The Sisterhood of Sigi Wimala and Agni Pratistha

Fimela Editor diperbarui 06 Jul 2011, 08:30 WIB
2 dari 3 halaman

Next

Melihat mereka duduk di sofa yang sama, sangat terlihat bahwa mereka sangat berbeda. Dan, menimbulkan pertanyaan yang menggelitik tentang sisi dari masing-masing mereka yang hanya diketahui oleh Sigi atau Agni.

Agni: Sigi gampang banget berubah pikiran, jadi kalau misalnya dia ngasih barang ke aku, suka tiba-tiba balik ke dia lagi. Karena dia udah keseringan seperti itu, jadi kalau dia menawarkan pilihan aku mau dikasih barangnya yang mana, apa yang kupilih, itu yang diambil sama dia.

Sigi: Karena Agni orangnya lebih terbuka dibanding aku, jadi untuk soal kepribadiannya, semua orang bisa tahu dengan mudah dia bagaimana. Apa yang dilihat oleh orang, itulah Agni. Basically, apa yang kutahu tentang Agni, orang lain juga bisa melihatnya karena dia tulus. Untuk soal kasih barang, Aku memang lebih terorganisir dalam urusan barang karena clausterphobic, sehingga membuatku rutin membuang barang atau memberikannya ke orang lain. Nah, karena dari kecil setiap barang apapun yang dipegang Agni nggak pernah awet, makanya suka kuambil lagi. Dari umur Agni 3 tahun aja, dia sudah pegang gunting lalu botakin boneka dan gunting seprai.

Sebagai sepasang saudara, kedekatan mereka juga ditransformasikan dengan bahasa isyarat yang hanya dimengerti oleh mereka.

Agni: Iya, kami memang punya beberapa istilah yang cuma diketahui oleh kami berdua dan itu sudah ada dari kecil, nggak tahu dapatnya dari mana. Seperti kalau kami menyebut kata “seksi”, pasti diikuti dengan ilustrasi musik tertentu. Bahkan, sampai orang-orang malas ngumpul dengan kami karena kebiasaan kalau ngomong agak mumbling, nggak jelas ngomong apa, dan hanya dimengerti oleh kami.

Sigi: Kami juga suka punya inside jokes yang berasal dari apapun. Sebenarnya nggak boleh seperti itu, karena bisa membuat orang di sekamir merasa terasing, tapi itu terbentuk dengan sendirinya. Terkadang juga kami nggak perlu saling ngomong tapi sudah mengerti satu sama lain saat melihat suatu kejadian yang menurut kami aneh atau lucu.

Jadi, apa benar mereka memang benar dekat?

Agni: Iya, kami memang benar dekat, sudah seperti partner in crime. Tapi justru, untuk di dunia media, kami termasuk saudara yang jarang dipasangkan berdua dibanding kakak-adik yang lain. Mungkin karena muka kami beda, cuma tingginya yang sama.

Sigi: Suasana kekeluargaan kami memang dekat. Untuk aku, itu suatu hal yang menguntungkan karena bisa kerja di satu dunia dengan adikku. Jadi, untuk saling menjaga, membela, atau ketika ingin cerita, bisa saling mengerti masalahnya apa.

Kedekatan mereka bahkan membuat kompetisi itu nggak ada. Makanya, hubungan persaudaraan itu, malah menjadi nilai tambah untuk karier mereka masing-masing.

Agni: Karena pada dasarnya penampilan fisik dan karakter kami beda, jadi jenis pembagian pekerjaan sudah ada masing-masing. Seperti ketika kalau ada yang menganggap mukaku kurang cool untuk suatu peran, pekerjaan itu aku kasih ke Sigi. Sama halnya kalau Sigi dapat tawaran jadi MC, dia pasti nyerah dan langsung kasih ke aku. Dia sama sekali nggak bisa jadi MC karena nggak pintar ngomong dan mumbling.

 

3 dari 3 halaman

Next

 

Perbedaan umur nggak menjadi jaminan tentang kedewasaan. Siapa di antara mereka yang lebih dewasa?

