Sophie Navita : “Kekuatan Perempuan Dimulai dari Meja Makan”

Fimela Editor diperbarui 18 Apr 2012, 11:20 WIB
2 dari 4 halaman

Next

Ia nggak siap untuk menjadi a single working mother yang mengurus dua putra tanpa dampingan seorang suami. Pikiran itu timbul saat ia mendapati kenyataan bahwa Pongky Barata, suaminya, memiliki kadar kolesterol tinggi dan punya sejarah penyakit jantung di keluarganya. Berawal dari trigger itulah, Sophie tegas memutuskan bahwa dia harus melakukan sesuatu.

“Ada anggapan orang kalau penyakit jantung nggak genetis, tapi ini bukan soal penyakit, tapi budaya makannya yang menurun. Kalau anak lihat bapaknya makan sembarangan, maka anaknya pun akan meniru. Bapaknya menolak makan sayur, maka besar kemungkinan anak bisa ikut-ikutan. Siklus ini harus diputus sesegera mungkin dan saya yang harus melakukannya sebagai istri dan ibu,” buka Sophie.

Pola makan raw food atau makan makanan tanpa dimasak adalah pilihannya, walaupun ia mengaku belum sepenuhnya menjadi raw foodist karena berbagai pertimbangan. Tapi, terlepas berapa persen ia bisa mengaplikasikan raw food dalam menu makanan sehari-harinya, Sophie merasa sudah memulai perubahan besar untuk kelangsungan hidup keluarganya.

“Saya menyebut diri saya ‘baru’ sebagai raw food lover, karena masih 70 persen makan raw food dan menyisihkan 30 persennya untuk makan makanan matang. Alasan pertama, karena saya masih ingin ‘napak’ dengan keadaan saya yang masih harus kerja di luar rumah atau luar kota yang nggak semuanya memungkinkan untuk tetap makan raw food. Belum lagi, saya masih ingin bersosialisasi dimana nggak mau membuat saya malah terjauh dari lingkungan saya yang nggak semuanya pemakan raw food. Kalau saya bertahan pure sebagai raw foodist, secara kesehatan saya sehat tapi secara sosial nggak bahagia. Komprominya untuk itu adalah saya memasukkan lebih banyak raw food dalam menu makanan saya atau kalau nggak bisa, sekadar icip pun nggak apa-apa. Nanti di rumah saya tinggal buat emergency detox. Begitu pula yang saya berlakukan untuk keluarga saya,” katanya.

3 dari 4 halaman

Next

Kenapa raw food yang ia pilih?

“Karena saya ingin memasukkan makanan hidup ke tubuh saya yang masih hidup. Mulai dari enzim, vitamin, dan kandungan baik lainnya, belum dimatikan oleh proses pemanasan. Dari segi ilmu kedokteran, apalagi untuk dokter spesialis anti aging, mengatakan bahwa semakin banyak memasukkan makanan yang sudah dimatikan sel hidupnya, maka itu akan semakin menuakan sel tubuh kita. Penjelasan mudahnya kenapa makan raw food itu baik karena makanan tersebut datang beserta enzim, sehingga tubuh nggak susah payah untuk mencernanya. Raw food itu makanan yang plant based, kalau ia termasuk biji-bijian atau kacang-kacangan, maka akan dimakan sesuai dengan bentuk aslinya tanpa melakukan perubahan apapun. Jadi, kalau makan bayam ya makan bayam, tanpa zat tambahan atau perubahan bentuk,” jelasnya.

Mengubah pola makan menjadi raw food memang menuntut kreativitas tinggi, namun Sophie mengambil kendali penuh dan mampu menjawab tantangan itu.

“Sayur itu paling mudah dianaktirikan sebagai makanan yang nggak enak karena rasanya langu dan hambar. Oleh karena itu, saya sampai sekarang pun masih terus mencari resep baru, variasi lain, dan dressing yang enak sebagai padanan makanan sehari-hari. Itu adalah hasil dari browsing, bertukar informasi dengan sesama pemakan raw food, dan pengalaman trial and error yang membuat saya semakin tahu mana yang cocok dan mana yang nggak. Nggak salah juga kalau makan masakan matang, tapi harus tahu juga konsekuensinya di kemudian hari, karena itu nggak langsung terlihat sekarang. Itu jadi pilihan masing-masing, mau investasi sehat sekarang atau tetap makan enak tapi di kemudian hari sakit,” lanjutnya.

