan bukan datang tiba-tiba. Itu semua sudah membudidaya di keluarganya. “Sejak kecil saya sudah terobsesi. Kami sekeluarga kutu buku. Buku adalah satu-satunya hiburan di rumah. Itu semua karena koleksi buku Bapak sangat lengkap. Bukulah yang membuka cakrawala kami tentang kemajuan ilmu pengetahuan,” katanya. Selain itu, sejak duduk di bangku SD Naim adalah pendengar siaran radio gelombang pendek, yang dipancarkan langsung dari luar negeri, misalnya BBC London, Hilversum Belanda, Radio Australia, dan NHK Jepang. Baginya, wawasan yang didapat dari sana luar biasa. “Pertama kali tahu ada perbedaan waktu di dunia saat kelas 3 SD. Penyiar BBC mengawali pembacaan beritanya dengan menunjukkan waktu setempat, yaitu pukul 1 siang di London, padahal di Solo pukul 8 malam. Saat itulah Bapak menjelaskannya,” kenang Naim. Buku dan radio itulah yang membuatnya sedikit demi sedikit punya gambaran tentang luar negeri dan punya impian suatu saat bisa melihat langsung negara-negara di luar sana, bukan untuk bersekolah, melainkan sekadar jalan-jalan. Naim kembali mengungkapkan pandangannya, “Imajinasi lewat buku dan radio itu menurut saya lebih kuat dibandingkan televisi tiga dimensi.”

"Buku dan radio membuat Naim punya gambaran tentang luar negeri dan punya impian suatu saat bisa melihat langsung negara-negara di luar sana, bukan untuk bersekolah, melainkan sekadar jalan-jalan."

Cara termudah ke luar negeri adalah dengan bersekolah

Setelah dewasa, Naim menyadari bahwa untuk mewujudkan mimpinya melihat negara-negara di luar sana, cara termudah adalah dengan bersekolah. Ia pun diam-diam mengikuti jejak orang-orang yang berhasil mendapatkan beasiswa. “Saya tak segan-segan bertanya. Meskipun niat jujurnya kepengin jalan-jalan, karena amanah beasiswa adalah untuk belajar, ya sekalian menyelam dua tiga pulau terlampaui,” ungkapnya senang.

Ibu satu anak ini pun membagi resep rahasianya agar beasiswa jatuh ke tangannya. “Saat wawancara, di satu sisi saya tunjukkan saja apa kelebihan kita, misalnya, teguh pendirian, tak mudah menyerah, paham latar belakang penelitian yang akan dilakukan, atau minimal tahu sedikit apa yang akan dikerjakan. Tapi, di sisi lain saya kemukakan kekurangan saya, karena itulah saya ingin belajar lewat beasiswa itu. Saya nyaris tak tahu apa-apa tentang marine biology saat mau mengambil beasiswa S2 di Australia, tapi bidang itu saya pilih karena saya tahu Indonesia punya potensi yang sangat besar di situ. Harus ada yang peduli. Kita juga perlu mengemukakan bagaimana bisa berkontribusi secara unik, tak biasa. Misalnya, kita tak hanya belajar hal baru di program yang kita ambil, tapi juga memperkaya riset untuk universitas yang kita tuju. Memberi kesempatan untuk kolaborasi internasional, pertukaran budaya, dan sebagainya,” cerita alumni Sekolah Ilmu Teknologi & Hayati, Institut Teknologi Bandung, dan Marine Studies, University of Queensland, Australia, itu panjang lebar.

4 dari 5 halaman

Next

Aceh dan Papua, kota paling berkesan…

Bertualang dari Solo, kota kelahirannya, ke Bandung, Aceh, Papua, Jakarta, Australia, sampai Arizona, Naim mengaku mengidolakan Papua dan Aceh. Kenapa Papua? Itulah pertama kalinya Naim naik pesawat terbang dan melihat laut lepas dari atas. Keeksotisan laut itu membuat Naim ingin lebih mengenal laut Indonesia. Lalu, kenapa Aceh? Di sanalah Naim bertemu penambak udang yang putus asa. Ia merasa punya tanggung jawab besar sebagai orang yang berpendidikan untuk membantu para penambak udang tersebut. Tapi, kalau kota tercinta, Solo tetap jadi juara untuk Naim. Ingatan tentang Solo, kota tercintanya, tak akan pernah terhapus. Dan bicara tentang luar negeri yang jadi tempat tujuan impiannya saat kecil, Naim lebih menganggapnya sebagai tempat belajar, “Lebih ke bagaimana kita belajar dari bangsa-bangsa lain yang lebih maju dan menyadarkan bahwa Indonesia bisa jadi bangsa besar dan bermartabat asal semua rakyatnya berkontribusi secara positif.

