Next
Prita Laura, pembaca berita Metro TV dan mantan presenter acara traveling di stasiun televisi yang sama, menikahi Marthin Saba, anggota grup vokal KSP Band, untuk sebuah alasan. Di sisi lain, Marthin yang lahir dari keluarga seniman dan religius, menemukan Prita sebagai pendamping hidupnya dengan cara yang nggak biasa. Mengaku bahwa mereka adalah dua individu yang selalu jatuh setiap harinya, inilah penuturan Prita dan Marthin tentang perjalanan cinta mereka yang kini mereka bisa sebut sebagai “happy ending”.
Keberadaannya penting untuk saya...
Prita: Kami berangkat dari titik yang sangat berbeda. Saya adalah perempuan yang berkali-kali patah hati, sementara Marthin sama sekali, benar-benar, murni melajang, nggak pernah berpacaran sekalipun. Saya adalah yang pertama dan terakhir untuknya. Pengalaman patah hati memang jadi proses pendewasaan saya, tapi nggak bisa dipungkiri saya harus berurusan dengan banyak hal, seperti rasa patah hati, trauma, ketakutan, dari hubungan terdahulu, dan itu terbawa dalam pembelajaran hubungan kami. Di sisi lain, Marthin bagaikan kertas putih bersih yang nggak punya pengalaman apa-apa dalam soal asmara, sehingga dia bisa mencintai saya dengan sangat tulus dan saya bisa membuka hati saya tanpa rasa takut akan disakiti.
Marthin: Saya menyebut ini sebagai destiny yang memang sudah direncanakan oleh Tuhan.Kenal dengannya saat ia masih milik orang lain, lalu menunggu hatinya akhirnya mau terbuka untuk saya, adalah perjalanan rollercoaster yang memang hanya bisa diserahkan kepada Tuhan akhirnya bagaimana.
Kami punya sebuah janji untuk terus berubah
Marthin: Pernikahan akan sulit bila masing-masing pihak nggak mau berubah. Padahal, kemauan untuk berubah dan mengerti pasangan itu penting banget. Saya merasakan sendiri bagaimana asyiknya pernikahan kami yang bisa saling bertukar dunia. Saya yang anak rumahan banget mencoba diving, rafting, naik gunung, dan lain-lain. Sementara, Prita jadi lebih family oriented dan berteman juga dengan teman-teman saya. Perubahan nggak harus selalu dianggap pengorbanan, karena siapa yang tahu kalau dengan berubah saya bisa menjadi orang yang lebih baik dan punya wawasan yang lebih luas lagi. Berubah ini bukan memaksakan berganti kepribadian atau kebiasaan, let it flows aja, yang penting kemauannya ada dulu.
Prita: Sebelum kami menikah memang punya satu janji yang dituangkan menjadi sebuah puisi dalam sekeping CD yang menjadi suvenir pernikahan kami. Janji itu intinya adalah kami biarkan Tuhan mengubah kami menjadi pasangan yang terbaik untuk satu sama lain. Kami sudah berjanji untuk nggak pakai kacamata kuda bertahan seperti ini terus, kami masing-masing ingin berubah supaya semakin hari pernikahan ini semakin asyik. Saya bisa bilang, saya malah jatuh cinta dengan Marthin yang sekarang daripada yang dulu, sehingga membuat saya berpikir kok saya bisa suka dengan Marthin yang dulu yang kurang menarik. Ternyata, Marthin punya pikiran yang sama hahaha...
What's On Fimela
powered by
Next
Akhirnya kami saling menemukan...
Prita: Dengan akal logis, saya menganggap bahwa jalan cerita cinta layaknya di film romantis nggak akan mungkin terjadi di kehidupan nyata. Berapa persen kemungkinan untuk mendapatkan suami yang penampilannya cukup menarik tapi bisa dengan tulus mencintai saya?
