Awalnya nggak ada yang aneh dari penampilan Olga dan Sule di atas panggung acara yang berlangsung di Jakarta Convention Center semalam. Lalu, tiba-tiba tercetus celetukan Olga berbunyi, “ Sepele, diperkosa supir angkot.”, untuk menjawab pertanyaan Sule yang berkata, “Olga, kenapa kamu jadi suster ngesot?”. Celetukan Olga yang menyangkutpautkan masalah pemerkosaan di angkutan umum, dinilai oleh sebagian besar masyarakat sebagai sebuah penghinaan, sama sekali bukan sesuatu yang lucu. Karena, seperti yang diketahui, September lalu telah terjadi tiga kasus pemerkosaan perempuan di angkutan umum, yang semakin ramai memicu protes publik akibat keluarnya peryataan Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta yang mengindikasikan bahwa kejadian tersebut adalah kesalahan perempuan dalam berpakaian dengan menunjuk satu item spesifik, yaitu rok mini.
Belum selesai masalah kekerasan tersebut diusut dan diberantas, terjadi lagi kasus serupa yang menimpa seorang penjual sayur berusia 40 tahun pada Rabu (14/12/2011) lalu. Pemerkosaan yang dialami Ros, nama korban, terjadi di dalam angkutan umum trayek M26 Kampung Melayu-Bekasi dan hingga kini masih dalam tahap investigasi. Masalah lelucon yang dilontarkan Olga ini, lalu menggerakkan Lentera Indonesia, komunitas pemberantas kekerasan pada perempuan, untuk menindaklanjutinya pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Helga Worotitjan, perwakilan dari Lentera Indonesia, mendatangi kantor KPI pagi tadi untuk menyampaikan keberatannya terhadap lelucon Olga yang sebenarnya adalah isu sensitif dan nggak tepat untuk dijadikan bahan bercanda.
Keberatan serupa juga diutarakan oleh Wulan Danoekoesoemo selaku pendiri Lentera Indonesia, yang menelaah kejadian ini sebagai gambaran kurangnya pengetahuan masyarakat luas tentang isu yang nggak bisa dianggap sepele.
“Pernyataan itu disayangkan sekali, karena menunjukkan ketidaksensitifan ketika akhir-akhir ini ada banyak kasus pemerkosaan di angkutan umum, sehingga bisa menjadikan hal tersebut sebagai bahan lelucon. Lelucon itu kami lihat sebagai proyeksi ketidaktahuan banyak orang bahwa hal tersebut nggak sepantasnya dipakai sebagai bahan lelucon.
Pembawa acara bukan berarti harus merusak acara. Sayang sekali dari tim kreatif Trans Corp nggak menyensor dulu isi acara yang akan ditayangkan, atau entah itu improvisasi Olga yang sudah keluar jalur, yang mana apapun alasannya nggak bisa ditoleransi, karena kami sebagai komunitas yang banyak bersentuhan dengan korban kekerasan, sangat bisa membayangkan bagaimana perasaan korban saat masalah itu dijadikan bahan bercanda, lalu orang tertawa bersama-sama seolah hal itu sepele,” terang Wulan.
Pelaporan Lentera Indonesia ke KPI yang dtujukan kepada Trans Corp sebagai stasiun televisi yang menyiarkan acara dan Olga sebagai pengisi acara, ditekankan Wulan adalah bentuk edukasi agar jangan sampai kejadian ini menjadi hal yang umum dan bisa terulang lagi.
“Ketika kami nggak menyuarakan masalah ini, sama halnya dengan kami merestui terhadap hal-hal semacam ini, sementara kehadiran Lentera Indonesia adalah mengedukasi masyarakat luas untuk meningkatkan kesadaran tentang kekerasan pada perempuan. Tadinya kami ingin melakukan public pressure di Twitter tentang kejadian tersebut agar pihak-pihak yang bersangkutan meminta maaf. Sangat disayangkan, acara yang disiarkan dengan jangkauan seluas itu lalu menyiarkan pesan yang nggak baik,” keluh Wulan.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi dari pihak Trans Corp sebagai penyelenggara acara “Dekade Trans” yang menjadi “tempat kejadian perkara” atas masalah ini. Namun, menilik dari timeline Helga, @HelgaWorotitjan, ia menyaksikan bahwa Olga nggak melihat leluconnya sebagai suatu masalah besar yang berisiko menyinggung banyak pihak.
“Di Dahsyat (RCTI) td pagi Olga sempat blg org2 yg marah pdnya utk mikir pake otak. Komen ini gambaran bgm ia sbnarnya :) #RapeIsNotForJoke” tulis Helga.