Nadia Mulya dan Kehidupan Bahagianya

Fimela Editor diperbarui 08 Mar 2012, 04:59 WIB
2 dari 4 halaman

Next

Saya ketinggalan zaman

Sekarang saya sedang menikmati jadi penulis. Saya memang termasuk ketinggalan zaman karena baru sekarang mengerti caranya nulis blog. Alhasil, sekarang saya sedang asyik dengan itu sambil mempersiapkan tiga buku yang sebenarnya sudah jadi dari tahun lalu tapi belum rampung. Awalnya saya nggak percaya diri dengan tulisan saya, sampai akhirnya mengeluarkan “The Pregnancy Handbook” dan banyak ibu yang memberikan apresiasinya karena merasa terbantu dengan buku saya.

Setiap mendapat respon positif, itu jadi penyemangat saya untuk menulis lagi karena tulisan saya bisa berguna untuk orang lain. Di samping itu, kegiatan menulis ini juga cocok untuk saya yang sedang berencana ingin menambah momongan karena bisa menjadi sumber penghasilan sambil tetap bisa menghabiskan waktu dengan anak-anak.

Karier saya nggak ada batasnya

Saya sangat menyadari setelah melahirkan dua anak, susah sekali untuk kembali ke dunia hiburan, apalagi kalau prioritas saya telah berubah. Itulah sebabnya saya jadi nggak hanya bisa mengandalkan modelling atau presenting. Dari situ, saya memperluas area pekerjaan yang tetap saya suka dan orang mampu mengidentifikasikan profesi yang saya jalani itu dengan kemampuan yang memadai, nggak hanya dikenal sebagai presenter untuk acara hiburan, tapi juga bisa membawakan acara serius sepeti yang sekarang sedang saya jalani, yaitu membawakan acara “Managing The Nation with Tanri Abeng”, dimana dari acara itu saya mendapatkan banyak sekali ilmu dan setiap episode, kemudian saya tulis dalam blog dengan bahasa yang mudah dimengerti dan ada catatan dari saya berdasarkan ilmu manajemen yang menjadi dasar pendidikan saya.

Pekerjaan ini seperti memenuhi cita-cita saya yang dulu ingin sekali menjadi news anchor. Mau jadi model, presenter, atau apapun itu, menurut saya adalah persoalan bagaimana caranya menemukan kelebihan yang dimiliki dan mengukuhkan diri dalam profesi itu. Inilah yang sedang saya jalani sekarang, yaitu memantapkan karakter saya sebagai presenter yang bisa membawakan acara serius dan penulis yang nggak hanya sekali dua kali menerbitkan buku.

 

What's On Fimela
3 dari 4 halaman

Next

 

I’ve never been happier like now

Cerita cinta saya dengan suami saya, Dastin Mirjaya Mudijana, tergolong unik. Saya bertemu dia setelah baru putus dari mantan kekasih saya selama 7 tahun yang hampir menikah. Rencananya, saya akan mengambil short course di Melbourne dan ingin melajang dulu selama setahun. Lalu, saya bertemu Dastin dari beberapa hari pergi keluar dengan teman-teman saat baru saja menjadi single woman, banyak dikenalkan dan bersalaman dengan banyak laki-laki, tapi hanya dengan Dastin saya merasakan ada sesuatu.

I won’t say it’s love at the first sight, but I knew there’s something about this guy. Dia membuat saya penasaran sehingga membuat saya melakukan sesuatu yang sangat di luar karakter saya, yaitu mencari tahu tentangnya dari Friendster, menyapanya duluan, bertukar nomor telepon, lalu akhirnya janjian ketemuan.

Di “kencan” pertama kami beserta dua teman lain saat itu, saya berceletuk bahwa akan menikah dengannya, antara bercanda dan mendapat insting. Ternyata, kami semakin dekat, setahun kemudian menikah, dan we’ve never been happier sampai sekarang. Dastin adalah tipe suami idaman karena dia sangat turun tangan mengurus anak-anak, tapi juga tetap mesra sebagai suami dengan nggak pernah lupa menyempatkan waktu untuk punya date night atau liburan berdua saja tanpa anak-anak.

Susahnya jadi orang baik

Setiap manusia menurut saya pasti punya rasa kasihan. Namun, saya dikagetkan saat menyebarluaskan tentang minta sumbangan untuk anak sakit, dibalas dengan pernyataan seseorang dari contact list yang mengatakan bahwa ia hanya akan mendoakan daripada menyumbang, karena berdoa seringkali dilupakan. Dapat respon seperti itu, saya kesal luar biasa, membahas panjang dengan suami saya, dan belajar bahwa saat ingin membantu seseorang, juga harus siap dengan kadar kepedulian orang yang berbeda-beda. Saya nggak boleh langsung menghakimi bahwa orang yang nggak mau ikut menyumbang lebih buruk daripada yang bersedia membantu, karena setiap orang punya alasan sendiri kenapa melakukan itu. Untuk menerima perbedaan respon tiap orang adalah hal yang sangat susah.

 

4 dari 4 halaman

Next

 

The world’s best mom

Saya jatuh cinta dengan dunia parenting dan anak-anak. Saat baru melahirkan Nadine, saya sempat kesulitan untuk mengenali siapa dia karena kami seperti dua orang asing yang belum saling kenal. Tapi, saya nggak berlama-lama dengan keadaan itu karena saya benar-benar urus Nadine sendiri. Saya sudah berjanji pada diri sendiri saat punya anak, akan menangani semua tentang mereka, dan ketika saya butuh bantuan saya hanya akan minta tolong ke orang tua atau mertua. Untuk apa punya anak kalau hanya akan ditangani oleh nanny?

Memberikan peran ibu ke orang lain sebenarnya masih boleh-boleh saja kalau si ibu bekerja, tapi kalau saat weekend atau liburan masih juga diurus oleh nanny, what’s the point of having kids? Beruntung sekali saya punya suami yang sangat membantu dalam mengurus anak sehingga banyak teman saya yang kagum saya bisa membesarkan Nadine dan Nuala tanpa bantuan nanny. Saya bukan ibu yang ketergantungan dengan nanny.

 "Untuk apa punya anak kalau hanya akan ditangani oleh nanny?"

Hidup saya indah karena makanan

We live only once, jadi saya sekeluarga suka untuk makan di luar. We love the act of eating karena di meja makan kami bisa mengobrol santai dan bersenang-senang bersama. Saat liburan sekeluarga pun kami lebih suka untuk wisata kuliner dibanding belanja. Tapi, kesenangan saya ini memang sangat disadari punya harga yang harus dibayar, sehingga harus sangat diimbangi dengan olahraga. Ini adalah salah satu hal dari proses mencintai diri saya apa adanya.

Saya bisa menerima bentuk tubuh, jenis rambut yang nggak setebal model iklan, atau apapun kekurangan fisik yang saya punya, setelah memiliki anak. Terutama saat saya masih aktif di modelling, kekurangan itu sangat terasa, but I won’t let it eat me, karena bila itu dibiarkan malah akan membuat saya nggak pantas untuk bahagia. Harus saya yang mulai membahagiakan diri saya sendiri, karena saya harus mengajarkan pada kedua putri saya untuk mencintai diri mereka sendiri.