Next
Farhan, seorang MC dan juga presenter kondang Indonesia, dikaruniai seorang anak yang menyandang autistik. Ditemui di sela-sela acara ‘Walk for Autism’, Farhan bercerita banyak tentang anaknya yang menyandang autis, Rizky, yang kini sudah memasuki usia 13 tahun.
Sebenarnya apa yang membedakan dalam merawat anak penyandang autis dengan anak normal? “Tidak ada yang berbeda dalam merawat kedua anak saya ini. Saat sudah memasuki usia remaja, keduanya pun sama-sama menyebalkan. Yang jelas yang membedakan dalam merawat anak penyandang autistik dengan anak biasa adalah masalah metode dalam menghadapi mereka. Saat menghadapi anak autis, saya harus melakukan pendekatan secara sistemik dan terencana. Kita tidak bisa melakukan sesuatu secara mendadak pada anak autis, semua harus terencana dan dipersiapkan secara matang,” Farhan berbagi pada tim FIMELA.com sambil tertawa ringan.
Sebagai orangtua, Farhan tidak pernah memberikan perlakuan berbeda pada kedua anaknya. Menurut Farhan, anak penyandang autistik sebenarnya sama dengan anak-anak lainnya hanya saja mereka tidak memunyai rasa empati yang biasanya ada dalam setiap individu. “Saya senang dengan acara seperti ini (‘Walk for Autism’) karena melalui acara-acara seperti ini mereka bisa membangun rasa empati mereka terhadap sesama. Karena sebenarnya yang membedakan kita dengan mereka (para penyandang autis) hanyalah proporsi otak. Otak mereka sangatlah sistematik dan tidak memiliki rasa empati sehingga mereka mengalami masalah dengan komunikasi. Terapi untuk membangun rasa empati inilah yang harus terus kita lakukan sejak dini hingga seterusnya,” ujar Farhan.
“Saya selalu mengatakan pada Rizky bahwa dia dan adiknya memunyai hak dan kewajiban yang sama. Saya sering mengatakan pada dia bagaimanapun kondisi kita, pasti akan ada kemungkinan untuk orang selalu berbuat jahat pada kita. Jadi, saya selalu menekankan pada Rizky untuk berbuat baik pada semua orang jika tidak ingin diperlakukan buruk oleh orang lain,” Farhan kembali berbagi. Farhan mengaku tidak memperlakukan Rizky secara khusus karena dia menginginkan anaknya tidak merasa berbeda dengan anak lain.
Saat ini hampir sebagian besar masyarakat sudah awas dan bisa menerima kehadiran para penyandang autis. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa masih ada segelintir orang yang menjadikan autis sebagai bahan lelucon. "Jujur, saya bukanlah orangtua yang mempermasalahkan jika 'autis' dibuat sebagai lelucon. Tapi, memang isu ini sangat sensitif dan sebaiknya memang orang tidak menggunakan 'autis' sebagai bahan lelucon karena belum semua orangtua yang memiliki anak penyandang autis bisa menerimanya," Farhan berpendapat.
Next
Salah adalah ketika ada orang yang meremehkan dan memandang sebelah mata para penyandang autistik karena sebenarnya penyandang autistik memiliki kecerdasan yang luar biasa, misalnya saja Oscar. Laki-laki pemilik nama Oscar Yura Dompas ini adalah salah satu penyandang autistik yang memperoleh double degree untuk pendidikan S-1.
Sebagai penyandang autis, Oscar sama sekali tidak lantas kehilangan harapan untuk menentukan masa depannya. Pada tahun 2000, usai menyelesaikan pendidikannya di Australia, Oscar masuk ke sebuah perguruan tinggi swasta ternama di Jakarta untuk kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Selain kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Oscar juga menelurkan sebuah buku berbahasa Inggris yang diberi judul Autistic Journey dan The Life of the Autistic Kid Who Never Gives Up.
Ternyata, pemilihan Oscar pada jurusan yang ia tempuh ini pun sudah melalui pemikiran yang cukup panjang untuk menentukan langkah hidupnya ke depan. “Saya mengambil jurusan ini di Indonesia karena saya memang berencana ingin bekerja di luar negeri nantinya. Jadi, saya harus mengambil jurusan yang bisa mendukung saya bekerja nanti. Tentunya saya memilih jurusan ini juga atas dasar diskusi dengan orangtua,” ujar Oscar pada tim FIMELA.com usai menjadi pembicara di talkshow ‘Walk for Autism’.
Usai menyelesaikan pendidikan S-1 di Jakarta, Oscar pun sempat beberapa bulan bekerja di perusahaan ayahnya sebelum akhirnya terbang ke Singapura. Di Singapura, Oscar kembali ke bangku kuliah dan mengambil program S-1 di Nanyang University, Singapura. Kali ini Oscar mengambil jurusan Management Hotel and Hospitality.