Sigi: Agni dengan segala pengalaman dan pekerjaan yang ditekuninya sekarang, membuatnya semakin lebih dewasa. Makanya, sering orang tertukar siapa yang kakak di antara kami. Tapi, kami sama sekali nggak keberatan kalau selalu dihubung-hubungkan satu sama lain, karena kami memang adalah satu kesatuan yang nggak terpisah. Dulu waktu kecil sih sempat keberatan, apalagi karena kami satu sekolah, tapi lama-lama kami bisa menjadikan itu satu keuntungan.

Agni: Karena Sigi yang terjun duluan ke dunia model, dia lebih populer. Tapi, karena karakternya lebih kalem dan tomboy, dia punya teman lebih sedikit dibanding aku. Lepas dari itu, sama sekali nggak ada kecemburuan di antara kami karena porsi kerjaan kami ada masing-masing.

Dunia hiburan yang glamor namun penuh intrik, membuat mereka menjadi saling menjaga. Kasus foto Agni tahun lalu untuk sebuah majalah fashion namun dianggap terlalu vulgar, menjadi pembelajaran yang berharga.

Sigi: Apapun kabar nggak enak yang kudengar tentang Agni, aku biasanya langsung telepon untuk menanyakan kabar dan membuatnya nyaman. Hikmah dari kasus foto Agni itu adalah sebisa mungkin kami menjalani dunia ini hanya sebatas pekerjaan, nggak terlalu pribadi, karena pemberitaan infotainment itu rentan banget dibelokkan dan dimanfaatkan. Lihat saja seperti yang dialami Agni, sesuatu yang harmless pun tetap bisa jadi masalah, karena dengan makin banyaknya media yang berkompetisi tentang pemberitaan, sesuatu yang nggak penting bisa dibikin penting.

Agni: Dari sisi aku untuk menjaga Agni adalah biasanya kalau aku punya pengalaman lebih dulu atau lebih duluan kenal dengan seseorang, aku kasih tahu Sigi orangnya seperti apa dan bagaimana cara mendekatinya. Begitu juga dengan Sigi yang terjun ke dunia hiburan duluan, dia lebih banyak ngasih tahu aku dan sampai sekarang nggak pernah berhenti untuk sharing. Beruntung banget punya kakak yang juga kerja di dunia yang sama. Yang pasti, apapun yang kami lakukan, selalu dapat support dari keluarga besar, bukan malah menambah tekanan, karena setiap pekerjaan diambil dengan risiko dan cara berpikir yang dewasa.

Sebagai seorang kakak yang sudah lebih dulu memasuki dunia pernikahan, membuat Sigi bisa menilai dengan bijak bagaimana kecocokan Agni dan Junot, kekasih mantan Puteri Indonesia 2006 tersebut.

Sigi: Aku melihat mereka sudah benar-benar pasangan yang cocok, jadi sebagai kakak cuma bisa berharap semoga mereka bisa sampai seterusnya. Waktu Agni mengahadapi kasus kemarin itu, Junot tampil sangat dewasa dan protektif untuk mendukung Agni dan aku sangat hargai itu. Dia bisa jadi seorang pacar dan kakak untuk Agni, sudah seperti pasangan hidup. Sifat keibuan Agni, bisa diimbangi dengan karakter fun dan outgoing Junot.

Agni: Waktu awal pacaran, sebenarnya aku nggak yakin juga bisa bertahan 6 tahun sama dia sampai sekarang, karena dulu mikirnya kalau pacaran dengan sesama orang hiburan cuma bisa  bertahan hitungan bulan. Selain itu, sebelum dengan Junot,  aku selalu nyari pacar yang punya kesamaan, mulai dari kesamaan selera musik, film, tapi dengan dia benar-benar beda, baik kepribadian maupun kesukaan. Malah, justru itu yang memperkaya hubungan kami dan membuatku semakin sadar kalau di dunia ini nggak ada pasangan yang cocok banget, karena masing-masing dari kami dilahirkan dari keluarga yang beda. Makanya, aku banyk banget belajar tentang keterampilan berpasangan, kapan kami harus memberi, menerima, menahan, dan lain-lain dari hubungan ini.