Perawan. Kalau membahas hal yang satu ini, dijamin nggak akan pernah ada ujungnya karena tiap person punya pandangan dan arti sendiri tentangnya. “Masih perawan artinya punya nilai jual tinggi,” ungkap Peggy, mahasiswi, 20 tahun. Sebaliknya dengan Susan, mahasiswi, 22 tahun, “Perawan cuma bonus, bukan keharusan.” Bagi Susan, keperawanan adalah pilihan, jadi tiap orang punya kebebasan untuk menentukan mau menjaganya atau nggak, “Percuma juga repot-repot jaga diri. Iya kalau laki-laki yang nanti jadi jodoh kita masih perjaka. Jarang banget kan sekarang. Lagipula keberhasilan hubungan nggak ditentukan oleh virginitas. Semua masalah hati plus saling pengertian dan kepercayaan.”
Menurut pandangan laki-laki sendiri? Mika, marketing, 23 tahun, mengatakan sambil tersenyum, “ Makin nggak perawan, makin gesit! Bukan, bukan terus yang dicari yang nggak perawan. Maksudnya buatku itu cuma masalah ‘status’. Yang paling penting cocok dan nyaman sama aku, keperawanan bukan lagi jadi hal yang penting, ah. Jangan munafik, kita semua butuh seks.”
Lain dengan Tommy, “Pacarku memang sudah nggak perawan. Waktu pertama kali dia bilang jujur aku sempat minta break, bahkan menyuruh dia operasi keperawanan karena jujur pikiranku masih konvensional dalam memandang keperawanan. Walaupun aku sendiri sudah nggak perjaka, buatku perempuan baik yang layak jadi pendampingku ya yang masih perawan. Sampai sekarang itu mimpiku, tapi kalau yang nanti jadi jodohku sebaliknya, mau apa lagi selain pasrah.”
Masih ingat tentang wacana tes keperawanan siswi SMA di Jambi beberapa waktu lalu? Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Neng Dara Affiah, itu justru bentuk politisasi tubuh untuk mencari perhatian masyarakat, tapi sangat merugikan perempuan. Baginya, menghakimi perempuan atas dasar keperawanannya nggak masuk akal. “Tidak ada jaminan, seorang yang tidak perawan berperilaku buruk. Seorang yang perawan juga bukan jaminan berperilaku tidak buruk,” ungkap Neng Dara. Ia menambahkan bahwa persoalan keperawanan yang masih diperbincangkan, bahkan jadi isu, merupakan cerminan masyarakat konservatif dan berwajah patriarki. Keperawanan adalah area privat, hak asasi, dan nggak layak dijadikan patokan atas apa pun, apalagi menghakimi perempuan atas pilihannya menjaga keperawanannya sampai menikah atau mau memberikannya pada orang yang sangat ia cintai, walaupun belum terikat dalam janji pernikahan. Ini pilihan, penting atau nggak mempertahankan keperawanan sepenuhnya jadi hak perempuan untuk menentukan sendiri, lepas dari penilaian masyarakat tentangnya.