Eksploitasi Perempuan Korban Kejahatan Seksual, Pantaskah?

Fimela Editor diperbarui 25 Jan 2012, 08:29 WIB

Sudah jadi tugas media untuk memberikan informasi kepada masyarakat. Tapi, sampai di mana informasi itu masyarakat butuhkan? Pernahkah media memikirkan perasaan korban, atau keluarganya? Memang, berita yang baik berasaskan 5W+1H, tapi haruskah sampai mengumbar identitas si korban? Wajar kalau identitas pelaku diekspos, karena tujuannya, bisa jadi, membuat si pelaku jera atau mengingatkan masyarakat atas konsekuensi melakukan tindakan kriminal. Masih masuk akal-lah… 

Tapi, kalau yang diekspos justru identitas si korban? Adakah hati nurani untuk sedikit saja berempati dengan tidak mengeksploitasi penderitaan si korban? Toh, informasi yang dibutuhkan publik cukup berhenti pada ada kejadian apa, di mana, kapan, menimpa siapa, dan bagaimana kronologinya, kan? Bukannya siapa nama lengkap korban, apa profesinya, bagaimana lingkungan tempat tinggal dan tempatnya bekerja, bla…bla...bla…yang akhirnya membongkar dengan sukses jati diri si korban. 

Informasi yang dihimpun untuk publik pun dimaksudkan untuk memberi peringatan kepada masyarakat, terutama perempuan, agar lebih waspada ketika bepergian sendirian, entah menggunakan kendaraan umum maupun pribadi. Juga untuk mendorong pemerintah segera melakukan tindakan preventif, mencegah kejadian serupa terus-menerus berulang. 

Anggota Dewan Pers, Uni Lubis, dalam diskusi “Etika Perlindungan Privasi dalam Peliputan Kejahatan Seksual” pada Rabu (11/ 1/2012 ), di kantor Komnas Perempuan, Jakarta, pun sempat mengatakan soal privasi korban pelecehan seksual yang kerap dilanggar media dengan pemberitaan detail pelecehan tersebut, sampai identitas dirinya. "Soal privasi ini termasuk paling sering dilanggar oleh media dalam meliput korban asusila. Banyak yang menuliskan secara detail proses pelecehan seksual itu sendiri. Kalau yang televisi ada alamatnya, atau identitas lainnya. Mulai dari mewawancarai dengan mengorek detail mengenai peristiwa, yang berakibat membangkitkan ingatan akan kejahatan yang dialami si korban," ungkap Uni Lubis. Uni juga mengatakan, korban pelecehan seksual yang diliput oleh media, baik sebagai korban atau bahkan yang dituduh menjadi penyebab terjadinya pelecehan seksual, sama dengan membongkar aib, aspek pribadi, dan merusak masa depan korban.

Menjadi korban pelecehan seksual saja sudah sangat membuat si korban terpukul, masak sih, masih harus menanggung malu karena identitasnya disebarluaskan media maupun pengguna social media yang bermaksud menyampaikan simpati? Lantas, kalau kita semua sudah mengetahui identitas korban, apa untungnya?

Saya juga sempat melihat para pengguna Twitter bersimpati atas kejadian nahas yang menimpa PNS tersebut. Kalau sudah ikut bersimpati, akan membawa dampak baik apa pada keluarga korban, selain justru makin terpukul akibat aib yang jadi konsumsi publik? 

Maka, ketika salah satu akun Twitter @Manadokota mengajak semua follower-nya memberikan dukungan kepada keluarga korban PNS cantik yang diperkosa dan dibunuh, saya sangat setuju. Daripada sekadar posting berita dan foto korban, lebih baik simpati dinaikkan jadi empati dengan melayat atau membantu keluarga korban, kan?

Bersikap kritislah. Teknologi canggih memang memungkinkan siapa pun berinteraksi dan mengakses hot news tanpa batas. Tapi, pantaskah privasi seseorang jadi korbannya? Bagaimana menurutmu?