Next
Kini, berbagai upaya juga dilakukan pemerintah untuk mengampanyekan program belajar dan menyubsidi pendidikan masyarakat kurang mampu untuk kehidupan yang lebih baik. Walaupun begitu, sistem pendidikan di negara kita ini juga nggak pernah lepas dari bermacam kontroversi, mulai dari penyusunan kurikulum, penyelenggaraan Ujian Nasional, praktik komersialisasi yang kontras dengan kampanye pendidikan murah pemerintah, sampai korupsi.
Bagaimana dengan media pembelajaran di tiap sekolah? Apa sudah sesuai dengan kurikulum dan standar nasional? Masih hangat kan, pembicaraan tentang salah satu materi pelajaran dalam buku Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta terbitan PT MK untuk anak kelas 2 SD yang menceritakan soal istri simpanan di kisah “Bang Maman dari Kali Pasir”? Bagaimana bisa pemerintah sampai kecolongan hal semacam itu? Anak usia 8 tahun mendapat pelajaran tentang hal tak bermoral justru dari sekolah! Ironis bukan? Lembaga pendidikan seharusnya bisa mendidik anak agar bermoral dan berbudi pekerti, tapi yang terjadi malah sebaliknya, mengenalkan intrik dan perbuatan tak terpuji secara terang-terangan.
What's On Fimela
powered by
Next
Keluarga, lingkungan pergaulan, media cetak dan online, sampai TV memang juga menjadi tempat anak memperoleh contoh, melihat dan mendengar banyak hal, mengingatnya, dan beberapa di antaranya dia tiru. Beberapa bulan lalu publik dikejutkan dengan tindakan kriminal anak 13 tahun yang menikam teman sekelasnya dengan belasan tusukan setelah ketahuan mencuri handphone milik si korban.
Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mengatakan, bukan nggak mungkin kan, sebelumnya dia telah melihat aksi serupa lewat TV, games online, bahkan kejadian nyata. Tindakannya jauh dari kewajaran, tapi meniru apa yang dia lihat adalah hal yang sangat wajar untuk anak seusianya. Jadi, kita nggak bisa sepenuhnya menyalahkan perbuatan anak itu, tapi juga perlu memperhatikan faktor penyebabnya. Selain karena nggak mendapat pendampingan dari orangtua di masa pertumbuhannya, si anak ternyata kerap mendapat tekanan psikologis dan kekerasan fisik, seperti dipukul dan ditendang. See? Si anak bertindak licik dan kejam karena seolah “diajarkan” oleh lingkungan. Sekolah yang seharusnya jadi tempatnya menimba ilmu sekaligus mengembangkan kemampuannya juga nggak bisa berbuat apa-apa, apalagi menemukan metode tepat untuk mengasah potensinya, karena si pelaku, menurut pemerhati anak Seto Mulyadi, adalah anak yang cerdas. Sekolah seakan cuma menjadi tempat anak belajar pengetahuan alam dan sosial, nggak dekat secara personal sehingga nggak benar-benar tahu kepribadian, potensi, dan problem yang dihadapi siswa.
Lalu, sampai sejauh mana sih, sebenarnya pendidikan berperan dalam kehidupan kita? Sudah pantaskah, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional sementara pendidikan di negara kita sendiri masih carut-marut dan mesti dibersihkan dari praktik-praktik atau sistem liberalisasi dan komersialisasi yang menodainya? Sampai kapan peringatan Hari Pendidikan Nasional ini harus terus dijadikan momen refleksi, evaluasi, dan demonstrasi, bukannya diperingati dengan bangga sambil menunjukkan prestasi-prestasi anak bangsa yang pintar sekaligus bermartabat?