Betulkah, Rata-rata Gaji Perempuan Lebih Kecil dari Laki-laki?

Fimela Editor diperbarui 09 Mei 2012, 08:59 WIB
2 dari 4 halaman

Next

Dengan tingkat pendidikan dan pengalaman yang sama, gaji yang diterima perempuan Indonesia rata-rata 81% dari yang laki-laki terima. Selain itu, gaji kecil juga akibat pekerjaan yang dipilih 38% perempuan adalah layanan sipil, seperti mengajar dan mengasuh, berbeda dengan pekerjaan lain yang sudah didominasi laki-laki.

Baru-baru ini, ahli strategis GOP (Grand Old Party) membantah anggapan bahwa perempuan berpenghasilan lebih kecil dibandingkan laki-laki. Alex Castellanos, ahli strategis Partai Republik, mencoba menjelaskannya. Ia memberi contoh, misalnya laki-laki bekerja sekitar 44 jam seminggu, sementara perempuan hanya bekerja 41 jam. Laki-laki lebih memilih pekerjaan di bidang teknik, sains, dan matematika yang membutuhkan pemikiran ekstra, sementara perempuan lebih fleksibel dan santai. Semua itu menjadikan standar gaji perempuan sekitar 23% lebih kecil dari jumlah yang laki-laki terima.

“Siapa bilang kontribusi perempuan di perusahaan lebih kecil dibandingkan laki-laki? Sudah lihat sistem kerja di majalah perempuan? Kamu akan temukan keadaan yang sebaliknya. Karyawan yang mayoritas perempuan nggak cuma bekerja saat jam kantor. Reporter dan editor, misalnya, mesti liputan ke sana-sini tanpa batasan jam. Nggak jarang juga masih harus kejar deadline dan lembur tiap hari. Kalau begitu, apa jam kerja, kinerja, dan kontribusi pada perusahaan masih bisa dijadikan alasan?” Rina, 34 tahun, berkomentar.

Firah, 27 tahun, menambahkan, “Kalau masalah pendidikan jadi alasan perbedaan gaji rasanya juga nggak masuk akal. Sekarang banyak banget perempuan yang lebih eksis dan kritis dibandingkan laki-laki. Kalau mau sama-sama dipukul rata, dilihat dari ketekunan dan kerapiannya, perempuan lebih unggul. Tapi bukan begitu juga kan, cara membandingkannya. Karyawan dengan jabatan sama, porsi pekerjaan sama, seharusnya juga berpenghasilan sama, lepas dari keahlian mereka yang berbeda-beda. Semua tergantung pribadi masing-masing, nggak bisa disamakan semua laki-laki berpengetahuan dan berdedikasi lebih pada perusahaan ketimbang perempuan. Mana adil!”

3 dari 4 halaman

Next

Melihat hal ini, perencana keuangan Ahmad Gozali mencoba melogikakannya, “Perempuan biasanya mendapatkan gaji yang lebih kecil dibandingkan laki-laki untuk posisi yang sama. Ini memang sudah lumrah di negara mana pun. Wajar saja karena laki-laki mendapat tunjangan keluarga, gaji yang dibawa pulang untuk seluruh keluarga. Sedangkan perempuan tidak mendapatkan tunjangan keluarga, gajinya hanya sebagai tambahan dan dianggap tidak menghidupi anggota keluarga lain.”

Lain halnya dengan Ahmad, Sutomo Paguci, seorang advokat, justru mempertanyakan kebijakan penggajian tersebut. Gaji perempuan akan tetap lebih rendah ketimbang laki-laki, sekalipun posisinya sebagai “kepala keluarga”—entah karena suami nggak bekerja, menjadi janda, atau semua anggota keluarga menganggur. Gaji perempuan yang sudah menikah pun disamakan dengan perempuan lajang, sementara pekerja pria yang menikah nggak diperlakukan seperti pria lajang. Apa ini bukan kebijakan yang aneh?

Sutomo menambahkan bahwa bentuk diskriminasi lainnya juga dialami perempuan, dan sebenarnya hal itu merupakan wujud lain dari eksploitasi. Salah satunya, nilai kerja perempuan lebih pada tubuh, bukan kinerja. Sangat umum kita melihat perempuan cantik menempati posisi teller bank, customer service, front office, pramugari, penyiar TV, atau SPG. Sementara posisi inti dan jabatan penting masih dipegang laki-laki. Inilah hukum kebiasaan dalam dunia kerja, karena nggak ada perundangan tertulis yang mengharuskan demikian.

4 dari 4 halaman

Next

Lepas dari pro-kontra kesenjangan gaji dan kesempatan kerja antargender yang nggak pernah berakhir itu, untuk membuktikan pernyataan Kazutoshi tentang semakin kecilnya perusahaan di Indonesia yang memberlakukan kebijakan standar gaji berdasarkan gender, tim FIMELA.com mencoba mewawancarai salah satu Fimelova, Rien, yang bekerja sebagai Human Capital Officer di perusahaan kontraktor tambang batubara terbesar di Indonesia. “Perusahaan kami nggak menjadikan jenis kelamin sebagai patokan gaji. Karyawan dari divisi mana pun punya kesempatan sama untuk dapat gaji yang sesuai. Besar-kecilnya gaji didasarkan pada golongan, jabatan, dan tentunya prestasi kerja. Walaupun didominasi karyawan laki-laki, beberapa jabatan strategis pun sudah diduduki perempuan, misalnya General Manager dan Senior Manager HRD,” ungkapnya.

Rien melanjutkan, “Jumlah karyawan laki-laki dan perempuan di beberapa divisi bisa berbanding 1:10. Tapi, uniknya perempuan justru mendapatkan perlakuan istimewa dari rekan-rekannya. Bahkan hal-hal yang bersifat privasi pun sangat diperhatikan. Karyawan perempuan mendapatkan cuti datang bulan selama tiga hari per bulan. Selain itu, cuti pernikahan, hamil, dan tahunan juga berhak didapatkan. Menurutku, beban pekerjaan juga setimpal dengan apa yang kami peroleh. Suasana kerja yang menyenangkan dan tanpa perbedaan signifikan terkait gaji maupun fasilitas lainnya membuat kami nyaman.”

Nah, cukup melegakan bukan, membaca cerita Rien? Artinya, perusahaan besar seperti tempat ia bekerja sama sekali nggak membedakan hak laki-laki dan perempuan serta memperlakukan karyawan secara adil, termasuk memperhatikan hak-hak “istimewa” karyawan perempuan. Semoga kesenjangan gaji antargender nggak cuma berkurang, tapi juga benar-benar tinggal cerita lama.