Definisi Lain dari Bullying dalam Film “Langit Biru”

Fimela Editor diperbarui 27 Okt 2011, 12:59 WIB

 

Film Langit Biru akhirnya bisa dinikmati di layar lebar bioskop. Sudah memulai produksi sejak bulan Juli lalu, film yang mengengahkan tentang sisi lain dari praktek bully ini, memenuhi janjinya bahwa sebelum akhir tahun ini sudah akan tayang di berbegai teater di Indonesia. Lasja F. Sutanto sebagai sutradara patut lega, karena cita-citanya untuk mengubah wajah praktek bully yang dulunya dianggap sebagai sebuah hal yang huruk, bisa sedikit diperbaiki dengan tontonan positif ini dan diharapkan dapat memberikan pesan kepada setiap penontonnya.

Film ini sama sekali bukan untuk memperlihatkan bahwa bullying adalah sebuah kejahatan. Kami mengangkat tema bully  justru hanya sebagai twist, karena biasanya sebuah tontonan lebih senang menonjolkan siapa tokoh antagonis yang menindas protagonis. Di sini jalan cerita malah dibuat untuk melihat seseorang atau suatu masalah dari sisi yang berbeda, bahwa terkadang apa yang kita lihat jahat atau malas, belum tentu seperti itu,ujar Lasja.

 

Sebagai tontotan keluarga, maka ”Langit Biru” dikemas menjadi film musikal yang digarap serius oleh pihak berpengalaman. Adella Fauzi dipercaya sebagai koreografer, dengan bantuan Pongky Prasetyo sebagai penata musik, dan Melissa Karim, sosok presenter dan pemain film, berkontribusi sebagai penulis naskah.

Jajaran pemain dalam film ini pun cukup memberi angin segar, karena merupakan perpaduan antara pemain senior seperti Ari Wibowo, Ira Duati, dan Donna Harun, yang dipasangkan dengan pemeran junior yang mungkin masih asing di telinga, seperti Ratnakanya Annisa, Cody McClendon, dan Jeje Soekarno. Bahkan, salah satu Fimelista, Becky Tumewu, dengan senang hati mengiyakan ajakan berakting untuk film ini karena ia ingin berkontribusi memutus rantai bullying dengan cara anti kekerasan.

 

Yang menarik dari film ini, selain mengetengahkan tema tentang bullying, juga penggunaan kata bully itu sendiri. Dalam filmnya nanti, bully nggak akan diartikan dengan padanan kata Bahasa Indonesia, karena Lasja pun mengakui menemui kesulitan untuk menerjemahkannya.

“Kami kesulitan menemukan definisi ‘bully’ dalam bahasa Indonesia. Bahkan, saya sampai bertanya pada Prof. Dr. Jusuf Badudu, guru besar linguistik program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, tentang arti bully, dan memang nggak ada dalam Bahasa Indonesia. Makanya untuk menyiasatinya, kami mencari pendekatan kata ‘bully’ dari sudut pribadinya, yaitu ‘kawan bukan lawan’ yang menjadi slogan promosi film ini,” ungkap Lasja jujur.

Jadi, kalau kamu ingin tahu apa arti sebenarnya dari praktek bullying, patut mencarinya sendiri dengan menonton film ini.