Sibuk berkarier, bukan berarti menomorduakan keluarga…

Ketika diminta bercerita mengenai kehidupan asmaranya sampai memiliki satu anak, Elhurr, yang saat ini berumur 6 tahun, Naim sangat lancar bercerita. Baginya, keluarga tetap nomor satu dan jadi ibu rumah tangga adalah profesi mulia. Lalu, bagaimana dengan pendidikan tingginya, apa tak membuat pasangannya minder? “Perempuan harus percaya diri, apa yang bisa dilakukan laki-laki juga bisa dilakukan perempuan. Untuk perempuan karier seperti saya, cara termudah untuk menjaga keharmonisan keluarga dengan saling support karier satu sama lain. Yang merasa tertinggal silakan mengejar, sementara yang sudah di depan sedikit mengerem. Kadang, setengah bercanda saya bilang ke suami saya, kalau tidak mau istrinya sekolah lebih tinggi, satu-satunya pilihan adalah menyusul saya,” ungkap Naim sambil tertawa, “Akhirnya suami juga dapat beasiswa dari Arizona University. Kalau dicari hampir pasti dapat. Kami sama-sama suka menertawakan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tapi, pilihan menjadi ibu rumah tangga juga harus dianggap profesi mulia, lho. Membesarkan anak itu amanah yang tak mudah, kita harus terus memperpandai diri supaya anak-anak cerdas, dan harus lebih cerdas daripada orangtuanya. Elhurr contohnya, sekarang dia sedang belajar alat musik, piano dan biola, sebagai balas dendam ibunya yang hobi nonton teater dan mendengarkan musik tapi tidak bisa memainkannya. Elhurr, yang tepat hari ini wisuda TK, bahkan sudah masuk dalam kategori Gifted and Talented Student di Amerika!” Prestasi Elhurr tentu tak lepas dari hobi Naim yang menjadikan teater dan konser sebagai "tontonan wajib" keluarga. Cerita Naim antusias, "Teater dan konser, yang gratis maupun murah, sering sekali diadakan di Tucson dan pasti kita samber. Jangan sampai dilewatkan. Kalau yang mahal kadang-kadang saja."

5 dari 5 halaman

Next

Orangtua dan Indonesia, pengobat putus asa…

Prestasi-prestasi yang Naim dapatkan tidak dengan mudah ia capai. Ia pasti juga pernah ada di posisi tak tahu harus berbuat apa lagi, hampir putus asa. Kalau sudah begitu, orangtualah yang pertama ia ingat. Ia juga kembali mengingat bangsa Indonesia dan bagaimana besar keinginannya untuk berkontribusi meskipun kecil. Setelah itu ia akan kembali bersemangat. “Saya ini pernah tinggal di tempat-tempat ekstrem, seperti Gunung Tembagapura, pesisir Aceh yang panas, Tucson yang padang pasir. Jadi fisik dan mental sudah teruji.” Naim pun mengaku telat belajar bahasa Inggris, itu menjadi salah satu kendalanya. Karena berasal dari daerah, aksen Jawa-nya pun tak lagi bisa diubah ketika akhirnya ia lancar bicara bahasa Inggris. “Profesor saya menyebutnya Javanese accent!”

Ketika ditanya apa sudah punya rencana kembali ke Indonesia di tengah kesibukannya terus melakukan riset sembari mengurusi Elhurr, Naim menjawab cepat, “Saya inginnya pulang secepatnya.” Ia menambahkan sambil bercanda, “Bulan kemarin Mendikbud, Pak Nuh, berjanji akan memberikan posisi CPNS. Nanti saya lihat ditugaskan ke mana dulu, karena tak semua institusi di Indonesia menerima saya.” Terus berkontribusi untuk kemajuan bangsa kita, itu yang sepertinya Naim impikan. “Saya ingin melihat Indonesia maju di bidang riset dan teknologi, menjadi bangsa besar yang disegani di dunia ilmiah. Kita bangsa besar, tapi banyak yang belum sadar sehingga seringkali merendah!” ungkapnya menutup obrolan dengan tim FIMELA.com.