Next
Pernyataan yang sering dilontarkan dan terdengar adalah musik dulu lebih timeless, walaupun oldies tapi tetap enak didengar berulang kali. Terlepas dari lirik lagunya yang dominan mengangkat masalah nggak sepelik sekarang – masih tentang putus cinta, ditinggalkan kekasih, atau jatuh cinta – namun itu masih saja menjadi “penghuni” playlist di pemutar musik canggih sekarang. Penasaran dengan hal tersebut, bersamaan dengan Hari Musik Nasional pada Jumat (9/3/2012) lalu, kami membuka polling untuk menampung pilihan pembaca, dan hasilnya adalah sebagian besar memilih lagu lama sebagai favorit mereka.
Alasannya bermacam-macam, mulai dari faktor lagu tersebut mengingatkan akan memori menyenangkan, lagu-lagunya yang catchy, hingga teknik bernyanyi sang biduan yang nggak dikuasai oleh musisi sekarang.
“Seseorang yang dulu menjadi penyanyi benar-benar bisa menyanyi. Mulai dari teknik hingga volume seorang penyanyi yang nyaring hingga bisa terdengar ke seluruh ruangan tanpa menggunakan pengeras suara, pasti dikuasai oleh penyanyi zaman dulu. Selain itu, lagu mereka nggak pernah bosan untuk didengar terus-menerus karena benar-benar bermelodi,” papar Cynthia, 27 tahun, fashion editor.
What's On Fimela
powered by
Next
Hal serupa diutarakan oleh Ami, 29 tahun, jurnalis, yang memilih The Beatles sebagai grup band favoritnya dibanding band-band baru sekarang. Menurutnya, kepentingan komersial yang dijunjung tinggi oleh seniman musik sekarang, menurunkan kualitas bermusik mereka.
“Musik-musik Top 40 memang bagus, nggak dipungkiri saya juga mendengarkan musik mereka beberapa. Tapi, kalau untuk favorit saya tetap suka The Beatles karena mereka dari awal terbentuk dan membuat lagu karena memang ingin bermusik, bukan karena terpengaruh godaan komersil,” katanya.
Bila itu menurut pendengar musik, bagaimana dengan pengamat musik? Denny Sakrie, sosok yang sering dimintai pendapatnya tentang perkembangan musik lokal, nggak memungkiri bahwa musik era dulu lebih menjanjikan kesenangan karena bervariasi. Memang tren itu akan selalu ada, namun di ranah musik Indonesia, tren seperti ombak besar yang menyeret siapapun untuk mengambil genre yang serupa.
“Tengoklah hiruk pikuk industri musik negeri ini. Band-band bersesakan dengan warna yang cenderung seragam. Amatlah sukar menerka jati diri sebuah band” kata pengoleksi vinyl klasik ini.
Terlepas dari lebih disukai atau nggak, nggak bisa juga langsung ditarik kesimpulan kalau musik kreasi sekarang kurang bermutu atau sepi peminat. Bila sepi peminat, rasanya acara musik berkonsep mirip TRL (Total Request Live) di era MTV tahun 2000 awal, yang mengambil jam tayang di hampir semua channel televisi Nasional, nggak lagi dijejali oleh remaja tanggung. Atau, bila itu kurang bermutu, nama seperti Sandhy Sondoro atau Dira Sugandi nggak mampu berjaya di panggung internasional dan diakui kualitasnya. Lagi-lagi, ini kembali soal selera pribadi.