Menurut Elisabeth Kubler-Ross ada 5 tahap penerimaan saat kita menghadapi kematian seorang yang dekat.
Tahap #1: Denial & isolation: “Hal ini nggak mungkin terjadi padaku.”
Tahap #2: Anger: “Nggak mungkin hal ini terjadi padaku!”
Tahap #3: Bargaining: “Biarkan aku mendapatkan X dan aku pasti nggak peduli tentang Y,” atau “Kalau ini nggak terjadi, aku janji untuk…”
Tahap #4: Depression: “ Aku nggak mungkin bisa menghadapi ini.”
Tahap #5: Acceptance: “Aku siap; aku nggak mau melawan ini lagi.”
Dalam memoir-nya, The Year of Magical Thinking, Joan Didion menjelaskan kalau setelah kematian mendadak suaminya saat makan malam, ia menemukan kalau dirinya terfokus pada siapa yang harus ditelepon, apa yang harus dilakukan, apa yang diperlukan untuk mengurus kematian suaminya. Tapi yang terlihat orang-orang sebagai sikap super tenang padahal Joan Didion sedang dalam tahap numb atau nggak bisa merasakan apa-apa.
Nggak mampu menghadapi realitas kematian suaminya, Joan “menyimpan” dirinya dalam sebuah dunia dimana sang suami bisa muncul kembali. Dia menyimpan seluruh barang John, suaminya, karena nanti pasti diperlukan saat John “kembali”; bahkan sampai berpikir kalau akan terjadi hal yang berbeda kalau mereka nggak makan di rumah. Pada akhirnya, Joan Didion menemukan apa yang kebanyakan orang sadari: Dalam hal rasa sakit secara emosi, kita bisa lari . . . tapi nggak bisa menghindar.
Kalau kamu mengalami tragedi, kebanyakan orang nggak dengan mudah menerima dan menyambut emosi yang menyakitkan – paling tidak untuk sementara. Sebelum kita bisa “sembuh” kembali, kita harus menghadapi rasa sakit tersebut. Ingin sembuh dengan cepat? Siapkan toleransi yang besar terhadap rasa sakit. Kalau kamu belajar untuk menghadapi, merasakan, dan menerima rasa sakit, maka rasa tersebut akan menjadi semakin kecil, sampai akhirnya menghilang.
Merasakan rasa sakit sama dengan menghadapinya dan artinya kamu sedang dalam proses penyembuhan. Semakin kamu acuhkan, justru semakin menumpuk. Tiba-tiba, seperti tsunami, kamu akan diterpa ombak rasa sakit yang sangat besar. Di saat seperti ini, air mata bisa jadi salah satu hal baik dan perlu!
Kalau kamu sedang menghadapi hal berat, penting banget untuk tahu ada pilihan duduk dan menghadapi rasa sakit dengan segera; serta menghindari dan malah merasakan sakit yang lebih besar lagi nantinya, dan malah menunda tahap penyembuhan.
Satish Kumar, dalam bukunya yang berjudul The Buddha and the Terrorist menuliskan, “Rasa sakit adalah bagian dari kehidupan. Dengan menerima, intensitasnya akan berkurang. Jangan tolak rasa sakit. Penolakan akan rasa sakit malah membuat kita lebih gelisah dan bisa berakibat pada rasa takut. Takut akan rasa sakit lebih buruk dibanding rasa sakit tersebut. This pain will pass.”
Kalau kamu menghindari rasa sakit dan sedih, ingatkan dirimu kalau takut akan rasa sakit lebih buruk dibanding rasa sakit itu sendiri. Saat rasa sakit mulai memasuki pikiran, biarkan. Jangan lawan airmatamu. Kalau perlu, berikan waktu pada diri untuk bersedih.
Hidupmu belum berakhir, seperti berbagai tantangan hidup, mengalami dan mengatasi rasa sakit bisa menghadiahkan kedalaman emosi dan perspektif yang nggak kamu sadari tersimpan selama ini dalam dirimu. Menerima rasa sakit memang menakutkan. Kemungkinan untuk tergoda dengan pengalihan lewat alkohol, pil tidur, atau bahan adiksi lainnya sangat besar. Kuatkan dirimu. Tolak dan tahan dengan membiarkan rasa sakit itu muncul. Ingat, this too shall pass, nothing lasts forever, even pain. Ingat, happiness is around the corner!