Next
Pernikahan tanpa anak, bukan masalah
Menghadapi pernikahan yang tahun ini memasuki tahun ke-9 dan belum dikarunia anak, harus dikembalikan ke tujuan awal kenapa kita menikah. Karena, banyak orang setelah menikah 2-3 tahun, terbentur rutinitas, lalu orang-orang di sekitarnya sudah mulai menanyakan, nah di situlah banyak yang lupa bahwa alasan awal kenapa menikah dengan pasangan adalah karena cinta, bukan semata-mata karena anak. Untuk saya pribadi, kalau ingin punya anak, ya cari aja orang yang bisa memberikan saya anak dalam waktu instan, tapi kan bukan itu yang dicari. Jadi, diingat lagi awalnya kenapa saya mau menikah, supaya ekspektasi terhadap pernikahan itu nggak berubah.
Tanpa anak pasti rawan godaan? Salah besar.
Sebenarnya itu bukan patokan pasti, karena yang punya anak pun masih bisa dapat godaan seperti itu. Cara saya untuk menghindari itu, memang klise, tapi berkomunikasi dan intens mengobrol dengan pasangan, itu penting banget, karena apapun yang dirasakan, enak atau nggak enak, dimongin saja ke suami. Cara pelampiasan kasih sayang yang berhasil untuk kami adalah memiliki 3 ekor binatang peliharaan yang selalu bikin kami ingin cepat pulang. Walaupun begitu, saya masih senang banget lihat keluarga kecil di mall-mall, dimana seorang bapak menggendong anak. Itu membuat saya tersentuh banget, tapi sudah nggak ada lagi perasaan sakit hati. Dulu, waktu di 4 tahun pertama, saya memang sempat stress dan terus bertanya ke Tuhan kenapa saya belum dikasih anak. Dan, tepat di tahun keempat itu, saya menumpahkan semua pertanyaan dan perasaan saya di depan Ka’bah, sambil berdoa untuk meminta kesiapan dan kenyamanan hati untuk menjalani ujian ini. Alhamdulillah, setelah pulang Umroh itu, saya benar-benar lega, rasanya beban berton-ton di hati diangkat Allah SWT dan akhirnya bisa memahami bahwa memang nggak semua orang dikarunia anak. Bisa jadi, tertundanya saya punya anak karena ditakdirkan untuk melakukan hal lain. Sekarang kalau menghadapi segala bentuk pertanyaan dan pernyataan tentang anak, bisa saya hadapi dengan santai.
Saya juga terbentur dengan sistem patrilineal
Suami saya, Erikar Lebang, berasal dari Toraja, yang unsur patrilinealnya sangat kuat, sehingga pastinya dihadapkan juga dengan tuntutan punya keturunan untuk meneruskan marga keluarga. Apalagi, dia adalah anak laki-laki dan cucu pertama dari keluarga besarnya. Tapi Alhamdulillah, dia adalah orang berpendirian kuat yang tahu bagaimana cara menghadapi ayah asli Toraja beragama Nasrani dan ibu asal Jawa Timur yang Muslim. Sejak SMA, dia sudah mampu stand up sebagai Muslim, sama tegasnya tentang kami yang hingga kini belum punya momongan, sehingga sekarang sudah nggak lagi diusik oleh keluarga besar tentang anak. Caranya adalah dengan konsisten tegas terhadap pendirian kami, namun tetap hormat dengan mereka, sehingga mereka pun akan tahu dengan sendirinya bahwa kami bukan melawan, tapi berpendirian. Alhamdulillah saya dikarunia suami dengan satu pendirian seperti itu.
What's On Fimela
powered by
Next
Keikhlasan saya bukan cuma soal momongan, tapi juga menyangkut profesi suami
Sebelum menjadi instruktur Yoga dan praktisi kesehatan, suami saya adalah pemimpin redaksi majalah laki-laki dewasa. Dia yang mengurus majalah tersebut dari awal hingga menjadi pemimpin redaksinya selama 3 tahun. Tentang profesinya ini, saya pernah mendoakannya juga di depan Ka’bah, meminta pada Allah SWT kalau memang ini ternyata bagus untuknya, nggak apa-apa diteruskan, tapi kalau harus berhenti, tolong diberhentikan, jangan saya yang memberhentikan. Kenapa saya berdoanya seperti itu? Karena dia sangat excited dengan pekerjaan tersebut dan saya nggak mau mengusiknya. Ternyata, setelah 3 tahun, ia merasa bosan karena nggak bisa berbuat banyak untuk orang lain. Dia merasa hidupnya nggak berguna bila tetap di profesi itu. Setelah itu, ia mendalami Yoga secara fisiologis, mulai mengajar, dan sekarang profesi itu sudah mantap dijajaki. Ia merasa lebih tenang sekarang, karena bisa berbagi ilmu dengan orang lain. Hikmah dari pergantian profesinya ini adalah dilakukan di saat kami belum dikaruniai anak, jadi langkah untuk berubah haluan itu belum terlalu berat. Coba kalau kami sudah punya anak, tentu nggak mudah untuk mulai dari nol, dengan perubahan penghasilan dan tunjangan yang mendadak. Ini mungkin maksudnya Allah belum kasih kami anak, supaya dia berani untuk mengikuti mimpi dan passion menjadi sebuah profesi. Kalau keadaannya berbeda, pasti ada ketakutan dan pertimbangan tertentu untuk masalah ini.
Saya belum menyerah untuk menjadi seorang ibu
Ada beberapa cerita yang saya dengar dengan kasus serupa seperti saya hingga mereka sudah nggak mau lagi dikaruniai anak. Kalau untuk saya dan suami, kami masih mau ketika suatu hari dikaruniai anak, karena apapun dan kapanpun waktunya yang dikasi oleh Allah, pasti ada sebabnya. Seperti kenapa saya menjadi penyanyi seperti sekarang, padahal kuliah di Jurusan Akuntansi, pasti ada alasannya. Dan, kalau nanti tiba saatnya saya bisa punya anak di umur tertentu, pasti Allah sudah menyiapkan alasannya.
Saya nggak punya strategi khusus supaya tetap harmonis
Kami bukan tipe pasangan suami istri yang melakukan semua hal bersama, kami bahkan nggak suka pergi liburan bareng, karena suami senangnya menabung, sementara saya begitu ada dana langsung pergi. Makanya saya jadi lebih sering pergi liburan dengan teman-teman, sementara suami di rumah. Dengan format seperti ini, kami malah nggak pernah bosan, karena begitu pulang liburan, jadi banyak yang bisa saling diceritakan. Jujur, sedikit pun saya nggak pernah merasa bosan dengan suami atau rumah tangga kami, karena begitu banyak cerita yang dibagi, dari yang sepele sampai yang serius. Saya dan suami sudah seperti sahabat, bukan suami istri. Malah, kadang-kadang ibu saya tanya apa kami yakin kami adalah sepasang suami istri, karena terlihatnya seperti sepasang anak kos yang kebetulan sudah resmi untuk serumah dan tidur bareng hahaha... Cara kami menyelesaikan perbedaan pandangan juga dibawa berantem aja, tapi setelah itu ya dijalani masing-masing, nggak dipaksakan ke satu sama lain, asal tetap didasari dengan ajaran agama, seperti contohnya bagaimana kami nanti akan membesarkan anak.