Kebebasan Berpendapat, Hak Asasi dengan Pengecualian

Fimela Editor diperbarui 14 Mei 2012, 07:59 WIB
2 dari 3 halaman

Next

Ketua Jamaah Shalahuddin (JS), Arif Nurhayanto, menjelaskan jika pihaknya sudah mengkaji latar belakang Irshad Manji sebagai seorang aktivis feminisme liberal yang mengaku muslim dan lesbian. Karena itulah 3 poin dijadikan alasan untuk menolak kedatangan Irshad: Ia dianggap menodai ajaran agama Islam dan melecehkan Nabi Muhammad SAW, tokoh biseksual yang seakan hendak membawa Islam menghalalkan gay dan lesbian, serta dapat menimbulkan dampak negatif terhadap pemikiran dan tingkah laku masyarakat. 

Larangan diskusi atas dasar apa? Apa kelayakan diskusi saat ini juga dinilai dari latar belakang seseorang? Padahal, diskusi yang diadakan sama sekali tidak menyinggung latar belakang Irshad yang seorang lesbian, apalagi menyebarkan paham gay dan lesbian, seperti yang salah satu ormas tudingkan. Larangan diskusi, apa pantas hanya karena Irshad seorang lesbian? Sepertinya terlalu jauh, dan sangat tidak layak pembubaran dengan ancaman dan kekerasan.

Irshad Manji adalah perempuan muslim asal Kanada. Ia memang memiliki banyak “label”, dari seorang aktivis, penjuang feminis, intelektual Muslim, sampai penganjur lesbianisme. Lepas dari semua labelnya, buku Allah, Liberty and Love karyanya sudah diterbitkan, menyusul karya lainnya. Dan demi mengenalkan pandangannya pada masyarakat, Irshad berkeliling dari satu negara ke negara lainnya mengadakan diskusi, dan Indonesia adalah salah satu tempat tujuannya.

Irshad memang terkenal tidak mudah menyerah. Penolakan terhadap dirinya juga terjadi di berbagai negara. Sadar ia tidak bisa dengan leluasa menyebarkan bukunya, Irshad masih terus mengirimkan tulisannya ke website yang bisa diakses secara bebas dan gratis. Keberaniannya itu menghasilkan sejumlah penghargaan, di antaranya Chutzpah Award atas keberanian, tekad, ketegasan, dan keyakinannya dari Opraf Winfrey, penobatannya sebagai Feminis Abad 21 oleh Majalah Ms, dan Honor Roll sebagai Orang Kanada yang Sangat Berpengaruh. Pada Hari Perempuan Internasional tahun 2005 pun Irshad Manji masuk sebagai satu dari tiga muslimah yang mampu menciptakan perubahan positif dalam Islam versi The Jakarta Post.

What's On Fimela
3 dari 3 halaman

Next

Saat diselenggarakan di Salihara, Jakarta, sekelompok massa membubarkan paksa diskusi yang baru berjalan itu. Tidak menyerah, Irshad kembali mengatur jadwal diskusi di daerah lain setelah diskusi di AJI berlangsung sukses. Di Solo misalnya. Lagi-lagi ormas tertentu membatalkannya dengan sejumlah ancaman. Jejer Wadon, Jaringan organisasi perempuan Kota Solo, mengaku sempat merasa tertekan dengan sejumlah teror terkait pembatalan diskusi di Solo. Menurut Elis, perwakilan Jejer Wadon, membatalkan diskusi memang jadi solusi terbaik, tapi bukan berarti pihaknya mengalah dan mau dikontrol oleh pihak tertentu. “Ini merupakan tantangan di era pluralisme. Tentu berbeda dengan Orde Baru dulu yang didominasi oleh pelarangan paham-paham subversif,” lanjutnya.

Akhirnya di Yogyakarta sejumlah agenda dibuat lagi, seolah Irshad masih penasaran kenapa ia begitu ditentang di Indonesia, negara yang menurutnya cukup berpikiran terbuka, sangat bertoleransi, dan sangat ramah. Terjadilah lagi. Acara diskusi yang sedianya dilaksanakan 9 Mei lalu di Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, dibatalkan. Alasannya? “UGM menjunjung tinggi kebebasan akademik di lingkungan UGM dengan menyelenggarakan dan memfasilitasi berbagai diskusi dengan berbagai tema. UGM juga tidak pernah melarang kedatangan Irshad Manji," jelas Wijayanti, Kepala Bidang Humas, UGM, “UGM mempertimbangkan hal ini sebagai upaya dalam menjaga keamanan tamu, warga kampus, dan mitra kerja.” Penjelasan itu datang setelah muncul pro dan kontra terkait keputusan UGM, sehari setelah ratusan massa datang, meminta diskusi Irshad dibatalkan.

Masih satu atap di UGM, Zainal Abidin Bagir selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Program Studi Agama dan Lintas Budaya, justru menyayangkan keputusan itu, “Kalau berbicara saja tidak bisa, maka ruang diskusi untuk mau menerima pendapat tertutup. Tidak adanya ruang untuk menerima pendapat ini isu yang sangat mengkhawatirkan. Kemungkinan pertukaran pendapat ditutup sebelum dilakukan.” Zainal melanjutkan, “Secara bertahap, kita belajar bahwa ancaman dan kekerasan adalah alat efektif untuk memecahkan masalah. Ketika korban kekerasan justru menjadi terdakwa dan dihukum; ketika media secara rutin menyajikan potret kekerasan yang dibiarkan dan tak ditindak; ketika ancaman sudah cukup untuk membuat penegak hukum bertindak—tidak dengan menindak si pengancam tapi justru target yang diancam—maka tak mengherankan jika ancaman kekerasan menjadi pilihan yang makin populer.”

Bukan lantaran Irshad Manji perempuan, lalu kita merasa kebebasan dan hak perempuan “diganggu”. Ini bisa terjadi pada siapapun, termasuk laki-laki. Yang mesti disesalkan adalah tindakan premanisme yang seolah menjadi penentu legal atau tidaknya sebuah kebebasan, bukan lagi merujuk pada aturan, bahkan undang-undang. Apa sekarang hak dan kewajiban sepenuhnya diatur oleh premanisme? Dan, paham merekalah yang mesti jadi patokan kebenaran? Kalau begitu, apa arti kebebasan berpendapat?