Next
Menikmati Multiprofesi
Profesi sebagai pengajar, penulis, dan peneliti sangat dinikmati oleh Aimee Dawis, Ph. D., perempuan yang aktif sebagai dosen paruh waktu di Universitas Indonesia Depok. Sejak kepulangannya ke Indonesia pada 2003 untuk melakukan riset disertasinya di New York University, ia sudah diminta untuk menjadi pengajar di departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI. Setelah itu, ia juga dipercaya untuk mengajar cultural studies di Fakultas Ilmu Budaya UI, karena basis teori untuk ilmu tersebut belum ada di Indonesia. Masalah multikulturalisme memang menarik minatnya, khususnya tentang sinologi atau ilmu pengetahuan tentang bahasa dan kebudayaan Cina. Sebagai perempuan keturunan Tionghoa, ia banyak mengamati perkembangan kaum Tionghoa-Indonesia, khususnya pasca kerusuhan Mei 1998, yang meninggalkan bekas mendalam bagi mereka. Aimee juga kerap diminta menulis tentang perkembangan budaya Tionghoa di Indonesia setelah masa itu.
Mengenai kiprahnya untuk terjun lebih dalam menyelami budaya Cina, ia mengaku sudah mulai tertarik pada sinologi sejak mengambil kuliah sarjana di Amerika dulu. Setelah delapan tahun tinggal di Singapura sampai usia 18, ia melanjutkan pendidikan di Amerika. Saat itulah ia pertama kali berkenalan dengan orang Indonesia. Dan ketika berkenalan itu, ia merasa seperti mencari kembali identitas dirinya, dan menggali lebih dalam mengenai makna pribadinya sebagai orang Indonesia secara umum, dan sebagai orang Tionghoa-Indonesia secara khusus. Inilah yang kemudian membuatnya sangat concern terhadap kehidupan masyarakat Tionghoa-Indonesia. Kepeduliannya itu tertuang dalam skripsi sarjananya yang membahas tema pentingnya sejarah dan perekonomian masyarakat Cina-Indonesia. Disertasinya pun berhubungan dengan masalah itu, di mana ia menggabungkan bahasan skripsi tersebut dan tesisnya tentang televisi industri di Indonesia sebagai sistem sosial.
Buku sebagai Wujud Perhatian
Nggak hanya itu, perhatiannya kepada masyarakat Tionghoa-Indonesia juga ia wujudkan dalam sebuah buku. Buku pertama yang diterbitkannya adalah Orang Indonesia Mencari Identitas, yang dirilis pada April 2010. Mendapat banyak perhatian dari penikmat buku dari berbagai kalangan, buku ini termasuk ke dalam 100 buku terbaik karya anak negeri tahun 2010 versi Kompasiana. Dan tulisan Aimee nggak berhenti sampai di situ. Buku keduanya---masih berisi tentang kehidupan etnis Tionghoa-Indonesia---diluncurkan pada awal April lalu. Kali ini, subjek dalam bukunya lebih spesifik, yaitu perempuan. Berlabel Potret Inspiratif Tokoh Perempuan Tionghoa-Indonesia, buku yang ditulis dalam dua bahasa—Indonesia dan Inggris---ini menceritakan kisah-kisah inspiratif beberapa perempuan keturunan Tionghoa yang sukses berkiprah di bidangnya di Indonesia, mulai dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Dr. Mari Elka Pangestu, atlet bulutangkis Susi Susanti, pengusaha Hartati Murdaya, dan akademisi serta guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Profesor Melani Budianta. Yang disebut terakhir ini adalah salah satu orang yang menginspirasinya untuk menjadi pengajar di Indonesia.
What's On Fimela
powered by
Next
Perempuan Punya Kekuatan
Ketika ditanya, mana yang lebih ia sukai, antara mengajar, menulis, dan meneliti, Aimee menjawab bahwa kedua hal itu saling berkesinambungan. “Menulis nggak bisa dipisahkan dari mengajar, karena sebelum saya dapat mengajar, saya tentu harus menyiapkan materi penulisan yang kemudian saya gunakan dalam mengajar. Di samping itu, menulis juga nggak bisa lepas dari melakukan penelitian. Hasil penelitian itu juga bisa saya jadikan bahan untuk mengajar. Jadi, semuanya saling berkaitan,” kata Aimee panjang lebar, yang sudah mulai mengajar sewaktu kuliah di Amerika. Waktu itu ia mendapat beasiswa untuk teaching fellowship, di mana ia diberi keistimewaan untuk nggak membayar biaya kuliah, tapi menggantinya dengan mengajar di kampusnya tersebut. Dari situlah pengalaman mengajarnya dimulai. Sementara sebagai peneliti, ia kini sedang banyak melakukan riset untuk calon buku ketiganya, yang masih menitikberatkan pada kehidupan Tionghoa-Indonesia, tapi dengan bahasan yang lebih akademis.