Marthin: Ya, berapa persen juga di zaman semodern ini yang punya semacam “indera keenam” tentang seorang yang menjadi pasangan hidup mereka? Saya sering dibilang laki-laki abnormal oleh banyak orang karena mendapatkan visi tentang pasangan hidup saya sejak saya duduk di bangku SMP dan mempercayai itu sampai dewasa. Dengan profesi saya sebagai penyanyi, banyak perempuan yang mendekati atau saya mencoba mengenal perempuan, tapi pasti hati kecil berkata itu bukan pasangan hidup saya. Saya bahkan sampai dikira pencinta sesama jenis karena nggak pernah sama sekali terlihat berpacaran dengan perempuan. Tapi, begitu bertemu dengan Prita di acara tahun saya tanggal 4 April 2004 lalu, sosoknya yang kucel, hitam karena baru pulang dari Bali, dan jauh dari bayangan saya tentang pendamping hidup, malah menempel terus di ingatan, membuat detak jantung saya berdetak cepat, dan akhirnya melakukan sesuatu yang belum pernah saya alami seumur hidup, yaitu mencintai seorang perempuan.
Banyak tanggal untuk diingat
Marthin: Tiap pasangan punya caranya masing-masing untuk merayakan momen-momen penting dalam hubungannya. Dalam hubungan kami, ada beberapa tanggal yang perlu diingat, salah satunya adalah “open your heart day”, yaitu tanggal akhirnya Prita mau membuka hatinya untuk saya setelah dua tahun saya dekati, tanggal dimana Prita akhirnya mau menjadi istri saya setahun setelah dia membuka hatinya, atau 7-7-07 tanggal pernikahan kami. Dari perjalanan cinta kami ini, kami yakin bahwa kami adalah pasangan sehidup semati. Bukan hanya saat hidup kami bersama, tapi juga nanti saat kami meninggal dunia. Itu adalah janji saya ke Prita.
Prita: Marthin memang sosok laki-laki romantis yang secara detail mengingat dan mencatat tanggal-tanggal penting dalam hubungan kami, sementara saya adalah orang yang pelupa. Ponsel saya baru saja rusak dan data penting di dalamnya hilang semua, sehingga suatu hari saat dia datang membawakan bunga untuk sebuah momen penting kami, saya nggak ingat apa-apa dan malah menebak-nebak ini untuk merayakan apa. Untungnya Marthin nggak mempersalahkan soal ini karena saya bukan dengan sengaja lupa.
Next
Dia pasangan yang ideal untuk saya
Marthin: Berbicara tentang kriteria ideal berurusan dengan ekspektasi. Dulu saya memang punya ekspektasi tentang perempuan yang jadi pasangan hidup saya seperti apa, namun ketika dipilihkan Prita oleh-Nya, kriteria ideal menurut saya sudah nggak penting lagi. Prita sangat ideal untuk saya, kami punya keyakinan yang sama tentang Tuhan, berprinsip yang sama tentang banyak hal -salah satunya adalah menjaga kesakralan malam pertama- dan cantiknya luar biasa.
Prita: Kalau dulu ditanya pasangan ideal, saya menjawabnya asal bukan musisi, karena saya dibesarkan dalam keluarga akademisi yang kaku dan menurut saya bidang seni itu nggak jelas. Namun, setelah kini menjalani pernikahan yang bahagia dengan seorang musisi, saya bisa bilang bahwa ukuran ideal itu bisa berubah seiring dengan berubahnya sudut pandang berpikir. Dalam menemukan pasangan bukan terpatok pada ideal, tapi hal-hal mendasar yang menjadi pilar utama untuk sebuah hubungan, seperti ketulusan, kemampuan memberikan rasa aman, nyaman, dan lain-lain. Justru dari sosok musisi seperti dia, kualitas hubungan saya dengan orang tua saya yang kaku dan cuek, malah membaik setelah dia ada. Orang tua saya jadi sangat ikhlas untuk melepaskan anak perempuannya ke Marthin karena justru setelah dinikahinya, anak perempuannya nggak dibawa pergi, justru semakin dekat. Hal-hal fundamental seperti itulah yang terkadang kabur dengan “harapan aksesori” ketika mencari pasangan.
Sebelum wawancara berakhir, Prita dan Marthin menyelipkan harapan tak terputus untuk pernikahan mereka, yaitu kehadiran buah hati. Kondisi imunitas Prita yang terlalu tinggi, sedikit menghambat perjalanan mereka untuk menjadi orang tua dan kini sedang dalam proses terapi untuk mengatasi masalah itu. Namun, itu sama sekali nggak mengurangi kebahagiaan mereka, karena ukuran kebahagiaan bukanlah ditentukan dari satu hal saja. “Saya menemukan Prita dan dia menemukan saya adalah sebuah anugerah terindah,” ujar Marthin.