Sosok Sophie sebagai “leader” dalam menyehatkan keluarga kecilnya pun sebenarnya dibekali oleh keterampilannya untuk mengenyam informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber dan mengaplikasikannya pada kehidupan sehari-hari, sehingga tetap bisa diikuti oleh semua anggota keluarga, termasuk kedua putranya, Rangga dan Radya, tanpa merasa terbebani.

“Kunci dari raw food selain makan makanan mentah adalah jumlah kita mengunyah makanan. Sebenarnya, itu bukan asal mengunyah, karena saat kita mengunyah menghasilkan serotonin yang bermanfaat untuk menghilangkan stress. Radya yang masih duduk di kelas 2 SD saja sekarang sudah tahu tentang hal itu. Dia minta permen karet untuk bisa dikunyah di saat terjebak macet di dalam mobil. Aku boleh berbangga hati kalau dia mengetahui hal itu dari ibunya langsung, karena memang saya yang memberitahukan itu dan menularkan kebiasaan tersebut padanya,” jelasnya lancar.

Kini, Sophie bisa dibilang cukup berhasil membuat pola makan raw food ini familiar untuk banyak orang, walaupun ada juga yang masih memandang hal ini skeptis dengan berpandangan butuh biaya tinggi dan merepotkan. Kembali, kesabaran Sophie diuji.

“Memang banyak orang yang hanya bertanya resep tanpa berinisiatif untuk cari sendiri padahal punya smartphone. Ada juga yang mencela. Saya bersabar saja karena bagi mereka tertarik dan banyak bertanya, saya dengan senang hati menjawab karena ingin lebih banyak lagi ibu yang menyehatkan keluarganya dengan pilihan makanan yang benar,” tuturnya.

4 dari 4 halaman

Next

 

Berkorbankah Sophie dan keluarga karena nggak sesering dulu menikmati masakan matang? Sophie menjawab tidak. Ia cuma harus berkorban waktu, sementara nikmat sehat yang didapat olehnya dan seluruh keluarga adalah bonus besar.

“Saya cuma berkorban waktu untuk lebih teliti memilih sayur-sayuran organik yang bagus, lalu mencucinya dengan sangat bersih, kemudian dipotong-potong. Bila sudah terbiasa melakukan itu, lama-kelamaan akan terasa lebih mudah, apalagi untuk seseorang yang punya anak seperti saya yang harus bisa mengorganisir waktu sebaik-baiknya. Sementara untuk pengorbanan rasa, menurut saya menganut gaya makan raw food malah akan membuat kita menjadi semakin adventurous, karena mencoba berbagai jenis sayuran dengan beragam bentuk dan warna untuk menemukan rasa sayur sesuai selera kita. Untuk sekarang, saya masih memfavoritkan pohpohan, sayuran asli Indonesia yang bentuk luarnya kurang menarik, tapi kandungan anti oksidannya tinggi dan rasanya...seperti mangga muda! Pohpohan wangi seperti daun kemangi, tapi gurih,” ujarnya semangat.

Tapi jangan kira kalau perjuangan berat Sophie untuk menjalani raw food berasal dari pandangan orang luar. Justru, penilai terkritis atas masakan olahan raw food yang ia buat adalah suami dan anak-anaknya.

My thoughest panel judges are at home. Apalagi anak-anak, yang mereka sama sekali nggak bisa basa-basi ketika disuguhi makanan nggak enak dan langsung dilepeh begitu saja di hadapan saya. Tapi, keuntungan lain dari raw food bukan soal kesehatan saja. Anak-anak saya menjadi berani tampil beda, karena ketika istirahat siang di sekolah dan masing-masing membuka bekalnya, anak-anak saya makanannya berbeda sendiri dari teman-temannya,” ceritanya.

Pada akhirnya, Sophie mengutarakan apa yang menjadi dasar kenapa ia bisa setangguh ini untuk menyehatkan keluarganya dan dimulai dari pilihan makanan sehari-hari.

“Saya nggak bisa mengubah negeri ini dengan segala macam permasalahannya. Tapi paling tidak, saya bisa memulainya dari keluarga kecil dan lingkungan yang bisa saya jangkau. Ini cara saya menjalani hidup saya. It feels nice and I want to share. Siapa tahu rumus yang saya praktekkan di keluarga saya, bisa juga diaplikasikan ke banyak keluarga lain ,”tutupnya.