Meski menyenangi profesinya sebagai pengajar, Aimee ternyata memutuskan untuk nggak menjalaninya penuh waktu. Alasannya, ia masih membutuhkan waktu cukup banyak untuk mengurus dan mendidik dua anaknya yang masih berusia delapan tahun dan 14 bulan, Putri, dan Hillary. “Mengikuti perkembangan anak-anak dan memenuhi segala kebutuhan mereka sangat menyita waktu saya. Dan saya ingin berkonsentrasi pada hal itu,” kata Aimee. Namun ia percaya bahwa perempuan punya kekuatan dan bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan. Menurutnya, selalu ada kesempatan bagi setiap perempuan untuk meraih cita-cita, jika ia mau bekerja keras. Ia mengutip pernyataan dari Profesor Melani Budianta mengenai perempuan Indonesia masa kini, bahwa mereka punya jauh lebih banyak kemudahan daripada perempuan di luar negeri. Di Indonesia, para perempuan karir mendapat support untuk mengurus keluarga mulai dari ibu, kakak, sampai pengasuh. Sementara di luar negeri, khususnya negara-negara barat, perempuan harus melakukan semua itu sendiri, sehingga kadang mereka merasa terbebani dan kemudian mengalami stres atau depresi. Jadi dengan segala kemudahan itu, tambah Aimee, seharusnya perempuan karir di sini lebih bisa survive dalam rumah tangga dan juga karir.
Secret of Happiness
Sayangnya, meski ada kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam karir, jumlah perempuan yang bertahan sampai puncak masa karirnya di atas usia 40 tahun sangat sedikit dibanding laki-laki. Penyebabnya adalah karena perempuan banyak yang terhambat dengan repotnya membagi waktu yang benar-benar imbang untuk keluarga. Belum lagi adanya berbagai tuntutan lain dalam keluarga itu sendiri, misalnya keharusan menjadi ibu penuh waktu bagi anak-anak, atau suami yang kurang mendukung mereka untuk berkarir. Meskipun support secara fisik sudah ada, namun tuntutan-tuntutan itu tetap membuat ruang gerak dan kreativitas mereka dalam karir menjadi terbatas. Untuk itu, menurut Aimee, perempuan perlu mempunyai me time, semacam form of escaping dari berbagai tuntutan tersebut, tanpa harus melarikan diri dalam arti yang sebenarnya. Untuk Aimee, hal itu ia peroleh melalui membaca, dan membaca ia anggap sebagai salah satu secret of happiness.
Next
“Ini juga yang terjadi pada perempuan-perempuan di sebuah kota kecil di Amerika. Ketika mereka merasa stres atau depressed karena segala tuntutan dan keharusan melakukan semuanya sendiri, mereka mendapat pelepasan untuk diri sendiri melalui membaca. Membaca membuat mereka lebih tenang, sehingga dapat mencegah mereka stres di kemudian hari,” cerita Aimee. Ia juga menambahkan, bahwa pada dasarnya perempuan bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan, asal punya kemauan yang kuat dan mau berusaha. Dan kemauan untuk maju dan berprestasi itu harus datang dari diri sendiri, agar kelak hasil yang dicapai pun terasa lebih nikmat. “Lagipula, jika dilihat dari statistik negara-negara berkembang, jumlah perempuan yang duduk di perguruan tinggi lebih banyak daripada laki-laki. Ini membuktikan bahwa perempuan memang pintar. Tinggal kemauan dan usahanya yang perlu diasah,” ungkap Aimee.
Pentingnya Toleransi dalam Kehidupan Multikultural
Mengenai perempuan keturunan Tionghoa di Indonesia, Aimee kini melihat banyak perkembangan baik mengenai kehidupan mereka maupun penerimaan masyarakat terhadap mereka. Ia juga selalu terinspirasi kehidupan sang nenek, yang menurutnya merupakan gambaran perempuan Tionghoa sejati. “Karena hidup sejak tahun 1965, dan sempat mengalami masa kerusuhan Mei 1998, beliau seperti telah melalui berbagai zaman. Beliau juga menikah di usia yang sangat dini, dan mengabdikan sepenuh hidupnya hanya untuk keluarga,” cerita Aimee. Namun setelah 1998, banyak sekali kesempatan terbuka untuk perempuan Tionghoa-Indonesia. Mereka sukses berkarir nggak hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk tanah tempat mereka tinggal kini. Seperti sudah dijelaskan di atas, beberapa contoh cerita perempuan sukses itu ada dalam buku keduanya. Buku itu sekaligus ia tulis untuk memutuskan stereotip negatif tertentu tentang kaum Tionghoa di negeri ini.
Saat ditanya apakah ada keinginan atau rencananya yang belum terwujud sampai saat ini, Aimee menjawab bahwa ia ingin memajukan dan menyamaratakan persepsi masyarakat umum terhadap penduduk Tionghoa di Indonesia. Menurutnya, penerapan toleransi dan makna kehidupan multikultural sangat penting, khususnya untuk generasi muda. Ia mendukung adanya pendidikan toleransi nggak hanya di lingkungan keluarga, tapi juga di sekolah, agar anak-anak lebih menghargai budaya dan bangsa sendiri, tapi juga bisa menerima perbedaan yang ada sebagai sesuatu yang membuat bangsa itu indah. “Kalau banyak orang asing yang terpesona pada keindahan alam Indonesia, dan mereka merasa bangga bisa menjelajahinya, kenapa kita nggak?” kata Aimee menutup pembicaraan dengan FIMELA.com.