Valerina Daniel: Presenter TV dan Aktivis Lingkungan

Fimela Editor diperbarui 15 Sep 2011, 09:59 WIB
2 dari 4 halaman

Next

Nama Valerina Daniel mungkin sudah nggak asing lagi di telinga kita. Malang melintang di dunia jurnalistik sejak tahun 2000 sebagai pembawa acara berita membuat perempuan yang akrab disapa Val ini nggak bisa dianggap sebelah mata di kancah dunia pertelevisian Indonesia. Namanya mulai terangkat setelah Val memenangkan kontes Abang-None Jakarta pada tahun 1999. “Awal mula saya bersentuhan dengan dunia jurnalistik adalah ketika saya sedang bertugas sebagai None Jakarta, sebuah stasiun tv swasta (SCTV) meminta saya untuk menjadi reporter dadakan dalam acara tersebut. Saat itulah saya berkenalan dengan dunia jurnalistik dan broadcasting televisi untuk kali pertama,” Valerina bercerita sambil mengingat.

Sempat merasakan gejolak reformasi, Val berpikir bahwa perkembangan dunia jurnalistik di Indonesia cukup menjanjikan. Karena itulah, saat ditawari bekerja sebagai presenter di sebuah stasiun TV swasta pada tahun 2000, Val nggak perlu berpikir panjang untuk menerima tawaran tersebut. Kuliah sambil kerja sebagai presenter dilakoninya selama 1 tahun, 2002—2003. Rute Taman Mini-Depok menjadi menu sarapan Val setiap pagi selama bekerja. “Alhamdulillah pada tahun 2000 saya mendapat kesempatan untuk memulai karir di dunia pertelevisian dan akhirnya saya memutuskan untuk memulai karir di TPI (MNC TV) karena letak kantornya nggak terlalu jauh dengan kampus saya di Depok. Jadi, kuliah pagi saya pun nggak ketinggalan. Sejak saat itulah saya memulai karir sebagai pembawa acara berita. Namun, pada tahun 2003 saya memutuskan untuk berhenti sejenak dari dunia pertelevisian untuk menyelesaikan skripsi,” ujar Val.

What's On Fimela
3 dari 4 halaman

Next

Valerina adalah salah satu warga dari 250 juta penduduk Indonesia yang peduli pada isu-isu kebudayaan yang berkembang di Indonesia. Kepedulian Val tersebut mulai timbul sejak Val mengikuti program pertukaran pelajar Indonesia ke Amerika saat masih duduk di SMA pada tahun 1996. “Ketika saya mengikuti program pertukaran pelajar di Amerika, kenyataan yang saya temui di sana cukup menyedihkan, karena ternyata mereka (penduduk Amerika) nggak tahu Indonesia. Bahkan, masih ada sebagian dari mereka yang bertanya ‘apakah kami (warga Indonesia) masih tinggal di atas pohon’? Karena itu, selain belajar, di sana saya juga menjalankan tugas sebagai duta Indonesia untuk mempromosikan Indonesia melalui kebudayaannya,” tutur Val.

Pada tahun 2004, Val kembali lagi aktif di dunia TV (Metro TV). Saat kembali menjadi presenter berita, Val diutus untuk mengikuti proses perundingan Aceh-GAM di Helsinski. Setelah dari Helsinski, Val mampir ke Thailand untuk melakukan liputan pemilihan Miss Universe. Sejak itulah Val tertarik untuk mengikuti kontes Pemilihan Puteri Indonesia pada tahun 2005 dengan dilatarbelakangi kepeduliannya pada Indonesia. “Alhamdulillah pada tahun 2005 saya diberi kesempatan untuk mengikuti ajang Pemilihan Puteri Indonesia dan saya berpikir dengan mengikuti ajang ini saya bisa ikut berperan dalam mengenalkan Indonesia ke luar. Dan Alhamdulillah, saya mendapat posisi Runner Up I,” ujar Val.