“Kenapa saya memilih Singapura? Karena Singapura adalah negara terdekat dari Indonesia, saya ataupun orangtua bisa sering mengunjungi kapanpun saat kami ingin bertemu. Dan mengapa saya mengambil jurusan tersebut di Nanyang, karena saat ini jurusan Management Hotel and Hospitality adalah salah satu tengah berkembang di semua negara,” Oscar kembali bercerita dengan serius.
Di tengah derasnya arus persaingan kerja dan kondisi pemerintahan Singappura yang juga tidak stabil, Oscar tetap optimis bisa mendapatkan pekerjaan di Singapura usai ia mendapatkan ijasah S-1 dari Nanyang University pada bulan September nanti. Hm, semangat dan optimistik yang harus ditiru, bukan?
Next
Valencia Mieke Randa: “Penerimaan adalah kunci agar anak autis tumbuh optimal.”
Mendengar nama Valencia, mungkin tidak banyak orang yang tahu dengan sosok ini. Tapi, ternyata perempuan yang satu ini adalah salah satu perempuan aktif yang bergerak dalam berbagai kegiatan sosial, salah satunya adalah Komunitas Blood for Life. Perempuan yang akrab disapa Silly ini juga dikaruniai seorang anak autistik.
Sama seperti Farhan yang tidak pernah membeda-bedakan memperlakukan anak yang satu dengan anak lainnya, Silly pun tidak pernah memberikan perlakuan khusus pada anaknya yang menyandang autis. “Saya memperlakukan Andree sama saja dengan memperlakukan anak-anak lainnya. Bedanya, mungkin dengan Andree saya lebih aware dan peka karena dia cenderung suka mencelakai dirinya sendiri. Saya tidak pernah memberi tahu Andree bahwa dia autistik. Saat dia bertanya ‘Apakah saya autis?’ Saya selalu jawab, ‘Tidak, kamu hanya berbeda dengan anak-anak lain dan dengan terapi yang kita jalani, semuanya akan baik-baik saja.’ Kuncinya adalah penerimaan, ketika anak autis merasa mereka diterima dengan segala keberadaan mereka, dan tidak dipaksa untuk menjadi senormal anak lainnya maka mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang optimal dan nyaman dengan dirinya sendiri. Ketika mereka sudah nyaman, kita bisa dengan mudah mengembangkan potensi yang ada pada diri tiap individu autistik,” Silly kembali bercerita.
Memunyai seorang anak berkebutuhan khusus tidak lantas membuat Silly sepenuhnya mengarahkan dan mengatur hidup Andree. Seperti memperlakukan anak-anaknya yang lain, Silly pun memberi kebebasan kepada Andree untuk bisa menjadi apapun yang dia inginkan kelak. “Saya tidak pernah menentukan target Andree harus menjadi apa nantinya. Saya ingin Andree tumbuh nyaman menjadi dirinya sendiri, melakukan apa yang dia suka, and be expert on that. Saya hanya membantu mencari ke mana arah minatnya supaya Andree bisa fokus pada satu bidang yang ia sukai,” ujarnya lagi.
Next
Santi Mia Sipadan: “Anugerah anak autistik membuat saya mengerti tentang hidup.”
Tidak semua orangtua bisa langsung berbesar hati menerima kenyataan saat mereka dikaruniai seorang anak autis. Adalah seorang pengusaha kebun jati, Santi Mia Sipan, salah satu orangtua yang awalnya tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia dikaruniai seorang anak autis. “Jujur saja, saat mendapati kenyataan bahwa anak saya menyandang autis, saya tidak bisa menerimanya. Saya terus bertanya-tanya kenapa Tuhan menguji saya dengan anugerah anak autis. Selama 12 tahun saya hidup dalam tanda tanya sampai akhirnya saya berdialog dengan Tuhan dan bisa menerima semuanya,” Santi bercerita tentang anak perempuannya yang menyandang autis.
Dua belas tahun mempertanyakan tentang kondisi anaknya, tentu bukanlah waktu yang singkat. Dengan jalan yang cukup panjang, akhirnya Santi bisa menerima dengan ikhlas kondisi putrinya tersebut. “Jika Tuhan tidak memberikan anugerah saya seorang anak autistik maka bisa jadi saya akan tetap menjadi seorang anak bungsu manja yang menyebalkan. Melalui puteri saya yang autis saya banyak mengerti tentang arti hidup. Pada satu titik saya pun berhenti dan benar-benar berserah pada Tuhan dan memberikan yang terbaik untuk puteri saya. Alhamdulillah, saat ini puteri saya sudah bisa mandiri, menjadi asisten guru, dan bisa mengurusi diri sendiri, walaupun semuanya tetap dalam pengawasan saya,” ujar Santi menutup pembicaraan.