Apakah White Lies Bisa Dimaklumi?

Fimela Editor diperbarui 04 Okt 2011, 03:59 WIB
2 dari 4 halaman

Next

Dalam kegiatan sehari-hari, bohong seolah-olah bukan lagi sebuah aktivitas terlarang. Nggak jarang juga dengan alasan lucu-lucuan kita menjadikan bohong sebagai salah satu bahan untuk memulai lelucon. Dan mungkin nggak sedikit juga orang yang berbohong untuk menaikkan pamornya di hadapan rekan kerja atau teman-teman sepermainan.

Kebohongan biasanya akan selalu berdampak negatif pada orang-orang yang terlibat di dalamnya. Mungkin istilah ‘sepandai-pandainya menyimpan bangkai, baunya akan tercium juga’ adalah istilah yang tepat untuk untuk menggambarkan sebuah kebohongan. Tapi, bagaimana dengan ‘white lies’? ‘Bohong putih’? Maksudnya?

Selain banyak yang menggunakan kebohongan dengan maksud dan tujuan negatif, ada orang-orang yang melakukan kebohongan atas nama kemanusiaan. Kebohongan jenis inilah yang sering disebut dengan istilah ‘white lies’ atau ‘bohong putih’. Apakah kebohongan yang seperti ini masih bisa dimaafkan?

3 dari 4 halaman

Next

 

Pastinya kamu sering banget menemukan orangtua yang merelakan apapun demi keselamatan dan kesehatan anak mereka. ‘Pakai saja selimut ini, Mama gerah kok’, seorang ibu rela mengatakan kebohongan seperti ini di tengah udara dingin hanya agar anaknya mau menggunakan selimut supaya badan si anak tetap hangat

Atau nggak jarang seorang istri atau suami yang berbohong tentang penampilan pasangan mereka agar pasangan mereka tetap percaya diri. Apakah kamu setuju dengan ‘white lies’ seperti ini? Apakah dengan berbagai alasan untuk kebaikan, kebohongan bisa ditoleransi dan dimaafkan? Bagaimana bila ternyata orang lainlah yang mengungkap kebenaran yang sudah kita sembunyikan? Bukankah sepahit apapun kenyataan yang ada, akan lebih baik bila diungkapkan? Bagaimana bila kamu sampai lupa tentang kebohongan yang sudah kamu buat dan malah berakibat semakin fatal?

Namun, nggak bisa disangkal terkadang untuk melakukan penolakan terhadap sebuah ajakan yang nggak kita harapkan, kita juga harus melakukan ‘white lies’. Tentunya orang akan lebih merasa dihargai saat menerima alasan ‘Jadwal meeting dengan klien cukup padat’ daripada ‘Maaf, nggak tertarik’ ketika mereka menawarkan ajakan pada kita. Atau kita harus bisa terus-menerus berbohong jika kebenaran yang kita sajikan hanya akan membawa keburukan bagi orang yang mendengarnya.

4 dari 4 halaman

Next

 

Hal-hal seperti inilah yang membuat ‘white lies’ tetap eksis hingga saat ini. Terkadang alasan ‘tidak ada orang yang tersakiti atau dirugikan’ adalah alasan yang paling sering digunakan untuk melakukan ‘white lies’. Jika kembali ditilik alasan mendasar seseorang melakukan ‘white lies’ adalah untuk menjaga perasaan si “korban kebohongan”. Bukankah ‘white lies’ nggak harus dilakukan jika kita tahu cara menyampaikan pesan dengan baik?

Benang merah dari masalah ‘white lie’ adalah cara penyampaian pesan dari si pemberi pesan kepada si penerima pesan. Jika si pemberi pesan tahu cara yang berkomunikasi yang baik sehingga kenyataan “pahit” tidak akan terasa pahit oleh si penerima pesan maka ‘white lies’ pun bisa diminimalisasi.

Walaupun tampak seperti memanipulasi sebuah fakta, seenggaknya kita tetap berusaha jujur untuk menyampaikannya. Cobalah untuk terbiasa menyampaikan pesan dengan cara “halus” dan benar supaya kita bisa meminimalisasi frekuensi ‘white lies’ yang biasa kita lakukan. Walaupun nggak ada yang tersakiti dan dirugikan, bukankah akan lebih baik jika tetap mengutarakan kejujuran?