Fenomena Wajah Komersialisme Indonesia

Fimela Editor diperbarui 15 Mei 2012, 04:00 WIB
2 dari 3 halaman

Next

Hidup Shandy Aulia tidak pernah sama lagi ketika pada tahun 2002 ia terpilih untuk menjadi bintang iklan produk deodorant. Seorang agency tertarik melihat sosok Shandy ketika ia tengah jalan-jalan di mal Blok M. Sang agency menawari Shandy untuk ikut casting Rexona, dan tanpa persiapan khusus serta mengandalkan bergaya seperti diri sendiri, dari tiga kandidat, Shandy akhirnya yang dikontrak oleh mereka. Wajah baru dan kepolosannya, lalu mengantarkannya ke bidang karier yang lain, yaitu aktris film dan sinetron yang laris.Perlu dicatat, semua itu hanya berawal dari sebuah bintang iklan.

Lain lagi dengan Donna Agnesia dan Darius Sinathrya. Image baik mereka sebagai pasangan suami istri selebriti, mengantarkan mereka sebagai brand ambassasor sebuah minuman sari buah. Kepercayaan yang diberikan kepada mereka, menjadi pembuktian bahwa kehidupan sehari-hari mereka yang terlihat harmonis dan jauh dari pemberitaan negatif, menjadi nilai plus untuk pemilihan mereka sebagai wakil sebuah produk komersil, dimana nggak bisa dipungkiri, masyarakat memang menyukai gambaran kehidupan harmonis dari figur publik yang mereka senangi.

“Nggak mudah untuk seseorang dipercaya menjadi brand ambassador sebuah produk atau merk tertentu,” aku Darius, yang membintangi beberapa iklan untuk kategori produk berbeda.

“Nggak mudah untuk seseorang dipercaya menjadi brand ambassador sebuah produk atau merk tertentu,"

Kenapa nggak mudah untuk mendapatkan kepercayaan sebagai brand ambassador sebuah merk? Karena, menurut Arya Bahupringga, brand manager dari Buavita, Unilever Indonesia, mencari dan menemukan figur yang cocok untuk merepresentasikan sebuah produk, ibarat mengadakan casting sebuah film, karena bukan hanya dari segi produknya yang ingin ditonjolkan, namun harus selaras dengan kepribadian dan gaya hidup sehari-hari figur terkait.

“Pihak manufaktur yang ingin mencari figur tepat untuk sebuah produk, selalu mengadakan seleksi cukup ketat. Setiap brand punya hal inti yang ingin ditonjolkan dan ingin hal tersebut bisa diwakili oleh seorang figur yang cocok. Biasanya kami menentukan short listed candidates, meneliti portfolio-nya, lalu mengadakan one on one interview untuk mengetahui kebiasaan sehari-hari sang figur terkait dan mencari tahu kecocokan dia untuk menjadi wakil suatu brand tertentu. Hal ini tidak berbeda jauh dengan casting untuk proyek film,” jelas Arya.

What's On Fimela
3 dari 3 halaman

Next

 

Ibaratnya sebuah proyek film yang nggak selalu memasang nama-nama aktor besar sebagai pemeran utama, pencarian brand ambassador juga nggak selalu mematok selebriti populer, karena produk komersil ingin lebih terkait dengan konsumennya.

“Pemilihan brand ambassador nggak terpatok pada popularitas, tapi tergantung dari kriteria produknya seperti apa. Seperti Raisa, dia mungkin nggak setenar Agnes Monica yang menjadi bintang iklan shampo Clear, tapi dia tetap punya kesempatan yang sama untuk menjadi bintang iklan Sunsilk. Karena, apa yang Raisa wakilkan sebagai seorang individu adalah yang dicari dari Sunsilk sebagai sebuah produk. Masalah pemilihan brand ambassador sangat tidak terpaku pada popularitas,” jelas Arya, mengambil contoh kasus pemilihan Shandy saat ia terpilih menjadi bintang iklan Rexona.

Lalu, adakah istilah anak emas atau kompetisi ketat antarmanufaktur untuk mendapatkan seorang figur tertentu? Seperti Darius yang dipercaya untuk menjadi brand ambassador Buavita dan Vaseline Men yang notabene berada dalam satu naungan perusahaan yang sama.

“Istilah anak emas untuk satu dua selebriti itu nggak ada, karena semua sama-sama mewakilkan produk di bawah naungan yang sama. Sama halnya dengan selebriti yang menjadi ambassador untuk dua produk sekaligus, seperti Darius yang menjadi representatif Buavita dan Vaseline Men. Darius bisa terpilih karena setiap divisi brand melihatnya dari perspektif yang berbeda. Itu hanya sebuah kebetulan dimana apa yang dicari oleh dua brand dari jenis produk yang berbeda, dimiliki oleh Darius”, jelasnya. “Tapi, berlomba-lomba mencari figur yang tepat itu benar, karena figur publik banyak, tapi figur publik yang tepat untuk berbagai merk produk di Indonesia sedikit. Memang ada kompetisi ketat antara manufaktur yang satu dengan lainnya untuk mendapatkan satu figur publik tertentu, tapi tetap sebuah kompetisi yang sehat dan sportif,” lanjutnya.

"Figur publik banyak, tapi figur publik yang tepat untuk berbagai merk produk di Indonesia sedikit".

Bagaimana dari sisi selebriti yang didekati sebuah produk untuk menjadi bintang iklan?

“Saya yang pasti harus cocok dan mengenali produknya, karena nggak ingin asal-asalan mengiyakan setiap tawaran untuk menjdi bintang iklan bila kedua kriteria itu nggak terpenuhi. Menjadi representatif sebuah merk tandanya juga harus menjaga image dan tingkah laku saya di lingkungan sosial agar nggak bertentangan dengan produk yang diwakili,” urai Donna yang tahun ini berpasangan dengan suaminya, Darius, untuk membintangi iklan Buavita.