Ketika bertugas melakukan investigasi pembalakan liar di Riau, mantan None tahun 1999 ini tertampar oleh kenyataan lingkungan hutan di sana yang sangat mengenaskan. Sejak itulah, Val mulai banyak melakukan kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan. Banyaknya aktivitas lingkungan yang diikutinya membuat Kementerian Lingkungan Hidup RI memilih Val sebagai Duta Lingkungan. Pada tahun 2005 Val resmi menyandang gelar Duta Lingkungan dan sibuk dengan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan lingkungan.

Pada tahun 2007, Val terpaksa berhenti sejenak dari dunia pertelevisian karena KLH meminta Val ikut berpartisipasi sebagai Communications Officer Panitia Nasional Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim di Bali. Dalam konferensi tersebut, Val membuat sebuah leaflet yang diberi judul COP 13 (Cara Oke Pelihara Bumi) yang masih diproduksi oleh tim KLH hingga saat ini. Leaflet COP 13 inilah yang menjadi cikal bakal buku Easy Green Living yang terbit awal tahun 2009.

4 dari 4 halaman

Next

Sejak tahun 2007 hingga 2009 keseharian Val diisi dengan kegiatannya sebagai Duta Lingkungan Indonesia. Concern-nya pada lingkungan membuat Val menjadi orang yang beruntung menerima beasiswa dari pemerintahan Australia untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Monash. “Tahun 2007 saya berhenti sejenak dari dunia TV untuk fokus pada tugas saya sebagai Duta Lingkungan. Dan tahun 2009 saya berangkat ke Australia bersama keluarga untuk melanjutkan pendidikan karena saya cukup beruntung mendapat kesempatan ini dari pemerintah Australia. Awal tahun 2011 ini saya baru kembali menggeluti dunia pertelevisian lagi,” Val bercerita.

Sebuah penerbit buku melihat leaflet COP 13 yang dibuat Valerina dalam konferensi di Bali bisa bermanfaat lebih jika diterbitkan menjadi sebuah buku. Akhirnya pada awal 2009, sebelum Val berangkat ke Australia, terbitlah buku yang berisi tentang cara mudah hidup ramah lingkungan yang ditulis Val hanya dalam waktu 1 bulan. Nggak hanya buku untuk orang dewasa yang ditulis perempuan berdarah minang ini, beberapa seri buku anak bergambar yang ditulisnya pun sudah terbit meramaikan koleksi bacaan anak-anak Indonesia.

Sebagai Duta Lingkungan, Val nggak hanya bisa berbicara menyampaikan materi di depan umum. Tapi, Val juga menerapkan gaya hidup ramah lingkungan pada keluarga, terutama anak perempuannya. Setiap pergi ke kantor, sebuah tempat minum, bekal dari rumah, dan tas keranjang daur ulang nggak pernah absen dari tasnya. Saat ini, Val cukup concern untuk menyampaikan isu-isu tentang lingkungan pada anak karena menurutnya anak adalah kunci utama untuk menciptakan lingkungan yang asri ke depannya. “Saat ini anak saya berumur dua tahun, tapi sejak umur setahun dia sudah tahu harus membuang sampah di tempat sampah. Sebisa mungkin saya selalu mengajarkan cinta lingkungan pada anak saya. Misalnya, setiap anak saya ulang tahun, saya mengajaknya untuk menanam satu pohon yang ia inginkan. Ketika ulang tahunnya yang pertama saya menanam pohon buah persik di rumah, tapi sayangnya mati karena cuasa yang nggak cocok,” ujar Val tertawa ringan.

“Pada dasarnya saya peduli pada isu lingkungan secara umum, tapi setelah menjadi seorang ibu, saya jadi lebih concern pada bagaimana cara untuk mengenalkan lingkungan pada anak. Karena saya khawatir apakah nanti anak saya masih bisa menikmati pantai, bukit yang hijau, dan perkebunan seperti sekarang. Selain itu, dengan mulai mengajarkan anak untuk hidup ramah lingkungan supaya kelak bisa tercipta generasi hijau Indonesia,” Val mengutarakan harapannya.